Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mubazir Makanan
22 September 2024 10:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Munawar Khalil N tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari terakhir viral di media, ratusan nasi tumpeng yang disusun sedemikian rupa membentuk peta Karawang dan merupakan bagian dari acara pemecahan rekor MURI dalam rangka HUT ke-391 Karawang, akhirnya terbuang percuma dan menjadi sampah makanan karena tidak layak dikonsumsi. Sayang sekali, dengan makanan yang berlimpah seperti itu, masyarakat seharusnya bisa menikmati makanan yang enak dengan lauk pauk beragam.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari faktor apa saja yang menyebabkan tidak layaknya nasi tumpeng tersebut dikonsumsi, faktanya bahwa sebagian dari 1.600 nasi tumpeng yang disajikan dalam acara tersebut dibuang ke tempat sampah dan menjadi mubazir. Ini tentunya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua agar lebih menghargai makanan dan tidak menjadi pelaku mubazir makanan atau dalam istilah lain boros pangan mengingat dampaknya yang luar biasa pada lingkungan, ekonomi, hingga ketahanan pangan.
Peristiwa nasi tumpeng di Karawang harus menjadi momentum untuk berbenah. Sebab kita masih menjadi negara dengan tingkat pemborosan makanan terbesar di dunia. The Economist Intelligence Unit (IEU) menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan kedua negara dengan tingkat food waste terbesar di dunia, yaitu mencapai 300 kg per orang per tahun. Sementara itu, di level Asia Tenggara, Indonesia memuncaki peringkat produksi sampah makanan terbesar mencapai 20,94 juta ton per tahun.
ADVERTISEMENT
Hasil kajian Bappenas tahun 2021 juga menunjukkan bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun (2000-2019), jumlah timbulan sampah makanan di Indonesia mencapai 23-48 juta ton. Angka ini jika dilihat dari aspek lingkungan setara dengan 7,29 persen emisi gas rumah kaca, dan tentunya memengaruhi pemanasan global.
Sementara itu, dari aspek ekonomi, jumlah kerugian timbulan sampah makanan tersebut diperkirakan sebesar 213 - 551 triliun rupiah per tahun, dan ini setara dengan 4 hingga 5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Belum lagi jika dilihat dari aspek ketahanan pangan, sampah makanan ini setara dengan kandungan energi untuk porsi makan 61-125 juta orang per tahun.
Dengan konsekuensi lingkungan, ekonomi, dan ketahanan pangan berkelanjutan di atas, penting sekali rasanya gerakan mengubah kebiasaan dari mubazir makanan menjadi lebih menghargai makanan. Kesadaran seperti ini harus dibangun di setiap tingkatan sosial, dari individu, keluarga, komunitas, hingga level negara. Namun drive dari negara menjadi kebutuhan yang mendesak untuk menghasilkan daya dorong yang kuat kepada seluruh elemen masyarakat untuk bergerak bersama dalam satu semangat anti mubazir makanan atau anti boros pangan.
ADVERTISEMENT
Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan (SSP) dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045 yang diterbitkan Bappenas tahun 2024 menargetkan pengurangan SSP ini hingga 50 persen pada tahun 2030 dan menjadi 75 persen pada tahun 2045. Hal ini didukung dengan berbagai target kebijakan yang mencakup pengelolaan SSP di setiap tahap rantai pasok pangan mulai dari produksi, pasca panen, pengolahan, distribusi hingga konsumsi pangan. Penguatan infrastruktur dan teknologi menjadi faktor penting. Selain itu, disadari bersama perlunya kebijakan dan regulasi yang mendukung pengelolaan SSP. Susut Pangan didefinisikan sebagai penurunan kuantitas pangan yagn terjadi pada proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali dan/atau mengubah bentuk pangan. Sementara itu, Sisa Pangan didefinisikan sebagai pangan layak dan aman untuk dikonsumsi manusia yang berpotensi terbuang menjadi sampah makanan pada tahap distribusi dan konsumsi.
ADVERTISEMENT
Yang juga menarik dari peta jalan ini adalah, salah satu prinsip utama kebijakan SSP yakni implementasi kebijakan dan regulasi yang mengakomodir berbagai pengaturan terhadap pengelolaan SSP seperti pemberian insentif untuk praktik baik, penalti untuk pemborosan pangan, dan regulasi donasi pangan. Kebijakan insentif pajak diberikan kepada perusahaan yang mengimplementasikan praktik pengurangan SSP, dan bagi pelaku industri yang mengadopsi teknologi ramah lingkungan dan efisien. Selain itu, penyediaan subsidi dan hibah untuk mendukung teknologi pengurangan SSP, serta kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pengurangan SSP.
Kebijakan ini tentu harus berada dalam kerangka regulasi yang tepat sehingga dalam implementasinya dapat berjalan secara baik. Terdapat wacana untuk membangun regulasi terkait SSP ini dalam bentuk Undang-Undang. Ada juga yang berpendapat cukup dengan Peraturan Presiden (Perpres). Namun mengingat saat ini masuk dalam periode lame duck di mana akan terjadi transisi pemerintahan, praktis penyusunan regulasi terkait SSP ini sebaiknya menunggu pemerintahan baru sehingga subtansi pengaturan di dalamnya dapat dibahas secara matang oleh pemerintah dan DPR dengan mempertimbangkan aspirasi seluruh elemen masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kita berharap, dengan pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto sebagai Presiden dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden yang akan dilantik pada Oktober mendatang, semangat pemerintah untuk menurunkan angka susut dan sisa pangan terus bergelora, dan memberikan dampak positif terhadap ketahanan pangan berkelanjutan, lingkungan, dan perekonomian kita.