Konten dari Pengguna

Bahasa Pidato: antara Bahasa Sastra, Agama, dan Politik

Mutiara Sani
Mahasiswi jurusan Sastra Indonesia Universitas Pamulang
21 November 2023 10:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutiara Sani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi orang berpidato. (sumber: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang berpidato. (sumber: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Sejak memasuki semester akhir (baca: semester 7), materi yang saya dapatkan cenderung lebih mengerucut dan berbobot. Kebetulan, saya adalah mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di salah satu Universitas di Tangerang Selatan. Sehari-harinya, saya tidak lepas dari kajian yang sesuai dengan jurusan saya, yakni Sastra.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang sastra terkadang membuat saya mengkerutkan dahi. Memang, sastra bukanlah peminatan yang saya pilih karena terlalu "luas" dan cukup sulit untuk ditentukan batasannya. Tetapi meski demikian, ada salah satu kajian sastra yang menarik minat saya untuk menulis ini, yakni kajian Bahasa, Sastra, Agama, dan Politik.

Apa itu kajian Bahasa, Sastra, Agama, dan Politik?

Ilustrasi public speaking. Foto: Shutterstock
Singkatnya, kajian Bahasa, Sastra, Agama, dan Politik adalah kajian multiunsur, yakni antara satu unsur dengan unsur lain memiliki keterkaitan. Sastra sebagai suatu seni memiliki karya sastra sebagai hasilnya.
Karya sastra menggunakan bahasa sebagai media penyampaian berbagai jenis karya, seperti puisi maupun novel. Di dalam unsur karya sastra sendiri, unsur ekstrinsik karya sastra ikut andil dalam membentuk keseluruhan tema yang ada. Unsur ekstrinsik yang biasanya ada dalam sebuah karya sastra yakni unsur agama dan politik.
ADVERTISEMENT
Bahasa sastra, agama, dan politik adalah tiga unsur yang memiliki pengaruh dalam membentuk budaya dan masyarakat. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dalam sejarah manusia dan memiliki hubungan yang kompleks yang mempengaruhi nilai-nilai, norma-norma, dan perkembangan sebuah negara.
Contohnya ketika seseorang berpidato, tentu ia akan menggunakan bahasa yang telah disesuaikan agar ketika menyampaikan materi kepada komunikan, tujuan tertentu yang ingin komunikator raih dapat tercapai. Adapun antara pidato satu dengan yang lain pastinya berbeda tujuan capaian, terlebih jika tema pidato berbeda.
Salah satu contoh perbedaan tujuan capaian dalam berpidato ada pada tema pidato keagamaan dan juga tema pidato politik. Keduanya memiliki titik tujuan tertentu bagi masing-masing komunikannya. Pidato keagamaan biasanya bertujuan untuk menyampaikan ajaran dari suatu agama. Sementara pidato politik bertujuan untuk memengaruhi, membentuk, atau bahkan memanipulasi opini publik, serta bisa merumuskan kebijakan politik.
ADVERTISEMENT

Bagaimana hubungan sastra dengan bahasa yang digunakan dalam pidato keagamaan atau pidato politik?

Ilustrasi seminar. Foto: Shutter Stock
Ketika berpidato dalam tema keagamaan, tentu kita sudah tidak asing lagi dengan kalimat seperti: selawat serta salam tak lupa kita kirimkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW. Kalimat tersebut masuk ke dalam bahasa kiasan, begitu pula dengan doa-doa yang sering kita panjatkan. Sastrawan juga menggunakan bahasa sastra ketika berdoa atau memuji Tuhan-nya.
Sementara ketika berpidato dalam tema politik, bahasa sastra yang digunakan tentu berbeda dengan bahasa pidato tema keagamaan. Sebab fokus tujuan dari pidato tema politik ialah mempersuasi komunikan. Jadi bahasa yang digunakan adalah yang bisa membuat komunikan menjadi terpengaruh dan setuju terhadap apa yang disampaikan oleh si komunikator pidato.
ADVERTISEMENT
Contohnya ketika Presiden Jokowi berpidato saat pemilihan calon presiden pada 2014 silam, tentu beliau menggunakan gaya bahasa persuasif untuk memengaruhi audiens agar mendukungnya saat memaparkan visi serta aspirasinya kala itu.
Kesimpulannya adalah bahwa bahasa sastra, agama, dan politik memiliki hubungan keterkaitan dengan berbagai unsur lain dari sebuah karya sastra, di mana keterkaitan tersebut berhubungan erat dengan bahasa sebagai titik utama media penyampaian suatu karya sastra.