Konten dari Pengguna

Meningkatkan Kesetaraan Gender di Industri Konstruksi Indonesia

Muthia Azizah
Mahasiswa Magister Management UPN Veteran Jakarta
14 Mei 2025 11:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Muthia Azizah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gedung pencakar langit yang menjulang, jalan tol yang menghubungkan pulau, bendungan yang mengairi sawah – industri konstruksi adalah tulang punggung kasat mata dari kemajuan fisik Indonesia. Informasi dari BPS Indikator Konstruksi, kontribusinya terhadap PDB nasional tak main-main yaitu 10,3% pada tahun 2024, selalu berada di jajaran atas, dan menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar. Namun, di balik deru mesin dan kokohnya beton, ada fondasi yang tampaknya masih rapuh: kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT
Data dari Komisi Eropa (European Commission) dan informasi lulusan Teknik Perempuan dari Kemenristekdikti menunjukkan partisipasi perempuan di industri konstruksi Indonesia sangat minim, jauh tertinggal dibandingkan sektor lain atau bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Angka pastinya mungkin bervariasi tergantung sumber dan cakupan, namun benang merahnya jelas: perempuan adalah minoritas kentara di dunia helm kuning dan sepatu boot keselamatan. Kalaupun ada, mereka seringkali berada di peran administratif atau pendukung di balik meja, bukan di lapangan atau di posisi pengambilan keputusan teknis.
Mengapa Helm Kuning Dianggap Bukan untuk Perempuan?
Pertanyaan ini membawa kita pada pertanyaan:
Pertama, stereotip yang mengakar kuat. Konstruksi dianggap pekerjaan "kasar", "berat", "berbahaya", dan identik dengan kekuatan fisik – ranah maskulin yang tak cocok untuk kelembutan perempuan. Persepsi ini, diperkuat oleh budaya patriarki yang masih terasa di banyak lapisan masyarakat, menciptakan tembok penghalang tak terlihat.
ADVERTISEMENT
Kedua, realitas diskriminasi di tempat kerja. Mulai dari proses rekrutmen yang cenderung memprioritaskan laki-laki untuk posisi lapangan , penugasan yang terbatas pada peran non-teknis , hingga "dinding kaca" (glass ceiling) yang menghambat perempuan naik ke jenjang karir lebih tinggi, terutama di jalur kepemimpinan teknis. Belum lagi potensi kesenjangan upah dan lingkungan kerja yang mungkin kurang ramah, dari fasilitas fisik (seperti APD atau toilet yang tidak sesuai ) hingga sikap seksis atau pelecehan.
Ketiga, tantangan keseimbangan hidup. Jam kerja panjang yang menjadi ciri khas industri konstruksi , lokasi proyek yang seringkali jauh, ditambah beban ganda mengurus rumah tangga yang secara kultural masih banyak dibebankan pada perempuan , menciptakan konflik peran yang luar biasa berat. Kurangnya dukungan institusional seperti fleksibilitas kerja atau fasilitas penitipan anak semakin memperburuk keadaan.
ADVERTISEMENT
Bukan Sekadar Isu Keadilan, Tapi Keharusan Strategis
Mendorong kesetaraan gender di industri konstruksi bukanlah sekadar soal keadilan sosial atau memenuhi kuota, melainkan sebuah keharusan strategis dengan manfaat nyata:
1. Kolam Talenta yang Lebih Luas: Indonesia membutuhkan jutaan tenaga kerja konstruksi terampil dan bersertifikat untuk mengejar target pembangunannya. Mengabaikan separuh populasi (perempuan) berarti menyia-nyiakan potensi sumber daya manusia yang krusial. Membuka pintu lebih lebar bagi perempuan akan memperluas talent pool secara signifikan.
2. Wadah Inovasi dan Produktivitas: Tim yang beragam secara gender terbukti lebih inovatif dan produktif. Perspektif yang berbeda melahirkan solusi yang lebih kreatif dan efektif dalam pemecahan masalah proyek yang kompleks. Perusahaan dengan kesetaraan gender yang lebih baik cenderung lebih profitabel.
ADVERTISEMENT
3. Meningkatkan Kinerja dan Keselamatan: Kehadiran perempuan seringkali dikaitkan dengan peningkatan perhatian pada detail, kerapian, dan organisasi di lokasi kerja, yang berpotensi meningkatkan kinerja keselamatan. Kemampuan komunikasi dan kolaborasi yang seringkali menonjol pada perempuan juga menjadi aset berharga.
4. Citra Perusahaan yang Lebih Baik: Di era kesadaran sosial yang tinggi, perusahaan yang berkomitmen pada keberagaman dan inklusivitas memiliki citra yang lebih positif. Ini tidak hanya menarik talenta terbaik (laki-laki dan perempuan), tetapi juga meningkatkan kepercayaan investor dan klien yang semakin peduli pada aspek ESG (Environmental, Social, Governance).
5. Kontribusi Ekonomi Nasional: Peningkatan partisipasi perempuan di angkatan kerja, termasuk di sektor produktif seperti konstruksi, berkontribusi langsung pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Source: Freepik
Secercah Harapan dan Jalan ke Depan
ADVERTISEMENT
Untungnya, kita tidak memulai dari nol. Pemerintah Indonesia telah memiliki komitmen melalui Pengarusutamaan Gender (PUG) sejak tahun 2000 , dan Kementerian PUPR pun memiliki peta jalan (roadmap) PUG dengan program-program spesifik, seperti pelatihan dan identifikasi jabatan untuk perempuan.
Di tingkat korporasi, beberapa BUMN Karya mulai menunjukkan kesadaran melalui laporan keberlanjutan dan kebijakan dasar non-diskriminasi.
Namun, upaya ini perlu diperkuat dan diperluas. Perjalanan menuju kesetaraan sejati masih panjang dan membutuhkan aksi kolektif:
• Pemerintah: Perlu memastikan implementasi PUG benar-benar berjalan efektif di lapangan, tidak hanya di atas kertas. Pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik diskriminasi dan penguatan regulasi perlindungan pekerja perempuan sangat dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
• Perusahaan Konstruksi: Komitmen dari puncak pimpinan adalah kunci. Perusahaan perlu secara sadar menciptakan budaya kerja yang inklusif, menawarkan fleksibilitas (jika memungkinkan), memastikan fasilitas yang layak, menerapkan kebijakan rekrutmen dan promosi yang adil, serta menetapkan target keberagaman yang terukur.
• Asosiasi Industri: Perlu lebih proaktif dalam mendorong anggotanya mengadopsi praktik terbaik, menyelenggarakan pelatihan GESI, dan mengkampanyekan citra industri yang lebih inklusif.
• Lembaga Pendidikan: Kurikulum teknik dan vokasi perlu diperkaya dengan perspektif gender agar lulusan (laki-laki dan perempuan) lebih siap menghadapi dan mengubah realitas industri. Mendorong lebih banyak perempuan masuk ke bidang STEM juga krusial.
• Kita Semua: Perlu membongkar stereotip di benak kita masing-masing dan mendukung perempuan yang memilih berkarir di bidang yang dianggap "non-tradisional". Laki-laki di industri ini memiliki peran penting sebagai sekutu (allies) untuk mendorong perubahan dari dalam.
ADVERTISEMENT
Membangun Indonesia yang maju tidak cukup hanya dengan infrastruktur fisik yang megah. Kita perlu membangun fondasi sosial yang kuat, di mana setiap talenta, tanpa memandang gender, memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi. Industri konstruksi yang lebih setara dan inklusif bukan hanya impian, tetapi sebuah investasi strategis untuk masa depan Indonesia yang lebih kokoh dan berdaya saing. Saatnya kita bersama-sama membangun fondasi baru tersebut.