Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Berangkat Dari Pengalaman Masa Lalu: Masyarakat Adat Papua Menolak Transmigrasi
25 Februari 2025 15:22 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Mustikad Zai tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rencana pemerintah untuk menghidupkan kembali program transmigrasi ke Papua menimbulkan berbagai aksi gerakan penolakan dari masyarakat adat Papua. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan yang kuat. Pengalam pahit dan trauma dimasa lalu yang dialami oleh masyarakat adat Papua yang menjadi dasar kekhawatiran akan masa depan mereka. Sejarah mencatat, program transmigrasi di Papua telah berlangsung sejak 1964 hingga 2001. Namun, setelah diberlakukannya Otonomi Khusus (Otsus) pada 2001, program ini dihentikan. Sejak era Orde Baru, transmigrasi di Papua memang menjadi isu sensitif. Program yang dulunya bertujuan untuk pemerataan penduduk dan pembangunan ekonomi ini, justru meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat adat. Mereka khawatir bahwa program ini akan mengancam identitas budaya, memperburuk kondisi ekonomi, dan merampas hak-hak mereka atas tanah leluhur.
ADVERTISEMENT
Pengalaman dan Trauma Masa Lalu
Trauma masa lalu yang menghantui masyarakat adat Papua bukan sekadar kenangan buruk. Lebih dari itu, trauma ini merupakan luka kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu contohnya adalah konflik lahan yang seringkali berujung pada kekerasan.
“...Pertama itu [tanah masyarakat] diambil dengan intimidasi, saya bisa buktikan saja di tahun 2006 itu di kampung Kaiburse dan kampung Kumbe demi membesarkan lahan-lahan padi yang dulunya menjadi basis Belanda untuk membuat lahan padi di Kumbe itu di 2006 terjadi ekspansi penggusuran lahan-lahan baru itu diantaranya adalah di distrik Malind itu kampung Padang Raharja…” ungkap Simon Petrus Balagaize, Ketua Forum Masyarakat Adat Malind, dalam live talkshow Katolikana TV pada Kamis, 14 November 2024.
ADVERTISEMENT
Hal ini menegaskan dampak negatif dari program transmigrasi yang sebelumnya yang juga seringkali menyebabkan diskriminasi terhadap masyarakat adat. Mereka seringkali dipandang sebagai kelompok minoritas yang terpinggirkan dalam pembangunan. Akibatnya, banyak masyarakat adat yang merasa kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan merasa bahwa hak-hak mereka tidak dihargai
Transmigrasi Dihidupkan Kembali, Penolakan Pun Menguat
Kini pemerintah kembali mengumumkan rencana untuk melanjutkan program tersebut. Pada 21 Oktober 2024, Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara mengumumkan rencana melanjutkan program transmigrasi ke Papua. Pengumuman ini sontak memicu berbagai reaksi keras dari masyarakat Papua. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Cenderawasih (BEM Uncen) langsung mengadakan rapat konsolidasi dan kajian ilmiah. Mereka menolak program tersebut mentah-mentah. Ketua BEM Uncen, Yanes Hisage, menegaskan bahwa transmigrasi berpotensi mengancam eksistensi Orang Asli Papua (OAP) dan menyebabkan mereka tersingkir di tanah sendiri.
ADVERTISEMENT
Gelombang penolakan tak hanya datang dari mahasiswa. Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyerukan demonstrasi damai pada 15 November 2024. Ketua I BPP KNPB, Warius Sampari Wetipo, menyatakan bahwa transmigrasi dapat menyebabkan perampasan tanah adat dan menjadikan OAP minoritas di tanah mereka sendiri.
Namun, Menteri Transmigrasi justru mengeluarkan pernyataan baru pada 5 November 2024. Beliau menyatakan tidak ada rencana transmigrasi dari luar Papua, melainkan hanya memindahkan masyarakat yang sama-sama berasal dari Papua. Pernyataan ini lumayan kontradiktif dengan pengumuman sebelumnya dan semakin memicu kecurigaan masyarakat Papua.
Siapa Saja yang Bersuara? Aktor-Aktor Penolakan Transmigrasi
Penolakan transmigrasi di Papua bukan hanya datang dari mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil. Pemerintah Daerah Papua dan masyarakat adat pun ikut bersuara. Mereka ingin kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat lokal, tanpa harus mendatangkan pendatang dari luar Papua. Selain BEM Uncen dan KNPB, ada banyak organisasi lain yang aktif menolak transmigrasi. Di antaranya Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Nabire, dan Badan Koordinasi Mahasiswa Papua (BKMP). Mereka melakukan berbagai aksi, mulai dari demonstrasi, kampanye media, hingga advokasi hukum.
ADVERTISEMENT
Transmigrasi: Bukan Sekadar Soal Ekonomi
Penolakan transmigrasi di Papua bukan sekadar soal ekonomi. Lebih dari itu, ini adalah soal identitas, hak-hak masyarakat adat, dan keadilan sosial. Masyarakat Papua merasa hak-haknya diabaikan, aspirasi mereka tidak didengar. Gerakan penolakan transmigrasi menjadi bagian dari perjuangan panjang masyarakat Papua untuk mempertahankan identitas dan kedaulatan mereka di tengah perubahan demografis dan politik yang kompleks. Mereka ingin pemerintah mengakui hak-hak mereka sebagai masyarakat adat, menghormati budaya mereka, dan memberikan kesempatan yang sama untuk berkembang. Masa depan Papua ada di tangan masyarakatnya sendiri. Pemerintah perlu mendengarkan aspirasi mereka dan menghentikan kebijakan yang justru menimbulkan luka lama. Transmigrasi, alih-alih menjadi solusi, justru berpotensi menjadi bom waktu yang akan mengancam kedamaian di Tanah Papua.
ADVERTISEMENT