Konten dari Pengguna

Fresh Graduate Terjebak: Lapangan Kerja Minim, Syarat Kerja Maksimal

Murzazilah
Mahasiswa Akuntansi Universitas Bangka Belitung
1 Mei 2025 14:25 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Murzazilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Murzazilah (Mahasiswa Universitas Bangka Belitung)
sumber: ilustrasi pembuatan menggunakan AI
zoom-in-whitePerbesar
sumber: ilustrasi pembuatan menggunakan AI
Memasuki dunia kerja setelah lulus kuliah seharusnya menjadi momen penuh harapan. Namun, bagi banyak fresh graduate di Indonesia, kenyataannya justru sebaliknya: lapangan kerja yang tersedia sangat terbatas, sementara syarat yang diminta oleh perusahaan terasa berlebihan. Ironisnya, di tengah sempitnya peluang, para lulusan baru dituntut memiliki pengalaman kerja, kemampuan multitasking, sertifikasi tambahan, hingga penguasaan berbagai bahasa asing.
ADVERTISEMENT
Salah satu ironi yang paling nyata adalah permintaan pengalaman kerja minimal 1–2 tahun dari posisi entry-level. Perusahaan cenderung lebih memilih kandidat berpengalaman demi efisiensi dan hasil kerja instan. Akibatnya, fresh graduate terjebak dalam lingkaran paradoks: tidak bisa mendapat kerja karena kurang pengalaman, tapi tidak bisa mendapat pengalaman karena tidak diberi kesempatan kerja. Hal ini berpotensi menciptakan generasi menganggur terdidik, yang frustrasi dan merasa tidak dihargai oleh sistem. Persyaratan kerja pun semakin kompleks. Lulusan baru diharapkan menguasai berbagai alat digital, memiliki sertifikasi profesional, pengalaman organisasi, kemampuan pemecahan masalah tingkat tinggi, bahkan kepemimpinan. Padahal, realita pendidikan tinggi di Indonesia belum merata dalam hal akses pelatihan, fasilitas praktikum, dan koneksi industri.
Situasi ini berisiko menimbulkan dua dampak serius. Pertama, meningkatkan angka penurunan intelektual. Kedua, terbentuknya tenaga kerja yang bekerja di bawah kapasitas atau di luar bidang keahliannya, hanya demi sekadar “memiliki pekerjaan”. Hal ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menciptakan ketidakefisienan dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) nasional.
ilustrasi orang melamar pekerjaan. sumber: pembuatan menggunakan AI
Solusi tidak bisa datang dari satu pihak saja. Pemerintah perlu lebih aktif mengembangkan program transisi dari pendidikan ke dunia kerja, seperti pelatihan pra-kerja berbasis keterampilan industri atau program magang bersertifikat. Di sisi lain, perusahaan perlu mengubah pendekatan rekrutmen mereka: bukalah lebih banyak jalur bagi pelatihan lulusan baru dengan awal yang manusiawi, bukan ekspektasi langit dari hari pertama.
ADVERTISEMENT
Kampus juga memegang peran penting. Kurikulum harus adaptif terhadap perkembangan industri. Tidak cukup hanya mengandalkan teori, tetapi perlu mengintegrasikan proyek nyata, kerja sama industri, dan pendidikan karakter profesional sejak dini.
Masa depan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana kita memperlakukan lulusan mudanya hari ini. Memberi kesempatan bukanlah beban, tetapi investasi jangka panjang. Karena di balik setiap fresh graduate, ada potensi besar yang hanya membutuhkan satu hal untuk tumbuh: kesempatan.