Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Menata Ulang Sistem Pendidikan: Solusi Bagi Fenomena Futoko di Jepang
20 April 2025 19:49 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Mutiara Alhatia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jepang dikenal sebagai negara maju karena berbagai pencapaian dan keunggulan di banyak bidang. Salah satunya, Jepang dikenal sebagai negara maju di bidang pendidikan. Hal ini telah terbukti bahwa Jepang menduduki peringkat ke-7 dalam kategori sistem pendidikan terbaik menurut survei Best Country Report yang dilakukan oleh US News and World Report pada tahun 2021.
ADVERTISEMENT
Sistem pendidikan di Jepang menekankan kedisiplinan, norma sosial, serta pengembangan karakter dengan fokus pada pembentukan kebiasaan sehari-hari sejak usia dini, hal ini menjadikan Jepang sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan paling terstruktur dan efektif.
Pendidikan wajib di Jepang bertujuan untuk membangun fondasi kuat dalam kepribadian, moralitas, dan kemampuan sosial setiap anak. Pemerintah Jepang juga membebaskan biaya pendidikan untuk memastikan bahwa seluruh anak memiliki akses yang setara terhadap pendidikan dasar. Dengan sistem tersebut, Jepang berhasil mencapai tingkat partisipasi hampir 100 persen dalam pendidikan wajib, dengan nol buta huruf di kalangan masyarakat dewasa. Pencapaian ini menunjukkan bahwa pendidikan menjadi salah satu pilar utama kemajuan Jepang.
Di balik reputasinya sebagai negara dengan sistem pendidikan yang maju, Jepang juga menghadapi masalah serius berupa tekanan akademik yang tinggi. Selain itu, kasus bullying di lingkungan sekolah juga dapat menjadi pemicu utama munculnya Futoko. Di mana proses belajar bukan lagi menjadi hal yang menyenangkan, melainkan sumber tekanan psikologis yang intens.
ADVERTISEMENT
Apa itu Futoko?
Fenomena ini disebut Futōkō (不登校) merupakan fenomena yang terjadi di Jepang, di mana anak-anak atau remaja menolak untuk pergi ke sekolah dalam jangka waktu lama, biasanya lebih dari 30 hari berturut-turut, tanpa alasan kesehatan fisik atau masalah keuangan. Istilah ini secara harfiah berarti "tidak hadir di sekolah" dan telah menjadi perhatian serius dalam sistem pendidikan Jepang karena jumlah kasusnya yang terus meningkat setiap tahun.
Penyebab terjadinya Futoko
Faktor utama terjadinya Futoko antara lain:
Bullying atau perundungan (ijime) menjadi salah satu faktor signifikan yang mendorong siswa untuk menarik diri dari sekolah. Banyak kasus menunjukkan bahwa korban perundungan sering kali tidak mendapat dukungan yang memadai dari lingkungan sekolah, yang membuat mereka merasa terisolasi dan tidak aman.
ADVERTISEMENT
Tekanan akademik yang tinggi juga berperan besar dalam fenomena futōkō. Sistem pendidikan Jepang yang sangat fokus pada ujian sebagai penentu utama keberhasilan sering kali membuat para siswa merasa terbebani dan tertekan, sehingga mereka memilih untuk berhenti sekolah sebagai cara untuk melarikan diri dari tuntutan yang ada.
Melihat semakin meningkatnya jumlah kasus futoko dari tahun ke tahun, fenomena ini tidak bisa lagi dianggap sebagai masalah individu semata, melainkan sebagai sinyal bahwa sistem pendidikan di Jepang memerlukan evaluasi menyeluruh. Oleh karena itu, reformasi pendidikan menjadi jalan keluar untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman terhadap kebutuhan psikologis maupun sosial siswa. Penanganan futoko memerlukan kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan pemerintah untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan mendukung kesejahteraan mental siswa supaya tidak ada lagi generasi yang terasingkan dari sekolahnya
ADVERTISEMENT
Pengesahan Undang-Undang Pendidikan
Keseriusan pemerintah Jepang dalam menangani fenomena ini tercermin melalui Pengesahan Undang-Undang Pendidikan, yaitu melalui Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Pendidikan, yang secara jelas mendefinisikan futōkō sebagai kondisi siswa yang tidak dapat bersekolah dalam jangka waktu cukup lama akibat tekanan psikis atau faktor lain di luar alasan kesehatan fisik maupun ekonomi. Undang-undang ini tidak hanya mengakui futōkō sebagai isu serius dalam dunia pendidikan, tetapi juga menegaskan komitmen negara untuk menjamin hak pendidikan yang setara serta memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa.
Reformasi Pendidikan sebagai Solusi
Sebagai bentuk implementasi dari Pengesahan Undang-Undang Pendidikan tersebut, muncul berbagai upaya pemerintah melalui MEXT untuk menyediakan pendidikan yang lebih adaptif bagi siswa futōkō:
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk nyata dari reformasi ini adalah hadirnya pendidikan alternatif, seperti free schools, yang menawarkan pendekatan berbeda dari sekolah konvensional. Sekolah-sekolah ini memberikan kurikulum yang lebih fleksibel dan memungkinkan siswa untuk belajar dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka, termasuk melalui pembelajaran berbasis proyek atau kegiatan di luar ruang kelas. Dengan menciptakan ruang belajar yang lebih personal dan tidak menekan, pendidikan alternatif menjadi salah satu solusi penting dalam menjawab tantangan yang dihadapi siswa futōkō.
Reformasi pendidikan tidak hanya berfokus pada perubahan kurikulum atau metode pengajaran, tetapi juga pada pembangunan lingkungan sekolah yang mendukung kesejahteraan emosional siswa. Tujuannya adalah menciptakan sekolah sebagai tempat di mana siswa merasa nyaman secara mental dan sosial, sehingga mereka merasa diterima dan memiliki ikatan dengan lingkungan sekitar.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, pemberian bimbingan yang berorientasi pada pengembangan diri juga penting, agar siswa memiliki motivasi belajar yang kuat dan mampu memahami tujuan hidup serta masa depan mereka melalui kegiatan yang bermakna dan sesuai dengan minatnya.
Peningkatan kualitas guru dan sistem bimbingan juga menjadi komponen penting dalam reformasi pendidikan. Guru memiliki peran sentral dalam menciptakan lingkungan belajar yang suportif, sehingga meningkatkan kemampuan mereka untuk memahami pengaruh emosional terhadap siswa menjadi hal yang krusial. Dengan pelatihan yang tepat, guru diharapkan mampu memberikan dukungan emosional yang responsif dan empatik, terutama bagi siswa yang rentan mengalami tekanan mental atau kesulitan sosial.
Selain itu, penting pula untuk memperkuat sistem bimbingan di sekolah-sekolah yang membutuhkan perhatian khusus, agar setiap siswa mendapatkan pendampingan yang memadai sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya masing-masing. Upaya ini menjadi fondasi untuk membangun hubungan yang sehat antara siswa dan sekolah, serta mencegah lahirnya kasus-kasus futōkō yang bersumber dari rasa terasing atau tidak dipahami.
ADVERTISEMENT
Tak kalah penting, peran orang tua dan dukungan dari lingkungan sekitar juga menjadi faktor kunci dalam penanganan futōkō. Keberhasilan penanganan futoko tidak akan optimal tanpa keterlibatan aktif dari keluarga, khususnya orang tua, yang berperan sebagai pendukung utama dalam proses pemulihan dan perkembangan anak. Penanganan futōkō memerlukan kerja sama yang erat antara sekolah, keluarga, dan pihak terkait, dengan pendekatan yang empatik terhadap kondisi orang tua serta menghindari pemberian tekanan yang berlebihan. Oleh karena itu, penting bagi sistem pendidikan untuk memfasilitasi akses konsultasi yang mudah bagi orang tua, menyediakan ruang untuk membangun jaringan dukungan sesama orang tua, serta menciptakan platform komunikasi terbuka antara rumah dan sekolah. Melalui pendekatan yang kolaboratif dan saling mendukung ini, siswa akan merasa lebih terlindungi, dipahami, dan dimotivasi untuk kembali terlibat dalam proses belajar.
ADVERTISEMENT
Futōkō tidak dapat lagi dianggap sebagai masalah individu, melainkan sebagai refleksi dari perlunya reformasi dalam sistem pendidikan Jepang. Pemerintah Jepang telah menunjukkan komitmennya melalui Pengesahan Undang-Undang Pendidikan yang mengakui futōkō sebagai isu penting. Langkah-langkah reformasi yang diambil meliputi penyediaan pendidikan alternatif seperti free schools, penguatan sistem bimbingan dan pelatihan guru, serta dukungan yang lebih inklusif bagi siswa dan keluarga.
Dengan menciptakan lingkungan belajar yang lebih ramah, suportif, dan adaptif terhadap kebutuhan psikologis siswa, serta melibatkan keluarga dan komunitas secara aktif, Jepang berupaya membangun kembali sistem pendidikan yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga sehat secara emosional dan sosial bagi seluruh siswa.