Konten dari Pengguna

Angin dan Untaian Suara

muthianissa oktaviani
Seorang perempuan dengan suara lantang saat bicara kebenaran, walaupun kebenaran terkadang samar.
11 Januari 2017 23:42 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari muthianissa oktaviani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sore itu, suara-suara terlalu sesak penuhi hari. Suara yang datang  dari hatimu, dan diam-diam hatiku mengutipnya. 
ADVERTISEMENT
Petikan gitarmu melengkapi seakan jadi sebuah nyanyian, lalu ia terbawa angin dan bergelantung di dahan pepohonan. Bukankah kita telah merasakannya? Setahun yang lalu...
Senja belum tiba, dua insan sedang mabuk rasa. Hatinya penuh kupu-kupu berwarna. Matanya bias pelangi. Kata orang dahulu, saat rasa itu hadir waktu seperti tiada dan dunia milik berdua. Tahi lalat bak madu dan lesung pipit bagai lembah air. Ini lucu, tetapi dua insan itu tahu. Mereka mabuk dan tak bisa berkata, melainkan di hati saja.
Siapa yang bisa mengetahui kata dalam hati? Dari seorang pemabuk? Ada yang membuatnya mungkin. Ikatan batin, hati yang terpaut akan memilih. Desau mana yang harus didengarkannya. Pernahkah kau sadar bahwa ibu akan lebih peka terhadap anak yang dilahirkannya? Tetapi tidak semua begitu, hati akan memilih. Terjalinkah dia atau tidak. Sebuah rasa akan memungkinkannya.
ADVERTISEMENT
Saat itu, kau urai kata-kata di dalam buku dan aku pun membacanya. Membaca gerak-gerik waktu dan arah langit berputar, masuk ke dalam hatimu. Melihat luas angkasa dan berdecah-decah. Kulihat burung-burung terbang dan hinggap di dahan. Daun menguning lalu gugur.
Kau berikan aku sebuah air kemasan, dengan rasa manis dan dingin di tiap seruputnya. "Ini minum dahulu, saat membaca seperti ini yang paling menenangkan adalah ditemani kekasih dan disuguhi air." Kau ucapkan dan melakukannya berkali-kali. Sampai suatu waktu, kukehabisan cara untuk menahan malu. 
Kulihat dalam wajahmu dengan harapan, kau dengar kata hatiku. Terima kasih.
Lalu kau balas pandanganku dengan senyum. Aku kembali termangu pada sebuah buku. Merasa degup jantung terlampau keras. Dan angin menyambut, kibas ponimu terurai yang saat itu pun telapak tanganku membasah. Kau seka poni, dan raih tanganku. Basah telapak tangan jadi sekat antara garis nasibmu dan nasibku.
ADVERTISEMENT
Aku tawa terbahak, menutup rasa gugup dan malu, serta rasa yang mengubah waktu. Menunda jalannya kesedihan dan mempercepat kegusaran. Mencari jalan untuk kebahagian.
Tuhan, sudahkah kita bahagia?