Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Fenomena Haji Jalan Kaki: Antara Spiritualitas atau Komodifikasi Ibadah?
4 Maret 2025 14:03 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Wahyudi Kholilullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Beberapa waktu terakhir, fenomena haji jalan kaki menjadi viral dan menarik perhatian masyarakat Indonesia. Kisah individu yang menempuh perjalanan ribuan kilometer dengan berjalan kaki menuju Tanah Suci dianggap sebagai wujud keteguhan iman dan spiritualitas yang mendalam. Mereka yang melakukannya disebut-sebut sebagai sosok penuh kesabaran dan pengorbanan dalam mencapai tujuan ibadah tertinggi.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik narasi spiritual yang menginspirasi, muncul pertanyaan lain: apakah fenomena ini benar-benar murni sebagai ekspresi keimanan, atau justru mulai mengalami komodifikasi di era digital? Dengan semakin banyaknya liputan media, dukungan sponsor, dan dokumentasi perjalanan yang viral di media sosial, muncul kekhawatiran bahwa ibadah ini tak lagi sekadar perjalanan ruhani, tetapi juga sarana untuk membangun popularitas dan keuntungan ekonomi.
Lantas, bagaimana seharusnya kita memandang fenomena ini? Apakah ini bentuk ibadah yang lebih mendalam, atau ada unsur komersialisasi yang mulai membayangi?
Sejarah mencatat bahwa perjalanan menuju Makkah dengan berjalan kaki bukanlah hal baru. Di masa lalu, sebelum transportasi modern berkembang, umat Islam dari berbagai penjuru dunia menempuh perjalanan panjang demi memenuhi panggilan suci. Mereka berjalan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, melintasi berbagai medan berat dengan bekal dan keyakinan yang kuat. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga ujian spiritual yang mengajarkan kesabaran, keteguhan, dan keikhlasan.
ADVERTISEMENT
Di era modern, ketika pesawat dan teknologi telah mempermudah perjalanan ibadah, muncul kembali individu yang memilih cara tradisional: berjalan kaki menuju Makkah. Beberapa melakukannya dengan alasan spiritual, sebagai bentuk pengorbanan dan pendekatan diri kepada Allah. Kisah mereka sering kali menginspirasi banyak orang, terutama karena tekad dan perjuangan yang luar biasa.
Dari Ibadah ke Sensasi Digital
Namun, dengan semakin banyaknya dokumentasi perjalanan yang diunggah ke media sosial, fenomena ini mulai menarik perhatian lebih luas. Video, foto, dan unggahan harian tentang perjalanan mereka mendapat ribuan hingga jutaan tayangan. Dukungan dari masyarakat pun mengalir, bahkan beberapa pihak memberikan sponsor, baik dalam bentuk dana, perlengkapan, atau fasilitas lainnya.
Kondisi ini memunculkan dilema baru: apakah haji jalan kaki tetap merupakan ekspresi spiritual yang murni, atau mulai berubah menjadi bagian dari tren viral yang dimanfaatkan demi popularitas? Beberapa pihak menilai bahwa publikasi yang berlebihan justru berpotensi menghilangkan nilai keikhlasan dalam ibadah. Sementara itu, yang lain berpendapat bahwa publikasi ini justru menjadi sarana dakwah, menginspirasi lebih banyak orang untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.
ADVERTISEMENT
Komodifikasi Ibadah: Antara Niat dan Kepentingan
Dalam perspektif sosiologi agama, komodifikasi ibadah merujuk pada perubahan nilai spiritual menjadi sesuatu yang dapat dikapitalisasi, baik secara ekonomi maupun sosial. Fenomena haji jalan kaki yang mendapatkan sponsor, undangan wawancara, bahkan peluang komersial, menimbulkan pertanyaan: apakah ini masih murni ibadah atau telah menjadi ajang promosi?
Dekan sekaligus Guru Besar FISIP Unair, Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi, menyoroti bagaimana fenomena ini berkembang di era digital. “Dalam beberapa kasus, tindakan tersebut bahkan memperoleh dukungan materi dari masyarakat yang bersimpati, memicu kritik bahwa praktik ini berpotensi menjadi bentuk eksploitasi terhadap donasi. Para pelaku menerima bantuan berupa makanan, tempat beristirahat, hingga uang saku dari warga yang peduli. Hal ini kemudian memunculkan dua perspektif berbeda: apakah ini mencerminkan kuatnya solidaritas sosial di tengah masyarakat, atau justru menandakan bahwa kemiskinan struktural telah mendorong munculnya praktik ibadah yang bergantung pada bantuan sosial” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, ada yang tetap meyakini bahwa perjalanan ini tetap sah sebagai bentuk ibadah, selama dilakukan dengan niat yang tulus. Di sisi lain, tidak bisa dimungkiri bahwa perhatian media dan keterlibatan sponsor berpotensi menggeser esensi spiritualnya.
Pada akhirnya, niat menjadi kunci utama dalam ibadah. Fenomena haji jalan kaki bisa menjadi refleksi mendalam bagi umat Islam: apakah ibadah ini masih dijalankan dengan kesungguhan dan ketulusan, atau mulai bergeser menjadi bagian dari pencitraan dan komodifikasi?
Masyarakat pun perlu lebih bijak dalam menyikapi tren ini. Mengapresiasi perjuangan seseorang dalam menempuh ibadahnya tentu sah, tetapi tidak boleh mengabaikan esensi sejatinya. Haji, dalam bentuk apa pun, sejatinya adalah perjalanan menuju Tuhan—bukan sekadar perjalanan menuju sorotan publik.
ADVERTISEMENT