Pizza, Jepa, dan Pangan Lokal

Munawar Khalil N
ASN Badan Pangan Nasional
Konten dari Pengguna
26 Februari 2022 5:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Munawar Khalil N tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jepa dari Mandar, Sulawesi Barat (Foto: Sapriadi/SulbarKini - Kumparan.com)
zoom-in-whitePerbesar
Jepa dari Mandar, Sulawesi Barat (Foto: Sapriadi/SulbarKini - Kumparan.com)
ADVERTISEMENT
Pizza, siapa yang tak kenal makanan khas Italia ini? Berkat waralaba pizza dimana-mana, pizza menjadi makanan yang dikenal di seluruh dunia, bahkan hingga ke pelosok wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pizza paling enak yang pernah saya nikmati di sebuah restoran di Roma, Italia. Entah karena memang pizzanya yang benar-benar enak, ataukah saya saja yang terbawa suasana di negeri asal makanan berbentuk bulat pipih ini.
Ketika sedang menikmati pizza itu saya teringat dengan salah satu makanan khas di Provinsi Sulawesi Barat: Jepa. Bentuknya juga bulat pipih.
Membandingkan pizza dengan jepa? Rasa-rasanya tidak sebanding. Akan tetapi manusia dianugerahi kemampuan mencipta yang mengagumkan dalam beradaptasi terhadap keadaan. Karena itu, bolehlah kita berharap suatu saat jepa berada di “ruang kelas” yang sama dengan pizza.
Pizza dari Mandar, demikian biasanya julukan yang diberikan pada jepa. Sekilas bentuk jepa memang mirip dengan pizza, bulat pipih. Yang membedakan adalah bahan-bahan pembuatannya. Pizza terbuat dari bahan dasar tepung dengan aneka bumbu di atasnya, sedangkan jepa terbuat dari singkong/ubi kayu yang diparut dan dikeringkan.
ADVERTISEMENT
Pizza pada mulanya adalah makanan bagi rakyat miskin. Konon pada abad 18 Raja Ferdinand I diam-diam sering mengunjungi lingkungan kumuh di Napoli untuk menikmati pizza. Lambat laun kegemarannya itu diketahui orang-orang kaya dan elite kerajaan. Pada akhirnya pizza dikenal bukan lagi makanan kelas bawah, tapi sudah menjadi makanan menengah ke atas hingga hari ini.
Pizza yang pada mulanya makanan untuk kaum papa berhasil “nangkring” di atas meja makan kaum kelas menengah ke atas di Italia. Jika pizza mampu terangkat derajatnya karena para elit dan bangsawan Italia menggemari pizza, mengapa kita tidak berusaha membentuk sejarah yang serupa.
Ini bisa dimulai dari pemerintah dan kelas menengah di Sulawesi Barat perlu mendukung, mengampanyekan, bahkan mendemonstrasikan memakan jepa setiap hari dalam upaya menaikkan citra jepa sebagai makanan yang tidak kalah dari makanan lainnya baik dari aspek cita rasa maupun gizinya. Selain itu, dukungan terhadap para pelaku usaha jepa sangat penting dalam menciptakan ekosistem industri pangan yang baik.
ADVERTISEMENT
Aspek lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah kreatifitas dalam menghadirkan jepa yang menarik (eye catching). Pizza pada mulanya hanya terbuat dari tepung gandum yang diuleni dengan air, dibentuk menjadi gumpalan bundar dan digepengkan dengan tangan. Belakangan baru ditambahkan bahan lain seperti tomat, saos, dan keju. Variasi pizza terbukti semakin menambah cita rasa dan kelezatannya.
Jepa juga sesungguhnya bisa menempuh jalan sejarah yang sama. Jepa biasanya dimakan dengan bau peapi (masakan ikan dengan kuah kuning) dan sambal khas Mandar. Mungkin suatu saat ada yang mengkreasikan dengan bumbu atau campuran lain yang tidak menghilangkan identitas awalnya sebagai jepa.
Pangan lokal masih seringkali dipandang sebagai makanan kampung, hanya karena berasal dari kampung dan banyak dikonsumsi kalangan masyarakat umum. Tidak terkecuali jepa. Jepa menjadi alternatif pangan pada saat paceklik. Para nelayan juga mengandalkan jepa sebagai bahan pangan di laut selama berhari-hari. Jepa seharusnya mampu bermetamorfosis menjadi makanan berkelas yang dinikmati tidak hanya oleh masyarakat di Mandar, tetapi juga di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Mengapa demikian? Karena kita masih ketergantungan terhadap beras sebagai pangan pokok yang dikonsumsi sehari-hari. Ketergantungan ini akan menjadi persoalan karena, pertama konsumsi pangan orang Indonesia masih belum seimbang. Konsumsi energi yang bersumber dari beras berada di 60,3%, masih melampaui batas ideal sebesar 50% (Pola Pangan Harapan 2021). Konsumsi beras yang masih tinggi ini berdampak pada tidakseimbangnya keragaman pangan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk tetap sehat.
Kedua, ketergantungan terhadap beras berpotensi pada instabilitas sosial dan politik. Importasi beras menjadi polemik yang memancing publik dan rentan ditunggai kepentingan tertentu.
Padahal kita tidak kekurangan sumber pangan pokok, salah satunya singkong yang tumbuh subur si negeri ini.
Karena itu, peran pemerintah dan masyarakat sangat penting untuk mendorong agar jepa menjadi pangan lokal yang meng-global. Beberapa upaya ke arah sana sudah terlihat, kehadiran jepa sebagai kuliner khas Sulawesi Barat dalam berbagai festival pangan maupun event lainnya harus diapresiasi dan didukung oleh semua pihak. Salah satunya generasi muda.
ADVERTISEMENT
Peran milenial dan generasi Z sangat penting mengingat saat ini era digital di mana media sosial sangat berpengaruh dalam membentuk sikap dan perilaku masyarakat. Jika mereka mampu menghadirkan konten-konten menarik plus strategi promosi yang ciamik, niscaya jepa akan lebih luas lagi dikenal dan menjadi pangan lokal yang potensial untuk ketahanan pangan nasional.