Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Urgensi Edukasi Pangan dalam Program MBG
10 April 2025 9:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Munawar Khalil N tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa testimoni dari anak sekolah di berbagai daerah yang menerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan satu fakta bahwa sebagian anak memang tidak suka mengonsumsi sayur dan buah. Jika nasi dan ayam dimakan dengan baik, berbeda dengan sayur dan buah yang tidak dimakan oleh beberapa siswa. Alasannya karena tidak suka, atau tidak terbiasa makan sayuran dan buah.

Fenomena ini perlu mendapat perhatian kita semua, sebab tujuan utama dari program MBG ini tentunya untuk membangun generasi muda yang sehat, aktif, dan produktif melalui asupan pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman. Namun apabila mereka hanya makan sebagian dari yang disediakan, tentu apa yang menjadi tujuan dari program MBG ini akan terhambat.
ADVERTISEMENT
Temuan di lapangan terkait ketidaksukaan sebagian anak untuk mengonsumsi sayuran dan buah harus menjadi kekhawatiran bersama. Sebab meskipun menurut skor Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2024 secara nasional menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah masih sesuai dengan standar ideal yaitu 6 persen, terjadi tren penurunan konsumsi kelompok pangan ini sebesar 0,4 kilokalori (kkal) per kapita per hari.
Secara umum situasi konsumsi pangan kita memang masih mengarah pada komposisi konsumsi pangan yang beragam, namun hal ini perlu terus didorong sehingga mencapai titik ideal. Skor PPH tahun 2024 sebesar 93,5, menurun dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 94,1. Skor PPH ini masih berada di bawah target RPJMN sebesar 95,2.
Oleh karena itu, pemberian MBG kepada siswa perlu dibarengi dengan edukasi yang kuat kepada anak itu sendiri. Ketidaksukaan anak untuk makan buah dan sayur tidak hadir secara tiba-tiba. Hal itu merupakan akumulasi dari pola konsumsi yang diterapkan di rumah tangga dan juga pengaruh dari lingkungan sosial di mana anak tersebut berada.
ADVERTISEMENT
Karena itu, selain edukasi kepada anak itu sendiri, juga dibutuhkan edukasi kepada guru dan orang tua sebagai stakeholder utama dalam pendidikan dan proses tumbuh kembang anak. Dengan begitu, anak tidak hanya diberikan "what" tapi juga dipaparkan "why" mereka harus mengonsumsi buah dan sayur.
Edukasi bisa dilakukan dengan beragam cara dan juga melibatkan seluruh stakeholder pangan. Sebagai contoh sederhana, di kotak makanan anak-anak itu bisa diberikan informasi singkat mengenai apa makanan yang akan mereka konsumsi. Bahkan akan lebih baik jika sebelum acara makan bersama, juga ada semacam sosialisasi singkat yang menjelaskan apa kandungan dan manfaat yang diperoleh dari makanan yang disajikan. Kemasan, cara, dan media penyampaian bisa dilakukan sekreatif mungkin seusai dengan segmentasi usia anak.
ADVERTISEMENT
Ada banyak cara lainnya yang bisa digunakan untuk mendorong anak-anak untuk menyukai buah dan sayuran. Tapi tentu ini butuh waktu. Apalagi yang akan diubah adalah mindset dan selera pangan yang sudah tertanam sejak mereka lahir.
Karena itu, dukungan guru dan orang tua menjadi penting. Guru yang sadar akan pentingnya pangan dan gizi akan mencari pengetahuan tentang ini, dan berusaha menanamkan kesadaran pangan dan gizi yang baik kepada anak didiknya.
Begitupula orang tua yang sudah mendapat edukasi yang baik tentang ketahanan pangan dan gizi akan relatif lebih mudah untuk didorong sehingga dapat mewariskan kebiasaan makan yang baik.
Satu hal lagi yang juga tidak kalah pentingnya adalah, muatan lokal dalam program MBG menjadi penting kaitannya dengan upaya penganekaragaman pangan. Bahwa unsur pangan lokal yang beragam merupakan keunggulan tersendiri. Di berbagai media, komitmen dan dukungan terhadap pemanfaatan pangan lokal dinyatakan oleh berbagai instansi pemerintah, khususnya Badan Gizi Nasional yang menjadi penyelenggara program ini.
ADVERTISEMENT
Aspek keanekaragaman pangan ini dapat menopang program MBG di mana setiap daerah memiliki keunggulan produk pangan yang berbeda-beda. Sebagai contoh pangan sumber karbohidrat sangat beragam, konon mencapai 77 jenis. Dari sini anak-anak bisa dikenakan pangan sumber karbohidrat selain beras, seperti sagu, kentang, sukun, singkong, ubi jalar, jagung, dan talas.
Persoalannya memang pada proses pengenalan yang tentunya tidak instan. Karena itu, menurut hemat saya, kerja-kerja edukasi dan sosialisasi harus terus menerus dilakukan seiring dengan Makan Bergizi Gratis yang diberikan setiap hari. Dan itu membutuhkan keterlibatan semua pihak.
Karena prosesnya tidak singkat, maka hasilnya pun tidak bisa dituntut dalam waktu secepat-cepatnya. Maka salah satu indikator tidak langsung yang bisa dilihat kaitannya dengan program MBG adalah melalui peningkatan kualitas konsumsi pangan yang tercermin dari skor PPH yang dirilis oleh Badan Pangan Nasional secara tahunan. Seperti diuraikan sebelumnya, skor PPH nasional di tahun 2024 mengalami penurunan dari tahun 2023. Program MBG diharapkan dapat mengakselerasi perbaikan kualitas konsumsi pangan masyarakat yang terlihat dari skor PPH tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penurunan angka stunting juga menjadi indikator yang diukur melalui Survei Kesehatan Indonesia (SKI). Berdasarkan SKI tahun 2023, prevalensi stunting nasional sebesar 21,5 persen, turun sekitar 0,8 persen bila dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 21,6%. Namun demikian, capaian ini masih di atas standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu di bawah 20%. Program MBG diharapkan menjadi katalisator penurunan stunting.
Semoga dengan program MBG ini dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.