Konten dari Pengguna

Flashback Pemilu 2024: Apa Kabar Demokrasi?

Wahyudi Kholilullah
Presiden Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya 2024
25 Februari 2024 0:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wahyudi Kholilullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi, Apa Kabar Demokrasi? Sumber : Pixabay, dan iStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi, Apa Kabar Demokrasi? Sumber : Pixabay, dan iStock
ADVERTISEMENT
Indonesia, sebagai suatu negara dengan sistem demokrasi, mempraktikkan penyelenggaraan pemerintahan yang berasal dari, dijalankan oleh, dan untuk kepentingan rakyat. Prinsip demokrasi tercermin dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), yang telah diadakan di Indonesia untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Bangsa Yunani kuno adalah bangsa pertama yang mempraktikkan demokrasi dalam komunitas sebesar kota.
ADVERTISEMENT
Demokrasi mengizinkan keterlibatan warga negara—baik secara langsung maupun melalui perwakilan—dalam proses perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Ini meliputi kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang mendukung praktik kebebasan politik yang setara dan bebas. Demokrasi juga mencakup serangkaian ide dan prinsip tentang kebebasan serta pelaksanaannya dalam praktik dan prosedur. Inti dari demokrasi adalah penghargaan terhadap martabat manusia.
Pasca Pemilihan Umum (PEMILU) 2024
Pada tanggal 14 Februari 2024, pemilihan umum untuk presiden (pilpres) dan parlemen diadakan. Fokus utamanya adalah pada pilpres. Dalam situasi seperti ini, pertanyaan krusialnya adalah: Siapa yang akan menjadi presiden terpilih? Apakah calon yang mendasarkan pada prinsip demokrasi penuh, atau yang kurang memprioritaskan demokrasi?.
masyarakat kebanyakan tidak melihat demokrasi sebagai solusi. Reformasi melahirkan sistem demokrasi berkecacatan, termasuk ”Koreanisasi” elite dari sistem politik, yang mendangkalkan demokrasi itu sendiri. Penguasaan aset ekonomi oleh kelompok tertentu terus berlanjut, bahkan dengan aktor yang sama.
ADVERTISEMENT
Pasca-Pemilu 2024, apakah Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis atau sebaliknya. Arah jawaban mungkin membuat kering kerongkongan: yang kedua. Karena itu, yang penting apa agendanya.
Agendanya adalah apakah realitas tersebut menjadi harga yang pantas dibayar dalam bentuk hadirnya Indonesia dengan janji kemerdekaan yang terpenuhi, seperti yang dicatat pada Pembukaan UUD 1945 paragraf keempat, atau tidak.
Janji tentang Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Indonesia dengan kesejahteraan umum yang maju; Indonesia yang cerdas; Indonesia yang kelas dunia. Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Indonesia yang berkeadilan sosial.
Inilah agenda bagi yang terpilih menjadi presiden Indonesia 2024-2029. Jika itu dapat dicapai, demokrasi tampaknya secara pragmatis tidak perlu menjadi barang yang dicemaskan, akan hadir penuh, dan itu artinya pilihan yang jauh lebih baik, atau hadir dalam defisit.
ADVERTISEMENT
Hari-hari ini, kita bertatap muka dengan kenyataan-kenyataan yang hampir mirip: proses penggelembungan kekuasaan eksekutif. Kekuasaan yang menggelembung itu melemahkan mekanisme check and balance, melemahkan lembaga anti-korupsi (KPK), dan intervensi terhadap proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK). Ada banyak laporan dugaan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk mengintervensi proses pemilu demi kepentingan kandidat tertentu, mulai dari mobilisasi aparat desa untuk memenangkan Capres tertentu, politisasi bansos, pemanfaatan fasilitas negara untuk kampanye capres, dan lain-lain. Tentu saja, tidak ada yang salah jika Presiden punya preferensi politik kepada Capres tertentu. Namun, hal itu tidak perlu diumbar ke publik, sehingga tertangkap sebagai pesan politik dukungan. Sebab, pada diri Presiden melekat jabatan yang memegang otoritas tertinggi atas pemerintahan dan birokrasinya.
ADVERTISEMENT
Demokrasi Dan Tantangan Kedepan
Reformasi berubah menjadi hiruk-pikuk yang menjadikan Indonesia kehilangan kesempatan untuk pulih dan lari dengan cepat mengatasi ketertinggalannya. Bahkan, politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bambang ”Pacul” Wuryanto mengatakan, reformasi (”hanya”) membawa ”Korea-Korea” menjadi elite politik baru dan berkuasa dengan cara ”Korea”-nya, yang membuat demokrasi Indonesia terasa semrawut. Transisi menuju demokrasi tampaknya mulai tersesat ke arah mobokrasi.
Rasanya, hal ini bukan menjadi pikiran atau agenda bagi kekuasaan untuk diperbaiki arahnya. Memang, Joko Widodo (Jokowi) terpilih dengan cara sangat demokratis. Seorang warga biasa yang berhasil menjadi wali kota yang dicintai rakyat, menjadi gubernur yang membawa semangat baru, dan kemudian menjadi presiden—bahkan dengan modal yang dapat dikatakan ”nol”, terutama utang kepada sponsor.
ADVERTISEMENT
Memang, sejak memimpin Indonesia, Jokowi ditengarai menjalankan sistem politik yang relatif tak teramat memuja demokrasi, terutama demokrasi liberal sebagaimana yang cenderung dibawa pendahulunya. Tak heran, pada Juni 2020, YLBHI menyebut ada 27 kebijakan pemerintah yang nondemokratis selama 2014-2020.
Korupsi tidak kunjung berhenti. Dan, para cendekiawan yang baik terus diletakkan di pinggiran. Bahkan elite politik dan partai pengusung demokrasi pun memilih untuk tidak lagi mengibarkan panji kedemokrasiannya. Sebab, berdiri di luar kekuasaan ibarat berdiri menggigil di tengah padang berhujan tidak boleh masuk rumah, sementara yang lain boleh berada di dalam rumah.
Indeks Demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU) menyebutkan bawa indeks demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy) dengan skor 6,71 (2022), setelah mencapai 7,03 (2015)—meski masih mengalahkan skor di era SBY 6,41 (2006) dan 6,95 (2014).
ADVERTISEMENT
Temuan Daron Acemoglu bersama Nicolás Ajzenman dkk (2023) menunjukkan bahwa publik sangat mendukung institusi demokrasi selama proses demokrasi bisa memperbaiki kinerja ekonomi, pelayanan publik, atau hal-hal lain yang dikehendaki publik. Mungkin temuan itu terkesan hanya menegaskan temuan-temuan sebelumnya: keterkaitan demokrasi dan modernisasi ekonomi (Lipset, 1959) dan demokrasi lebih stabil dan kokoh di negara-negara berpendapatan per kapitanya lebih tinggi (Przeworski, 2000). Kesimpulan dari temuan itu sangat jelas: jika ini memperkuat demokrasi lebih baik, kita harus memastikan lembaga-lembaga demokrasi bisa mewujudkan apa yang dikehendaki rakyat. Tentu saja, ini sejalan dengan seruan Bung Hatta dan Bung Karno sejak 1930-an, bahwa demokrasi tidak cukup hanya dengan kebebasan politik semata, tetapi harus dilengkapi dengan demokrasi ekonomi dan kesejahteraan sosial.
ADVERTISEMENT