Res Judicata: Menelan Pahit-Pahit Ketidaktelitian dalam Putusan Penundaan Pemilu

Mushthafa Izzatur Rahman
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
21 Maret 2023 18:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mushthafa Izzatur Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Konpers KPU sikapi putusan PN Jakpus di Bali, Kamis (2/3/2023). Foto: Denita BR Matondang/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Konpers KPU sikapi putusan PN Jakpus di Bali, Kamis (2/3/2023). Foto: Denita BR Matondang/kumparan
ADVERTISEMENT
Res judicata pro veritate habetur, apa yang diputus hakim harus dianggap benar (Sudikno, 2006). Itulah asas yang sekiranya menggambarkan pembelaan Mahkamah Agung terhadap Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt.Pst oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang setidak-tidaknya dapat berimplikasi pada penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024. Seperti sebuah bumerang bagi penegakan kepastian hukum oleh Kekuasaan Kehakiman, Majelis Hakim dengan menggunakan kedudukannya dapat saja kemudian melakukan kekeliruan namun harus tetap dianggap benar oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam memahami bahwa perkara terkait merupakan sebuah perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) maka artikel ini akan menguraikan penalaran yang berlaku hingga perkara a quo dapat diputus oleh Majelis Hakim pada PN Jakarta Pusat dan mengungkapkan pada bagian manakah Majelis Hakim tidak teliti dalam mempertimbangkan kewenangan mengadilinya.

Perbuatan Melawan Hukum dan Prinsip Ius Curia Novit

Didasari oleh Pasal 1365 KUH Perdata, PMH yang merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Maka PMH sejatinya merupakan salah satu jenis perkara yang menjadi kompetensi absolut dari Peradilan Perdata. Apabila dihubungkan dengan Prinsip Ius Curia Novit yang berarti hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara (Yahya, 2016).
ADVERTISEMENT
Maka sejatinya menjadi sangat wajar apabila kemudian PN Jakpus menerima perkara terkait. Karena dalam perkara perdata, berwenang atau tidaknya PN dalam memutus suatu jenis perkara akan diputus oleh Majelis Hakim dalam persidangan. Mudahnya, Ketua PN tidak memiliki kewenangan untuk menolak perkara perdata untuk dipersidangkan, sehingga pertimbangan apakah PN terkait bewenang untuk mengadili suatu perkara akan sepenuhnya diserahkan kepada Majelis Hakim yang ditunjuk untuk mengadili perkara.

PMH Apabila Dilakukan Oleh Penyelenggara Negara

Dalam memahami bahwasanya tidak ada jalan bagi ketua PN Jakpus menolak perkara terkait untuk disidangkan maka Majelis Hakimlah yang harus secara teliti memeriksa kewenangannya untuk mengadili suatu perkara. Apabila perkara terkait dikontekskan hanya sebagai PMH biasa maka sebagaimana dijelaskan sebelumnya tentu saja Majelis Hakim tidak melampaui kewenangannya untuk mengadili.
ADVERTISEMENT
Namun bagaimana bila PMH dilakukan oleh suatu badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige overheidsdaad)? Di sinilah kemudian dapat dikatakan bahwa Majelis Hakim dalam perkara terkait tidak teliti dalam mempertimbangkan kewenangan mengadilinya.
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili PMH oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menjadi dasar hukum yang seharusnya diperhatikan oleh Majelis Hakim. Pasal 2 dari peraturan ini secara tegas mengatur bahwa perkara PMH oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara.
Lebih lanjut bahkan Pasal 11 peraturan ini menegaskan bahwa perkara PMH oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang diperiksa oleh Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak berwenang mengadili oleh Majelis Hakim yang memeriksanya. Ini jelas merupakan tamparan keras terhadap ketelitian Majelis Hakim dalam memeriksa kewenangannya untuk mengadili perkara Nomor 757/Pdt.G/2022/PN yang melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebuah lembaga negara sebagai tergugat.
ADVERTISEMENT

Mempertimbangkan Imunitas Personal Hakim

Suasana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jumat (3/3/2023). Foto: Hedi/kumparan
Secara konstitusional harus diakui bahwa Majelis Hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan nyatanya tidak dapat dituntut dan dipersalahkan meskipun ternyata melakukan tindakan yang melampaui batas wewenang (Yahya, 2016). Di sinilah kemudian kita dapat merasakan pahitnya res judicata, dalam artian kita tidak dapat menyalahkan Majelis Hakim atas kekeliruannya dalam memutus suatu perkara.
Maka upaya yang dapat dilakukan terhadap kekeliruan tersebut ialah apa yang telah diatur dalam proses hukum acara perdata, yakni pengajuan banding dan kasasi. Namun menjadi sebuah dilema dalam penegakan hukum apabila kemudian dengan mudahnya kepastian hukum itu dilubangi oleh kekuasaan kehakimana sendiri.
Namun Perlu diperhatikan bahwasanya dalam memahami Majelis Hakim dalam memeriksa suatu perkara dapat saja melakukan suatu ‘malpraktik’, maka Majelis Hakim masih diikat dengan konsekuensi-konsekuensi yang menembus tameng Imunitas Personalnya. Konsekuensi tersebut adalah tindakan administratif terhadap unprofessional judgement melalui pengawasan fungsional oleh PT maupun MA.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Imunitas Personal Hakim yang bersifat total tersebut juga tidak mengurangi kemungkinannya untuk dikenakan pertanggungjawaban pidana dalam konteks terbukti melakukan penyuapan ataupun pemerasan. Hal ini sebagaimana bahwa hak imunitas hakim itu adalah suatu hak yang terpisah daripada perbuatan pidana yang jelas-jelas berada di luar tindakan yudisial.
Oleh karena itu pahitnya ketidaktelitian Majelis Hakim dalam mempertimbangkan kewenangan mengadilinya pada Perkara Nomor 757/Pdt.G/2022/PN berhenti pada asas res judicata saja, hal ini karena Majelis Hakim tidak dapat berlindung atas kekeliruannya dibalik tameng hak imunitas personalnya.