Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Fenomena #KaburAjaDulu: Cerminan Budaya Menghindar atau Realitas yang Rasional?
22 Februari 2025 16:45 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Wahyudi Kholilullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Fenomena #KaburAjaDulu muncul sebagai respons terhadap berbagai tekanan di Indonesia, mulai dari lingkungan kerja yang toxic, hubungan yang tidak sehat, hingga tekanan sosial dan ekonomi. Banyak pekerja merasa dieksploitasi dengan jam kerja berlebihan, sementara dalam hubungan pribadi, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental membuat banyak orang memilih meninggalkan relasi yang beracun. Selain itu, biaya hidup yang tinggi dan ketidakstabilan ekonomi mendorong individu untuk mencari kehidupan yang lebih terjangkau, termasuk berpindah kota atau bekerja secara remote. Sayangnya, dukungan terhadap kesehatan mental masih minim, membuat banyak orang lebih memilih kabur daripada bertahan dalam situasi yang membuat mereka stres atau burnout. Ditambah dengan tekanan sosial yang kaku, di mana ekspektasi masyarakat terhadap karier, pernikahan, dan gaya hidup sering kali tidak selaras dengan kebahagiaan individu, menjadikan pilihan untuk "kabur" sebagai bentuk perlawanan sekaligus perlindungan diri.
ADVERTISEMENT
Dalam era digital yang serba cepat, keputusan untuk "kabur" dari suatu situasi sering kali dianggap sebagai tindakan pengecut. Namun, di sisi lain, banyak yang berpendapat bahwa meninggalkan sesuatu yang tidak sehat adalah bentuk kepintaran dalam bertahan hidup. Tren tagar #KaburAjaDulu mencerminkan fenomena ini baik dalam hubungan, pekerjaan, maupun tekanan sosial lainnya. Apakah fenomena ini menandakan budaya generasi muda yang semakin enggan menghadapi tantangan? Ataukah justru ini adalah bentuk kesadaran diri untuk menjaga kesehatan mental dan kesejahteraan hidup? opini ini akan mengupas fenomena #KaburAjaDulu dari sudut pandang saya sebagai mahasiswa.
Budaya Menghindar: Sikap yang Membahayakan?
Sebagian orang melihat fenomena ini sebagai tanda bahwa generasi sekarang terlalu mudah menyerah. Ketika menghadapi tugas kuliah yang menumpuk, hubungan yang rumit, atau lingkungan kerja yang toxic, banyak yang memilih “kabur” daripada mencari solusi. Ini bisa menjadi masalah jika kebiasaan ini terus berulang dan menjadikan seseorang sulit bertahan menghadapi tantangan.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia akademik, misalnya, mahasiswa yang sering menunda tugas atau menghindari diskusi karena takut salah bisa kehilangan kesempatan untuk berkembang. Sikap ini bisa menjebak dalam siklus prokrastinasi yang berbahaya. Jika fenomena #KaburAjaDulu dimaknai sebagai jalan pintas untuk menghindari tanggung jawab, maka ini adalah sinyal alarm bagi mentalitas generasi muda.
Realitas yang Rasional: Self-Care atau Strategi Bertahan?
Namun, di sisi lain, ada kondisi tertentu di mana “kabur” bukan berarti lemah, melainkan bentuk perlindungan diri. Dunia saat ini bergerak dengan cepat dan menuntut produktivitas tinggi, sering kali tanpa mempertimbangkan kesehatan mental. Banyak mahasiswa mengalami burnout karena tekanan akademik dan ekspektasi sosial yang tinggi. Dalam situasi seperti ini, memilih untuk "kabur" bisa menjadi strategi bertahan yang bijak.
ADVERTISEMENT
Contohnya, ketika seseorang berada dalam lingkungan pertemanan atau hubungan toxic yang menguras energi emosional, keluar dari situasi tersebut adalah keputusan yang sehat. Begitu juga dalam dunia kerja—banyak mahasiswa yang setelah lulus mendapati bahwa dunia profesional tidak selalu ramah. Mengundurkan diri dari pekerjaan yang melelahkan secara mental bisa jadi langkah cerdas daripada memaksakan diri hingga jatuh sakit dan ini bisa terjadi juga dengan masyarakat untuk memilih kabur ke luar negeri dengan pertimbangan yang matang.
Kesimpulan: Bijak dalam Menentukan Kapan Harus Bertahan dan Kapan Harus Pergi
Menurut pandangan eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan angkat bicara mengenai fenomena #KaburAjaDulu yang sedang viral di media sosial, Indonesia adalah bangsa yang besar tapi kiprah anak bangsa belum banyak dibicarakan di kancah internasional.
ADVERTISEMENT
"Lihatlah restoran Vietnam, Thailand, dan Jepang yang tersebar di berbagai kota dunia. Nama mereka menempel di setiap sudut, menghadirkan rasa, memperkenalkan budaya. Lalu, bagaimana dengan kehadiran restoran Indonesia? Apakah sudah dirasakan seperti kehadiran mereka?" dalam unggahan Anies di akun X resminya pada Sabtu (22/3).
Sebagai mahasiswa, saya melihat bahwa #KaburAjaDulu bukan sekadar tren sesaat, tetapi cerminan dari kebutuhan untuk menyeimbangkan hidup di tengah kondisi negara yang semakin besar. Kita harus bisa membedakan antara “kabur” sebagai bentuk menghindari tanggung jawab dan “kabur” sebagai langkah rasional untuk menjaga kesehatan mental. Alih-alih hanya mengikuti tren, kita perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah saya kabur karena takut menghadapi masalah dan abai terhadap kondisi bangsa akan datang, atau karena saya butuh ruang untuk bernapas dan kembali lebih kuat di negara lain? Pada akhirnya, keputusan untuk bertahan atau pergi harus didasarkan pada kesadaran, bukan sekadar impuls sesaat.
ADVERTISEMENT