Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menggugat Klaim Israel: Hak Repatriasi dan Kompensasi Pengungsi Palestina
19 Januari 2024 16:38 WIB
Tulisan dari Muntaqim Asbuch tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi krisis pengungsi Palestina, sebuah studi baru yang signifikan dari Oxford University Press mengusulkan perlunya perubahan paradigma dalam memandang pengungsi Palestina. Tidak lagi hanya sebagai korban, tetapi sebagai individu yang memiliki hak untuk membentuk nasibnya sendiri. Pernyataan ini bersandar pada dasar hukum internasional yang menegaskan hak-hak pengungsi Palestina untuk kembali ke rumah dan tanah mereka, menerima restitusi dan kompensasi atas penderitaan mereka.
ADVERTISEMENT
Buku "Palestinian Refugees in International Law " (Edisi ke-2), yang diterbitkan oleh Francesca P. Albanese dan Lex Takkenberg pada Mei 2020, memberikan wawasan mendalam tentang isu-isu tersebut. Studi ini membahas faktor penyebab krisis pengungsi, menyediakan data statistik penting, dan menjelaskan kerangka hukum internasional yang mengatur hak-hak pengungsi Palestina.
Sejak pembersihan etnis Palestina oleh pasukan Zionis pada 1947-1949, krisis pengungsi ini telah menjadi salah satu yang terpanjang dan terbesar dalam sejarah modern. Banyak dari pengungsi ini, yang sekarang sudah generasi ketiga atau keempat, terdaftar sebagai 'pengungsi Palestina' oleh UNRWA dan disebut sebagai pengungsi 1948. Mereka menghadapi tantangan hidup sebagai kelompok pengungsi terbesar secara global.
Selain itu, pada tahun 1967, lebih banyak Palestina diasingkan dari Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, dikenal sebagai "orang yang terpindah" atau "pengungsi 1967." Meskipun nasib dan status mereka mirip dengan pengungsi 1948, istilah yang berbeda digunakan untuk menggambarkan mereka.
ADVERTISEMENT
Studi ini menyoroti perbedaan perlakuan terhadap pengungsi Palestina dibandingkan dengan pengungsi dari konflik lain. Mereka tunduk pada rezim institusional yang berbeda sejak tahun 1948, menciptakan situasi di mana hak-hak dan standar perlakuan yang seharusnya mereka dapatkan sering kali dikecualikan. Perlakuan khusus ini, berakar pada ketidakmampuan PBB untuk memastikan kembalinya pengungsi ke negara baru Israel, memerlukan perubahan mendasar dalam perspektif dan pendekatan internasional.
Dalam konteks demografi, lebih dari tiga belas juta Palestina saat ini tersebar di seluruh dunia, dengan sekitar delapan juta di antaranya sebagai pengungsi. Studi ini memperkirakan bahwa sekitar 1,5 juta Palestina berada di luar negara-negara Arab, sulit untuk dilacak dan sering kali tidak terlihat secara statistik. Mereka hidup dengan identitas yang terkait dengan negara tuan rumah mereka, menciptakan keragaman dalam kerangka hukum dan perlakuan yang diterima.
ADVERTISEMENT
Fakta yang kurang dikenal yang diungkapkan oleh studi ini adalah pengusiran lebih dari 700.000 pengungsi Palestina dari negara-negara Arab sejak akhir 1960-an. Hal ini menciptakan tantangan besar, termasuk kebutuhan untuk mencari suaka lagi di negara lain, tanpa mendapatkan dukungan penuh dari PBB.
Studi ini merinci 'masalah demografi' sebagai fokus Israel untuk menciptakan mayoritas Yahudi di Palestina, menggambarkan bahwa pada saat pembentukan negara Israel pada tahun 1948, penduduk Yahudi hanya menyumbang sepertiga dari total populasi Palestina. Kebijakan ini, yang dimulai pada awal 1930-an dengan pendirian Komite Pemindahan Penduduk oleh Jewish Agency, berlanjut selama tahun 1948 dengan kampanye pembersihan etnis yang menyebabkan pengusiran besar-besaran penduduk Arab Palestina.
Selanjutnya, studi ini menyelidiki Undang-Undang Kewarganegaraan Israel tahun 1952 yang melarang pengungsi kembali dan Undang-Undang Pencegahan Infiltrasi tahun 1954 yang memberikan dasar hukum bagi penangkapan dan penahanan para pengungsi yang mencoba kembali ke tanah mereka. Kebijakan ini menciptakan rintangan hukum yang signifikan bagi repatriasi pengungsi Palestina dan membentuk dasar untuk klaim Israel yang menolak hak mereka untuk kembali.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, laporan dan rekomendasi Count Folke Bernadotte, Mediator PBB untuk Palestina, yang tewas dalam serangan teroris pada tahun 1948 setelah mencoba menyelamatkan tahanan kamp konsentrasi Nazi, menjadi krusial. Laporan tersebut menekankan hak-hak pengungsi Palestina dan menyarankan penyelesaian konflik melalui repatriasi dan kompensasi.
Namun, klaim Israel terus menantang hak-hak pengungsi Palestina dan menolak untuk mematuhi Resolusi 194 PBB yang menjamin hak mereka untuk kembali. Studi ini mencatat bahwa pengadilan Israel bahkan telah mengabaikan hak-hak ini dan memberlakukan kebijakan yang menghambat repatriasi para pengungsi.
Dalam konteks Tepi Barat, Perintah Militer 58 diterapkan untuk memberikan dasar hukum bagi penyitaan properti Palestina. Ini memperkuat pendudukan Israel di wilayah tersebut dan merupakan bagian dari upaya yang berkelanjutan untuk menegaskan dominasi mereka atas tanah Palestina.
ADVERTISEMENT
Studi ini menyimpulkan dengan menegaskan bahwa hak-hak pengungsi Palestina harus diakui dan diwujudkan, dan mendesak perubahan paradigma dalam pandangan terhadap mereka. Dibutuhkan dukungan internasional yang lebih kuat untuk memastikan hak-hak ini diakui dan menyelesaikan krisis pengungsi Palestina, salah satu krisis manusia terlama dalam sejarah modern. Dengan memahami akar sejarah dan konteks hukum, muncul kesadaran akan pentingnya tindakan global untuk menyelesaikan konflik dan mendukung hak-hak fundamental para pengungsi Palestina.