Konten dari Pengguna

Berita Tanpa Nurani: Fakta Saja Tak Cukup

Mutia Jummidayani Putri
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
30 September 2024 10:40 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutia Jummidayani Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bad news is a good news, pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bad news is a good news, pexels.com
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang jurnalistik, apakah berita yang anda baca adalah fakta? Atau hanya sekadar propaganda?
ADVERTISEMENT
Rolf Dobelli dalam bukunya yang berjudul “Stop Membaca Berita”, menyatakan pendapatnya bahwa terkadang membaca berita hanya akan merusak jalan pikir, merasa cemas, dan merugikan. Apa yang dikatakannya tidak sepenuhnya salah. Benar bahwa berita zaman kini tidak mampu berimbang dan mempertimbangkan hati nurani.
Tidak semua berita demikian, namun kebanyakan propaganda berasal dari berita. Menulis berita adalah pekerjaan paling berbahaya. Mengapa? Karena ia mampu mengubah jalan pikir dan menggiring publik untuk menilai dari satu sudut pandang yang sama dengan apa yang diberitakan. Namun pada kenyataannya, pekerjaan ini dianggap sepele. Coba pikirkan, apakah mungkin seorang jurnalis mampu menuliskan 10 berita berbeda setiap harinya dengan kualitas yang sama? Rasanya akan sangat mustahil, belum lagi mereka diburu oleh waktu dan dicecar oleh tuntutan perusahaan media tempat mereka bernaung.
ADVERTISEMENT
Hal ini tidak sepenuhnya salah jurnalis, bisa saja karena memang lingkungan perusahaan yang merusak kualitas kerja mereka. Tapi tidak juga, terkadang memang ada beberapa oknum yang sengaja melakukan itu. Berita kini tidak sepenuhnya dapat dipercaya, karena kebanyakan hanyalah produksi kebohongan. Bill Kovach melalui tulisannya “Sembilan Elemen Jurnalisme”, mengatakan bahwa hati nurani adalah salah satu dari kesembilan elemen tersebut.
Seperti yang saya sebutkan tadi, bahwa jurnalisme adalah pekerjaan paling berbahaya. Bayangkan, seorang gadis diperkosa dan dibunuh oleh laki-laki tak dikenal. Lalu sang gadis diberitakan diseluruh negeri, lengkap dengan bagaimana kronologi pelaku melecehkan si gadis. Apa yang akan terjadi adalah, publik akan gagal fokus. Hal yang menjadi bahan omongan bukanlah dosa pelaku yang telah membunuh sang gadis, melainkan bagaimana sang gadis dilecehkan. Bahkan seorang yang menjadi korban dan telah tiada, ruhnya masih merasa risih karena menjadi bahan gunjingan masyarakat. Keluarga sang gadis tersiksa dan merasa malu akibat omongan tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal di atas bukan hanya ilustrasi belaka, melainkan kenyataan bagaimana sebuah berita mampu memainkan persepsi masyarakat. Oleh karenanya, hati nurani harus jadi pertimbangan penting seorang jurnalis saat akan menulis sebuah berita. Karena pada hakikatnya, semakin buruk suatu kejadian, maka akan semakin bagus berita tersebut.
Oleh karenanya, dalam ranah jurnalistik, seorang jurnalis selalu diingatkan oleh adanya batasan privasi yang seharusnya mereka jaga. Karena jurnalisme bukan hanya produksi berita belaka, melainkan menjadi perpanjangan tangan dalam mengawal kasus-kasus yang ada disekitar masyarakat. Menghormati hak hidup orang lain adalah tugas utama seorang jurnalis.