Mengoptimalkan Pekarangan untuk Turunkan Stunting

Munawar Khalil N
ASN Badan Pangan Nasional
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2021 21:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Munawar Khalil N tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu permasalahan yang masih dihadapi Indonesia adalah stunting. Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan.
Manfaatkan pekarangan sebagai sumber pangan yang beragam dan bergizi bagi keluarga. Foto: BKP Kementan
Berbagai penelitian menyebutkan stunting pada anak dapat memengaruhi perkembangan kognitif dan psikomotorik, serta cenderung rentan terhadap berbagai penyakit. Pada akhirnya memengaruhi kualitas sumber daya manusia karena akan berdampak pada produktivitasnya kelak ketika dewasa. Menko PMK Muhadjir Effendy dalam salah satu diskusi virtual pada 10 Juli 2021 mengatakan bahwa kualitas sumber saya manusia (SDM) Indonesia tidak optimal karena 54 persen angkatan kerja saat ini merupakan mantan stunting atau pernah kurang gizi.
ADVERTISEMENT
Melihat problem stunting ini, tidak heran Presiden Jokowi menaruh perhatian besar terhadap penanganan stunting sehingga dalam RPJMN 2020-2024 ditargetkan penurunan stunting menjadi 14 % pada tahun 2024.
Berdasarkan data Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) yang terintegrasi dengan Susenas Tahun 2019 angka prevalensi stunting di indonesia sebesar 27,7%. Angka ini masih di atas prevalensi stunting global sebesar 21,3% dan juga ASEAN sebesar 24,7%. Global Nutrition Report (https://globalnutritionreport.org ) mencatat prevalensi stunting Indonesia berada di urutan kedelapan di antara negara-negara ASEAN, di atas Laos, Kamboja, dan Timor Leste.
Intervensi Gizi
Berdasarkan dokumen Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Pencegahan Anak Stunting yang dapat diakses melalui www.stunting.go.id, upaya pencegahan stunting menyasar penyebab langsung maupun tidak langsung melalui pendekatan menyeluruh dengan melibatkan berbagai sektor terkait. Upaya ini dilakukan melalui dua intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.
ADVERTISEMENT
Intervensi gizi spesifik merupakan ranah sektor kesehatan yang berupaya menangani penyebab langsung stunting seperti kurangnya asupan makanan dan gizi serta penyakit infeksi. Intervensi ini menyasar ibu hamil dan menyusui, anak usia 0-59 bulan, dan remaja putri serta wanita usia subur.
Sementara itu, intervensi gizi sensitif berupaya mengatasi penyebab tidak langsung dari stunting antara lain akses terhadap pangan bergizi, lingkungan sosial, lingkungan kesehatan, dan lingkungan pemukiman. Penyebab tidak langsung ini memengaruhi asupan gizi. Intervensi ini dilaksanakan oleh berbagai pihak di luar sektor kesehatan. Adanya intervensi untuk mengatasi penyebab tidak langsung ini diharapkan dapat mencegah terjadinya masalah gizi terhadap anak.
Pemanfaatan Pekarangan Sebagai Intervensi Sensitif
The State on Food Security and Nutrition (SOFI) 2021 mencatat bahwa makanan yang dikonsumsi rumah tangga di Indonesia belum mencapai kecukupan baik dari aspek jumlah maupun keragamannya. Hal ini dapat meningkatkan risiko kekurangan gizi dan defisit fisik dan kognitif pada anak-anak.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan pekarangan sebagai sumber pangan yang beragam, dan bergizi bagi keluarga. Pemanfaatan pekarangan ini menjadi salah satu intervensi sensitif dalam penanganan stunting. Intervensi ini berjalan bersama sektor non kesehatan lain secara terintegrasi.
Potensi pekarangan sebagai sumber pangan sangat beralasan mengingat pekarangan dapat ditanami berbagai macam tanaman seperti sayuran dan buah-buahan yang sangat baik bagi dikonsumsi oleh anggota keluarga. Di pekarangan ditanam berbagai jenis sayuran seperti kangkung, caisim, sawi, dan cabai. Di pekarangan dengan luasan yang cukup juga potensial ditanami berbagai macam tanaman umbi-umbian sumber karbohidrat seperti singkong, ubi jalar, dan lainnya. Bahkan sumber protein hewani seperti ikan juga dapat diperoleh dari pekarangan bahkan di lahan sempit, misalnya menggunakan teknik Budidaya ikan dalam ember (Budikdamber).
ADVERTISEMENT
Selain bermanfaat bagi pemenuhan pangan yang bergizi, bertanam di pekarangan juga dapat mengurangi pengeluaran rumah tangga sebab tidak perlu ke pasar untuk membeli bahan pangan. Atau setidaknya belanja bahan pangan dapat dikurangi karena sebagian sudah terpenuhi dari pekarangan.
Untuk mendukung upaya penurunan stunting ini, Kementerian Pertanian memfasilitasi kelompok masyarakat dalam bentuk kegiatan Pekarangan Pangan Lestari (P2L). P2L menjadi contoh bagaimana menghasilkan sumber pangan yang beragam dari pekarangan. Masyarakat membentuk kelompok atau komunitas yang memudahkan kerja sama antar anggota sehingga mampu memenuhi sebagian kebutuhan pangannya dari pekarangan.
Apa yang dilakukan oleh Kementan tentu saja tidak dapat mencakup keseluruhan pekarangan di Indonesia yang mencapai lebih dari 10 juta hektar. Karena itu, P2L ini perlu direplikasi oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, swasta, dan instansi lainya serta anggota masyarakat yang secara mandiri memiliki inisiatif untuk memanfaatkan lahan-lahan pekarangan sebagai sumber pangan.
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga saat ini juga menjadi tantangan tersendiri dalam pemenuhan pangan dan gizi keluarga. Karena itu bertanam di pekarangan menjadi aktivitas yang tidak hanya dapat menghasilkan bahan pangan dari sekitar, tetapi juga menjadi aktivitas rekreatif bagi keluarga. Anggota keluarga, terutama anak-anak bisa dilibatkan dalam aktivitas bertanam yang mengasyikkan sehingga anak tetap tumbuh sehat, aktif, dan produktif dari rumah.