Tahun 1926, Awal Mula Tradisi Endhog-ndhogan di Banyuwangi

BANYUWANGI CONNECT
membacalah walau sebentar
Konten dari Pengguna
1 Desember 2017 9:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BANYUWANGI CONNECT tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tahun 1926, Awal Mula Tradisi Endhog-ndhogan di Banyuwangi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Mbah Yai Abdullah Fakih dari Cemoro Songgon Banyuwangi
ADVERTISEMENT
Tradisi Endhog-ndhogan di Banyuwangi dimulai antara tahun 1926 dan dipelopori oleh Mbah Yai Abdullah Fakih dari Cemoro Songgon Banyuwangi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Banyuwangi selalu ditandai dengan Endhog-ndhogan. Musala-musala, masjid-masjid, kampung-kampung yang menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi SAW selalu mengarak Endhog-ndhogan terlebih dahulu pada sore hari dan malamnya digelar ceramah agama. Di desa-desa masih diselenggarakan pagi hari sebagai tradisi. Sama dengan di kota, Endhog-ndhogan diarak keliling desa, berakhir masuk masjid, disambung dengan pembacaan dzikir maulid kitab Al-Barzanji mulai syair Assalaamu’alaik hingga mahalulqiyam melantunkan syair Asyrokol.
Endhog-ndhogan adalah produk budaya lokal Banyuwangi. Beberapa bulan setelah deklarasi jam’iyah NU tahun 1926, menjelang bulan Robiul awwal, Mbah Yai Kholil Bangkalan memanggil para alumnus Ponpes Kademangan Bangkalan yang dipimpinnya. Mereka antara lain adalah KH. Hasyim Ashari, pendiri Ponpes Tebu Ireng Jombang, Mbah Yai Abdul Karim pendiri Ponpes Lirboyo Kediri, Mbah Yai Abdul Wahab Hasbulloh pendiri Ponpes Tambak Beras Jombang, Mbah RM.Mudasir (KH.Abdullah Fakih) pendiri Ponpes Cemoro Balak Songgon Banyuwangi, KH.Asmuni pendiri Ponpes Teratai Sumenep Madura, Mbah Yai Ach.Abas Buntet Cirebon, Mbah Yai Nawawi Gersik dan lain-lain. “Mbah Yai Kholil itu ngendika, saiki kembange Islam wis lahir ning Nusantara arupa endhog. Yoiku, kulite NU isine amaliyah ke-NU-an. Kulit tanpa isi kopong, isi tanpa ono kulite ya keleleran."
ADVERTISEMENT
Sepulang dan reuni, Mbah Yai Abdullah Fakih yang nama aslinya Mbah Raden Mas Mudasir mengeluarkan pelanca (dipan). Seluruh pinggiran dipan dipasangi gedebog (pohon pisang) kemudian telor yang sudah disunduk dengan sujen dan dihias bunga-bunga ditancapkan pada gedebog tadi. Di tengah-tengah dipan diberi hampir seluruh perabot dapur. Kemudian dipan digotong beramai-ramai oleh para santrinya berkeliling kampong dengan melantunkan salawat dan bacaan dzikir lainnya. Setiap sampai di tikungan jalan kampung, arak-arakan berhenti, dan salah satu santrinya ada yang bertugas sebagai muadzin. Akhir arak-arakan, jodang dipan tadi di bawa masuk ke masjid. Di dalam masjid seluruh hadirin semakin bersemangan melantunkan syair-syair salawat untuk kanjeng Nabi Muhammad SAW. Mulai saat itu santri-santri lulusan Cemoro yang kebanyakan dari masyarakat berbahasa Using, selalu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Kyainya saat menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Para santri kebanyakan dari Benculuk ke utara sampai Banyuwangi,Giri dan Glagah.
ADVERTISEMENT
Dari dawuh Mbah Yai Kholil Bangkalan dan terjemahan sederhana Mbah Yai Fakih Cemoro, hingga saat ini Endhog-ndhogan selalu digelar oleh generasi Islam di seluruh Kabupaten Banyuwangi. Bahkan setiap ada komunitas Using di Nusantara ini, selalu menggunakan Endhog-ndhogan untuk memeriahkan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Di Tangerang tahun 1989 dipelopori oleh lare-lare Kerantigan Kel.Pengantigan Banyuwangi yang bekeija di pabrik ban antara lain Jurkoni, Kahfi Musaat, Sunalip, dll.
Terjemahan secara filosofinya pun mulai tidak mengkhusus pada munculnya jam’iyah NU di Indonesia tetapi lebih mengarah pada pengertian umum untuk segala jam’iyyah, karena sasarannya adalah pribadi-pribadi muslim wal muslimat.
Endhog-ndhogan mempunyai makna telor hias baik hanya satu maupun berjumlah banyak. Endhog-ndhogan tidak bisa diartikan sebagai telor-teloran yang memberikan pemahaman benda yang menyerupai telor. Baik warna, bentuk, maupun ukurannya. Bahannya bisa terbuat dari plastik, gabus, viber, marmer dll.
ADVERTISEMENT
Bahan pelengkap hiasannya terdiri dari kertas wama-wami, lem, pir kawat kecil dan sunduk bambu. Sunduk bambu selain kulitnya dibilah tipis sampai 3 bilahan yang masih melekat pada induk sunduk tadi. Bilah-bilah tipis itu ditempeli kertas wama-wami. Ujung induk sunduk dipotong. Ujung potongan itu dihias bunga kertas yang biasanya berbentuk bunga mawar. Pangkal potongan ujung sunduk tadi dililiti pir kawat kecil untuk ditancapkan kembali pada induk sunduk yang sudah ditusuki telor.