Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Jepa Menuju Warisan Dunia UNESCO, Upaya Mengangkat Pangan Lokal
9 April 2025 11:16 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Munawar Khalil N tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat mengusulkan agar Jepa dapat masuk menjadi Warisan Budaya Takbenda atau Intangible Cultural Heritage (IHC) United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Usulan ini disampaikan saat Plt. Kepala BPK XVIII Muhammad Tang melakukan pertemuan dengan Gubernur Sulawesi Barat Suhardi Duka pada Senin 10 Maret 2025 lalu.

Jepa merupakan makanan khas masyarakat Mandar, Sulawesi Barat, yang berbentuk bulat pipih seperti pizza, terbuat dari olahan ubi kayu yang diparut dan dicampur dengan kelapa. Jepa kerap dimakan bersama olahan ikan khas Mandar yang disebut bau peapi, atau dengan ikan teri, maupun dengan cumi.
ADVERTISEMENT
Makanan khas ini dikenal luas tidak hanya di kawasan Sulbar, tapi juga merambah wilayah Kalimantan. Ini terjadi karena di wilayah tersebut juga banyak didiami suku Mandar yang di masa lalu bermigrasi ke sana. Sejarawan Abdul Rahman Hamid mencatat, orang Mandar mulai menetap di pulau-pulau kecil di Kalimantan Selatan pada paruh pertama abada 20. Perpindahan ke seberang pulau tidak menghilangkan budaya mereka, termasuk budaya makannya.
Namun Jepa masih belum menjadi arus utama dalam kuliner nasional. Karena itu, usulan untuk menjadikan Jepa sebagai warisan takbenda UNESCO perlu didukung, bukan saja karena jepa potensial menjadi salah satu daya tarik pariwisata, melainkan untuk menunjukkan keragaman budaya pangan Indonesia, dan yang terpenting adalah menjadikan jepa sebagai pangan lokal yang mampu menopang ketahanan pangan nasional.
ADVERTISEMENT
Dulu masyarakat Mandar di sepanjang garis pantai Sulawesi Barat terbiasa mengonsumsi jepa sebagai makanan pokok karena ubi kayu merupakan salah satu pangan sumber karbohidrat yang banyak tumbuh di kawasan ini. Bahkan konon jepa menjadi pengganti nasi di masa penjajahan yang mana beras pada waktu itu relatif sulit didapat.
Namun saat ini, jepa menjadi kuliner khas yang seringkali hanya dikonsumsi sebagai pelengkap. Karena pada umumnya masyarakat Sulbar mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Padahal potensi ubi kayu sebagai komoditas pangan sumber karbohidrat cukup besar. Berdasarkan data BPS Sulawesi Barat, produksi ubi kayu merupakan terbesar ketiga setelah padi dan jagung, dengan total produksi mencapai 24.894 ton.
Menjadikan jepa sebagai pangan pokok tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kebijakan beras-isasi di zaman orde baru berhasil mengubah selera pangan masyarakat di berbagai daerah yang sebetulnya beragam, menjadi seragam dengan beras sebagai pangan sumber karbohidrat yang mendominasi. Padahal jika dilihat lebih jauh, ubi kayu, sagu, talas, sukun, dan beragam pangan sumber karbohidrat lainnya tumbuh subur di berbagai daerah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang perlu diubah adalah mindset terhadap pangan lokal itu sendiri. Belum makan kalau belum makan nasi, itu yang tertanam dari generasi ke generasi, sehingga tanpa sadar kita menempatkan beras sebagai komoditas pangan tertinggi di antara pangan-pangan lainnya.
Dengan adanya wacana untuk mengusulkan Jepa sebagai warisan dunia takbenda, menjadi pemantik semangat untuk menempatkan jepa sebagai pangan pokok yang dikonsumsi sehari-hari. Bukan sekadar disajikan sebagai makanan tambahan, atau hanya dihadirkan di acara-acara tertentu.
Tentunya dukungan pemerintah sangat diperlukan. Sebab keteladanan dari atas akan memberikan dorongan dan semangat yang kuat hingga ke berbagai lapisan masyarakat. Konkritnya, pemerintah daerah perlu membudayakan jepa sebagai makanan yang wajib ada di setiap acara atau kegiatan yang digelar oleh pemerintah. Bahkan sekadar kegiatan rapat misalnya, jepa perlu menjadi pilihan utama. Dengan begitu, gengsi jepa sebagai makanan khas dari Sulawesi Barat dapat terangkat.
ADVERTISEMENT
Adanya jepa yang beredar di seluruh agenda atau kegiatan pemerintahan akan merangsang demand, sehingga supply bertambah dan mendorong para pelaku usaha per-jepa-an menjadi lebih bergeliat. Ini akan mendorong ekosistem jepa yang berorientasi pada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan pelaku usaha.
Pada saat yang sama, pemda juga diharapkan dapat memfasilitasi para pelaku usaha per-jepa-an dengan teknologi pengolahan, sehingga meningkatkan efisiensi usaha dan menguatkan daya saingnya. Para pelaku usaha jepa biasanya masih dalam kategori skala usaha rumah tangga dan mikro kecil. Bantuan berupa alat pengolahan tentu sangat berarti. Seiring dengan itu, di hulu juga tentu penting untuk meningkatkan produksi ubi kayu sebagai bahan baku jepa. Dukungan kepada petani menjadi kunci dalam memastikan hasil panen ubi kayu memiliki kualitas yang baik.
ADVERTISEMENT
Dari sini kita bisa berharap lahirnya berbagai inovasi dari produk jepa, sehingga ke depan akan banyak varian yang dihasilkan dan beradaptasi dengan perkembangan kekinian.
Mungkin kita bisa belajar dari pizza sebagai makanan yang kini dikenal di seluruh dunia. Pada mulanya pizza hanya digemari oleh masyarakat kelas rendah di Napoli, Italia. Namun Raja Ferdinand I (1751-1825) menyukai pizza dan sering menyamar sebagai rakyat jelata hanya untuk menikmati pizza. Sebab pada waktu itu, pizza dianggap sebagai makanan orang miskin, dan karena itulah tidak populer atau jarang dimakan di kalangan istana. Namun suatu waktu Raja Ferdinand I mengumumkan bahwa pizza menjadi makanan kesukaannya. Sejak itu, pizza mulai populer ke berbagai tempat.
Jika pizza bisa merambah dunia dimulai dari kaum elit di Istana, maka jepa di Sulawesi Barat bisa dimulai dari para elit di daerah yang menampakkan komitmen dan konsistensinya dalam mengangkat jepa sebagai makanan khas.
ADVERTISEMENT
Saya berharap, produk jepa dengan segala inovasi produk yang dihasilkan dari kreatifitas para pelaku usaha kuliner ini, mampu mendapat tempat tidak hanya di hati masyarakat Sulbar, tapi juga di seluruh Indonesia.