BELUM RAMPUNG, POLEMIK KPI DAN NETFLIX TAK BERUJUNG

Konten dari Pengguna
15 Juni 2020 9:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutiara Ananda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik Komisi Penyiaran Indonesi (KPI) dalam rencana mengawasi media baru seperti Netflix, Youtube, dan Facebook, pada tahun 2019, hingga kini belum menemukan titik terang. Bahkan sebuah petisi penolakan wacana tersebut muncul ke permukaan. Terhitung 2 Juni 2020, petisi yang digagas oleh Dara Nasution ini telah mencapai angka 114.898 tanda tangan, dari total target 150.000 tanda tangan.
ADVERTISEMENT
Sejak wacana ini ramai dibicarakan media, banyak pertanyaan muncul pada benak masyarakat pengguna media baru, khususnya para kaum milenial dan generasi Z. Pasalnya, KPI dianggap telah mencampuri kehidupan pribadi warga negaranya, sampai mereka harus mengatur tontonan yang sejatinya adalah pilihan dan preferensi dari masing-masing orang. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan menggelitik seperti alasan mengapa KPI harus mencampuri tontonan streaming padahal penyiaran di Indonesia masih bobrok, terus saja berdatangan. Bahkan dengan adanya parenting control atau mode orang tua, yang berarti orang tua dapat mengawasi tontonan anak, semakin membuat masyarakat berpikir usaha KPI adalah sesuatu yang sia-sia.
“Hal ini sangat baik saya kira. Karena saya juga pernah bertemu dengan manajemen Netflix dan mereka menjelaskan parenting lock tersebut dengan baik. KPI bermaksud di awal untuk mengatur tata niaganya dulu. Untuk pengawasan konten dengan parental lock di Netflix sudah oke, hanya orang tua harus benar-benar mengawasi hal ini, ya, kepada anak-anaknya di rumah. Anak sekarang juga semakin pintar saya rasa dan mengerti teknologi,” jelas mantan ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Yuliandre Darwis, yang kini menjabat sebagai Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat.
ADVERTISEMENT
Yuliandre mengatakan, yang menjadi fokus dalam permasalahan media baru ini adalah tayangan yang melanggar UU ITE, menyebarkan hoax, hate speech atau ujaran kebencian, konten yang menyebabkan perpecahan serta konten yang negatif. Pengawasan konten-konten yang beredar di media digital dilakukan untuk memastikan agar materi dari konten tersebut memiliki nilai edukasi, layak ditonton, tetap sesuai moral bangsa dan menjauhkan masyarakat dari konten tidak berkualitas.
Dalam sebuah wawancara, Ketua KPI, Agung Suprio, kedapatan mengatakan bahwa pengawasan media baru ini lebih dahulu dilakukan oleh Australia yang sudah menerbitkan regulasi media sosial sejak awal 2019. Karena pernyataan yang dilontarkan beliau, timbul sebuah dugaan bahwa KPI hanya berniat mengikuti tren internasional saja dan menelantarkan tugas utama mereka sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
ADVERTISEMENT
“Sebetulnya, masalah pengawasan media baru bukan hanya sekadar tren atau ikut-ikutan. Memang harus ada landasan hukum mengenai pengaturan media baru bukan hanya pengawasannya oleh regulator saja. Seperti bisnisnya, pajak mereka, konten, dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan di Indonesia harus terintegrasi untuk mendukung landasan hukum terhadap media baru,” komentar Yuliandre (16/5) melalui pesan teks. Lebih lanjut Yuliandre menjelaskan bahwa KPI tidak hanya akan mengawasi tayangan di media baru, namun juga akan bersiap untuk memperluas literasi digital kepada para pelajar di Indonesia.
Plt Kasubdit Iklim Usaha dan Kelayakan Teknologi Penyiaran Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Haryu Kresno, menjelaskan melalui wawancara secara daring (12/6), bahwa kejadian seperti ini sering terjadi. Contohnya seperti pada saat awal mula kemunculan Blackberry Massenger, apakah harus diatur oleh Undang-Undang Telekomunikasi? Kemudian sama halnya saat berkembangnya ojek online, apakah harus diatur oleh Undang-Undang Transportasi? Karena hal inilah, negara semakin berhati-hati dalam mengambil keputusan. Haryu juga mengatakan bahwa jika suatu hal merugikan masyarakat, tentu pemerintah harus ada sedikit kendali, apakah kendali itu dalam bentuk lembaga yang mengawasi atau juga memberikan izin akan suatu hal, ini adalah sesuatu yang harus segera dibahas lebih lanjut. Dengan kata lain, negara harus hadir untuk melindungi.
ADVERTISEMENT
Sebelum membicarakan masalah ini lebih dalam, hal yang perlu diketahui adalah apa alasan Kominfo dan KPI ingin mengajukan revisi UU penyiaran? Menurut Yuliandre, dengan adanya era digital seperti saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa media penyiaran tidak hanya TV dan radio, namun sudah lebih luas dengan hadirnya media baru. “TV pun sudah ada yang punya channel Youtube. Namun konten-konten penyiaran yang ada di media baru tersebut belum ada yang mengawasi. Perlu ditekankan, yang menjadi upaya KPI bukan untuk mengawasi media baru, namun membuat media baru punya aturan di Indonesia,” jelasnya.
Mendukung penyataan Yuliandre di atas, Haryu ikut menegaskan bahwa KPI tidak memiliki wewenang untuk mengawasi di luar penyiaran yang punya lisensi seperti TV kabel dan TV satelit. Jadi, untuk OTT (over the top) atau aplikasi yang belum memiliki aturan, hanya diblokir berdasarkan pengaduan masyarakat, yaitu dengan menggunakan UU ITE.
ADVERTISEMENT
“Saya pribadi berpendapat yang memiliki keahlian dalam mengatur konten mana yang sesuai dengan nilai-nilai negara kita, Pancasila, adalah KPI saat ini, karena dia punya kekuatan yang diberikan Undang-Undang untuk mengawasi. Oleh karena pengawasan terhadap media baru tersebut sampai saat ini masih dibahas, jadi belum tahu apakah KPI akan diberikan kewenangan itu,” jelas Haryu lebih lanjut.
Jika sampai saat ini revisi Undang-Undang Penyiaran yang diajukan belum menemukan hasil, lalu sudah sampai mana masalah ini dibicarakan oleh DPR? Sehingga kembali muncul pertanyaan, apakah benar masalah ini dibicarakan secara serius oleh pemerintah? Dalam hal ini, DPR terkesan tidak mementingkan dan lebih mendahulukan masalah lain. Kalau seperti ini, sampai kapan masyarakat harus dihantui rasa penasaran akan kepastian yang tak kunjung datang?
ADVERTISEMENT
“Ini periode ketiga sejak perubahan Undang-Undang Penyiaran dibahas. Persoalannya, tiga periode ini selalu disepakati untuk dijadikan inisiatif di DPR, artinya DPR terus membuat draft demi draft untuk dikirim ke pemerintah, baru nanti direspons. Jika ada yang bertanya, kami tidak pernah bisa berkata banyak, sebab pemantiknya itu ada di DPR. Untuk pemerintah, sebenarnya kami punya kajian tersendiri, isu mana saja yang penting untuk didahulukan,” ungkap Haryu kemudian. Ia juga menegaskan bahwa selama lima tahun terakhir, DPR sudah menyusun Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS), yang sudah memasukkan Undang-Undang Penyiaran sebagai salah satu kategori yang perlu diprioritaskan untuk selesai pada tahun 2020 ini.
Sambil menunggu putusan, para pengguna media baru, khususnya Youtube dan Netflix, mulai merasa tidak nyaman dengan isu tersebut. Sebut saja Yusa (20), seorang pengguna Netflix yang sudah pernah berlangganan media ini hingga berbulan-bulan lamanya. Ia memilih Netflix karena Netflix menyediakan film atau TV series yang tidak ada di website lain, sehingga membuat Netflix lebih spesial dibandingkan website manapun. Selain itu, jalan cerita yang dimiliki film maupun TV series original Netflix berbeda, masalah keamanan (privacy pengguna) di Netflix pun terjaga.
ADVERTISEMENT
“Menurut saya pengawasan yang dilakukan Netflix sudah cukup. Karena, ketika mendaftar akun di Netflix akan ditanya umur, dan Netflix mempunyai program sesuai umur masing-masing. Jadi, ketika kita mendaftarkan untuk umur anak-anak, maka tampilan yang ditampilkan oleh Netflix tontonan untuk anak-anak. Dan juga ketika mendaftarkan untuk dewasa, Netflix akan menampilkan program sesuai umur,” jelasnya. Yusa juga mengatakan bahwa Netflix hanya bisa diakses oleh beberapa jaringan yang sejatinya bukan milik negara seperti Telkomsel dan Indihome. Hal ini sangat memperlihatkan bahwa negara tidak mendukung kehadiran Netflix.
“Jadi kalau ada penyensoran di media baru, saya kurang setuju. Cuma, kalau misalnya itu menjadi regulasi yang dilakukan KPI, saya akan tetap mendukung juga. Karena apapun yang dilakukan KPI pasti ada pro dan kontra di masyarakat. Saya sebagai masyarakat, saya juga harus mendukung kalau terjadi penyensoran yang dilakukan KPI di dalam media baru,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Bentuk protes dan ketidaksetujuan dari masyarakat terus berdatangan dalam mengomentari masalah ini. Padahal, sudah dijelaskan bahwa dalam hal ini KPI tidak bermaksud untuk melakukan pengawasan terhadap media baru, melainkan untuk mengatur regulasinya. Bagaimana bisnis dan pajaknya akan berjalan. Hal ini juga didukung tegas oleh Kominfo bahwa sejatinya KPI tidak memiliki wewenang untuk mengatur di luar TV kabel dan TV satelit. Kominfo hanya menekankan, jika revisi Undang-Undang Penyiaran ini telah disetujui oleh DPR dan pemerintah, maka yang memiliki keahlian untuk mengatur konten dan tayangan adalah KPI itu sendiri, karena KPI memiliki Undang-Undang dan kekuatan untuk mengawasi.
Dengan perencanaan revisi Undang-Undang Penyiaran ini, KPI dan Kominfo berpesan, sebagai pengguna media baru di era digital, masyarakat harus lebih bijak dalam memilih tayangan, serta menyaring segala informasi dengan membandingkan beberapa sumber sebagai bentuk pemastian dari keakuratan suatu informasi. Selain itu, masyarakat harus terus belajar karena di luar sana penggunaan internet secara negatif terus berkembang, modus penipuan, penyebaran hoax semakin sistematis.
ADVERTISEMENT
Penulis dan tim merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Berikut merupakan peran dan tugas yang penulis dan tim lakukan:
Mutiara Ananda Putri - 1710411046 (Penulis Berita)
Permata Nurul Aini - 1710411045 (Editor)
Nurun Nisa - 1710411033 (Pewawancara)
Saviera Ayulia Laksana - 1710411097 (Pewawancara)
Salsabila Khalilah Saputri - 1710411022 (Transkriptor)
M. Fathan Ibadurrahman - 1710411151 (Pencari Data)
Dandi Ramadhan - 1710411239 (Pencari Data)