Konten dari Pengguna

Kembali Mengulas “All Eyes On Papua” Hak Atas Tanah Ulayat Masyarakat Adat Papua

Mutiara Nur Lintang
Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
18 Oktober 2024 10:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutiara Nur Lintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi All Eyes On Papua. Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/2016127/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi All Eyes On Papua. Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/2016127/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada beberapa bulan lalu tepatnya pada bulan Juni 2024 telah digemparkan dengan kalimat All Eyes On Papua. Di mana All Eyes On Papua ini bermaksud untuk memberitahukan kondisi papua waktu itu. Kala itu masyarakat adat Papua yakni suku Awyu dan suku Moi tengah berupaya mempertahankan hak-hak atas tanah ulayatnya sekitar kurang lebih 36.094 hektare dan 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin dari rencana ekspansi perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari dan PT Sorong Agro Sawitindo. Mereka meminta kepada Mahkamah Agung untuk membatalkan izin kepada perusahaan sawit itu. Perihal ini dinilai akan merugikan masyarakat adat karena berakibat buruk pada kondisi lingkungan, dan wilayah itu merupakan sumber kehidupan mereka. Apabila hal ini terjadi maka hilanglah sumber kehidupan mereka. Pembatalan izin terhadap perusahaan sawit akan memulihkan hak-hak masyarakat adat dan menyelamatkan hutan di Papua yang merupakan bagian penting dari identitas budaya dan spiritual mereka.
ADVERTISEMENT
Dasar Hukum Hak Atas Kepemilikan Tanah Ulayat
Menggali dasar hukum hak atas tanah ulayat masyarakat adat termaktub resmi telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan juga diatur dalam Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah. Kedua dasar hukum tersebut sebagai tindakan responsif terhadap hak atas kepemilikan tanah ulayat masyarakat adat. Hak atas tanah ulayat tercantum sebagaimana di dalam UUPA pada pasal 3. Pasal 3 UUPA menjelaskan bahwa mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Lalu dipertegas pada Perdasus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 pada pasal 2 ayat (1) bahwa Pemerintah Daerah mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat dan atau hak perorangan warga masyarakat hukum adat atas tanah.
ADVERTISEMENT
Penggelaran Aksi Damai dan Dukungan Masyarakat
Ilustrasi aksi damai masyarakat adat Papua. Sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/kota-orang-orang-masyarakat-rakyat-15458140/
Pada pagi hari tepatnya tanggal 27 Mei 2024, beberapa perwakilan dari suku Awyu dan suku Moi menggelar aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung di Jakarta. Dalam aksi tersebut, mereka mengenakan busana adat dan melakukan ritual sebagai bentuk protes terhadap perusakan hutan adat mereka. Mereka didukung oleh berbagai organisasi masyarakat sipil dan diiringi solidaritas mahasiswa Papua yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan pelestarian alam lingkungan hutan adat masyarakat Papua.
Dampak Ekspansi Perusahaan Kelapa Sawit
Ekspansi perusahaan kelapa sawit di Papua memberikan dampak signifikan terutama dalam hal ekosistem, sosial, dan juga ekonomi. Dampak dari perspektif ekosistem ekspansi perusahaan sawit dapat mengancam hutan primer masyarakat adat dan habitat ribuan spesies flora dan fauna, termasuk spesies endemik seperti orangutan Papua dan cenderawasih dapat punah. Konversi hutan menjadi monokultur sawit mengurangi biodiversitas secara drastis. Pembukaan lahan untuk sawit berdampak pada siklus hidrologi, meningkatkan suhu lokal, dan menyebabkan pelepasan karbon (CO2) yang signifikan ke atmosfer. Hal ini berpotensi memicu perubahan iklim mikro dan memengaruhi pola curah hujan hutan tropis Papua. Hilangnya hutan berkontribusi terhadap kerawanan pangan di daerah-daerah yang terlibat dalam usaha perkebunan sawit. Banyak masyarakat adat kehilangan sumber pangan lokal mereka akibat konversi lahan. Dari segi sosial masyarakat sering kali tidak dilibatkan dalam proses perizinan, yang melanggar hak-hak mereka atas tanah adat mereka dan masyarakat adat juga yang harus menanggung kerugian lebih besar dibandingkan manfaat dari ekspansi perusahaan sawit. Lalu dari pandangan ekonomi meskipun industri sawit menciptakan lapangan kerja dan menyumbang pendapatan daerah, pada realitanya manfaat ekonomi jangka pendek tidak sebanding dengan kerugian ekologis dan sosial jangka yang amat sangat panjang.
ADVERTISEMENT
Proses Peradilan
Masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya sama-sama tengah terlibat gugatan hukum melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka. Isu utama dalam masalah ini terdapat pada perizinan lingkungan untuk ekspansi perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari pada kawasan distrik Mandobo dan Fofi, Boven Digoel. Sementara sub Suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin untuk perkebunan sawit. Masyarakat Suku Awyu tidak pernah memberi kuasa kepada siapa pun untuk mendatangkan perusahaan kelapa sawit. Hendrikus Woro yakni Ketua Marga Woro Suku Awyu dan juga sebagai penggugat atas perihal ini. Tujuan Hendrikus Woro menginginkan penghapusan izin lingkungan yang diberikan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari melakukan ekspansi terhadap tanah adat milik mereka. Gugatan Hendrikus Woro awalnya ditolak oleh PTUN Jayapura. Kemudian diajukan banding ke PTUN Manado tetapi juga ditolak. Jalan terakhir sekarang Hendrikus Woro mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk memulihkan hak-hak yang dirampas. Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu mengatakan “Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini.”.
ADVERTISEMENT
Segenap Harapan Pada Keputusan Mahkamah Agung
Saat ini, gugatan Suku Awyu dan Moi sedang dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung. Mereka berharap agar Mahkamah Agung dapat melakukan tindakan pencabutan izin ekspansi perusahaan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari dan PT Sorong Agro Sawitindo supaya pengadilan dapat mengedepankan keadilan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat dalam putusannya. Keputusan ini diharapkan tidak hanya berdampak pada kedua suku tersebut, tetapi juga memberikan perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua dan juga masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Masyarakat Suku Awyu dan Moi terus berjuang untuk mempertahankan hak ulayat mereka melawan proyek-proyek industri yang mengancam ekosistem dan kebudayaan mereka. Upaya hukum mereka termasuk mengajukan gugatan dan kasasi untuk membatalkan izin lingkungan yang diberikan tanpa persetujuan awal pemilik ulayat. Keberhasilan mereka sangat dipercayai terletak pada pengesahan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat (RUU MA) yang dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih efektif bagi masyarakat adat di Indonesia. Hingga saat ini Masyarakat adat masih menunggu hasil putusan Mahkamah Agung dalam pemberian keadilan kepada mereka.
ADVERTISEMENT
Penulis : Mutiara Nur Lintang, Mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.