Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menakar Sagu untuk Ketahanan Pangan
22 Agustus 2022 21:21 WIB
Tulisan dari Munawar Khalil N tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian orang, sagu dikenal hanya dalam bentuk panganan sekunder seperti kue untuk cemilan. Mungkin juga sagu diketahui hanya sebatas tanaman yang banyak tumbuh di wilayah timur Indonesia. Anggapan seperti itu dapat dipahami karena sagu belum sepopuler beras sebagai pangan pokok sumber karbohidrat.
ADVERTISEMENT
Padahal jejak sagu sebagai sumber pangan utama di nusantara tidak dapat dinafikan. Ahmad Arif dalam buku Sagu Papua untuk Dunia (2019) memotret dengan detil bagaimana sagu sebagai pangan asli Indonesia perlahan terdegradasi oleh beras. Dia juga menulis bagaimana sagu sebetulnya sangat lekat dalam denyut nadi kehidupan masyarakat, bukan saja di wilayah timur, bahkan di pulau Jawa yang saat ini dikenal sebagai sentra padi.
Ada banyak jejak sagu di kuliner Jawa meski sekarang ini hanya tinggal nama. Seperti misalnya, kue tradisional disebut sagon, karena awalnya dibuat dari sagu. Begitu juga dengan kata Sego dalam bahasa Jawa untuk menyebut nasi menjadi penanda pentingnya tanaman ini sebagai sumber pangan sebelum padi. Fakta lain dibeberkan Arif bahwa di Jawa Barat nasi disebut Sangu yang akar katanya juga berasal dari sagu. Dalam bahasa Jawa, Sangu adalah bekal berupa olahan sagu kering dibentuk bulatan kecil yang menjadi bekal utama bepergian.
ADVERTISEMENT
Dominasi Beras dan subordinasi Sagu
Saat ini beras masih menjadi pangan yang mendominasi pola makan orang Indonesia. Salah satu faktor mendorong terjadinya dominasi ini adalah kebijakan revolusi hijau di masa Orde Baru yang menjadikan padi sebagai komoditas yang dikembangkan secara massif di seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu, sagu tidak mendapat kesempatan yang sama untuk dioptimalkan, setidaknya di wilayah yang memang potensi lahannya besar seperti di Maluku, Papua, dan Kepulauan Riau. Lahan sagu Indonesia terbesar di dunia. Dari 6,5 juta ha lahan sagu di dunia, 83% atau 5,4 juta ha berada di Indonesia, dan itu baru sekitar 5% yang termanfaatkan. Artinya potensi pemanfaatan sagu masih sangat besar untuk menopang ketahanan pangan.
ADVERTISEMENT
Upaya untuk meningkatkan produksi padi bukanlah hal yang salah, bahkan harus terus dilakukan. Akan tetapi upaya tersebut dapat dibarengi dengan gerakan diversifikasi pangan agar masyarakat tidak tergantung pada satu jenis komoditas saja, sehingga ketahanan pangan dapat terjaga. Terlebih lagi melihat dinamika dan lingkungan strategis global saat ini. Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan mengingatkan agar kita waspada terhadap ancaman krisis pangan akibat dampak pandemi, perubahan iklim, dan juga perang Rusia-Ukraina.
Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) sebagai lembaga pemerintah yang salah satu tugas pokoknya adalah penganekaragaman pangan terus menyerukan agar kita kembali ke pangan lokal. Pangan lokal menurut Ahmad Suryana dalam bukunya Kebijakan Pangan dan Gizi Nasional Berkelanjutan (2019) merupakan warisan budaya yang dihasilkan dari proses panjang dan turun temurun. Maka bertumpu pada satu komoditas beras sebagai pangan pokok tidak saja menyia-nyiakan anugerah Tuhan yang diturunkan di negeri ini, tetapi juga membuat kita sebagai bangsa bergantung hanya pada satu komoditas pangan. Konsekuensinya, ketergantungan seperti ini akan berdampak pada stabilitas ekonomi dan politik. Kelangkaan pangan di suatu wilayah akan memicu gejolak sosial yang tentu saja merugikan kita semua.
ADVERTISEMENT
Gema Sagu Dari Maluku
Mengambil momentum rangkaian Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ke-77, pada Sabtu (20/08/2022) sagu dari Maluku menggema mengisi ruang publik dengan 521 jenis olahan dari sagu yang ditampilkan. Museum Rekor Indonesia (MURI) lantas memberikan penghargaan kepada Pemerintah Provinsi Maluku dengan olahan makanan berbahan sagu terbanyak.
Dipilihnya sagu sebagai makanan pemecah rekor MURI oleh pemerintah Provinsi Maluku karena memiliki potensi besar menjadi sumber pangan alternatif. Sagu bukan pangan asing di wilayah timur Indonesia ini. Seperti kata Gubernur Maluku Murad Ismail, sagu bukan sekadar pangan orang Maluku, tapi menjadi identitas budaya yang keberadaannya harus dijaga dan dilestarikan.
Ini harus disambut dengan baik mengingat gerakan kolektif untuk mengangkat sagu sebagai potensi sumber pangan sudah sangat penting dilakukan. Pertambahan penduduk tentu meningkatkan permintaan bahan pangan. Pada saat yang sama kita juga dihadapkan pada ancaman terjadinya krisis pangan akibat pandemi dan perubahan iklim. Ditambah lagi perang Rusia-Ukraina yang membuat banyak negara menahan komoditas pangannya untuk kebutuhan dan cadangan pangan dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Kepala NFA Arief Prasetyo Adi yang juga hadir dalam acara tersebut meyakini keberagaman konsumsi pangan menjadi gerakan yang terus didorong pemerintah sebagai salah satu solusi untuk mewujudkan ketahanan pangan. Selain itu, pola konsumsi pangan yang beragam dengan memprioritaskan bahan pangan lokal dapat menjadi jalan keluar dari jebakan ketergantungan impor, salah satunya impor gandum. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor gandum Indonesia mengalami kenaikan sejak 2016 hingga saat ini yang mencapai 10 hingga 11 juta ton setiap tahun.
Jadi sebagai bagian dari upaya menggerakkan diversifikasi pangan, mengapa kita tidak mencoba untuk mengubah kebiasaan makan kita dengan mengonsumsi sagu, dalam berbagai bentuk olahannya, setidaknya dalam seminggu ada satu atau dua hari sagu mengisi dan mendominasi meja makan kita. Karena kenyang tidak harus nasi.
ADVERTISEMENT