Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perempuan dan Perannya Pada Zaman Dinasti Joseon di Korea Selatan
27 April 2022 20:20 WIB
Tulisan dari Mutiara Gita Cahyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pada masa kini, kaum perempuan mulai banyak memperlihatkan eksistensinya di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam jabatan-jabatan penting seperti CEO, direktur, anggota dewan, serta pemimpin daerah sudah banyak diisi oleh para perempuan. Pandangan dunia akan perempuan seakan sudah berubah dan perempuan tidak lagi dipandang hanya sebelah mata, bahkan dipuji berdasarkan kemampuan dan keberhasilannya.
ADVERTISEMENT
Budaya Patriarki di Korea
Korea selatan menjadi salah satu negara yang masih menjunjung sistem kekerabatan patrilinieal yang kuat. Dalam media seperti buku dan drama korea banyak menunjukkan kehidupan patriarki di Korea Selatan. Misalnya pada buku Kim Ji Yeong, Lahir Tahun 1982 karya Cho Nam Joo yang menceritakan besarnya tekanan sosial seorang perempuan di tengah budaya patriarki dan permasalahan kesetaraan gender.
Budaya patriarki tersebut didukung oleh ajaran Konfusianisme yang sudah berjalan sejak zaman Joseon. Sejarah Korea memiliki tiga ajaran yang utama, yaitu Buddhisme, Konfusianisme, serta Taoisme. Ajaran Konfusianisme ini telah melekat di dalam kehidupan masyarakat Korea, seperti dalam bidang pendidikan, ritual, persepsi filosofis, serta moral masyarakatnya.
Konfusianisme Sejak Era Joseon
ADVERTISEMENT
Konfusianisme di Korea memiliki arti sebagai petunjuk dalam berbuat kebaikan, kecintaan dalam kebenaran, tata krama, serta kebijaksanaan dalam kepemimpinan. Konfusianisme di sini bukanlah sebuah agama, tetapi sebuah kepercayaan atau ideologi yang dianggap sebagai orang suci diikuti dengan ajaran utama dari sistem yang diciptakan.
Pada masa dinasti Joseon, kaum perempuan diatur ketat serta terbatas dalam lingkungan rumah tangganya. Hal tersebut sejalan dengan tiga lingkaran yang disebut “Tiga Kepatuhan” yaitu perempuan saat menjadi anak, ia mengabdi pada ayahnya; saat menjadi seorang istri, ia mengabdi pada suaminya; saat suaminya meninggal, ia mengabdi pada anak laki-laki tertuanya.
Selain harus mengikuti samjongjitak atau “Tiga Kepatuhan”, para perempuan pada zaman Joseon harus menjauhi “Tujuh Kejahatan” atau bahasa Koreanya yaitu chilgeojiak dengan tidak mematuhi mertua; tidak mempunyai anak laki-laki; berzina; cemburu; memiliki penyakit turun temurun; fitnah; serta mencuri.
ADVERTISEMENT
Selain itu, terdapat pepatah yeolnyeobulsayibu yang berarti perempuan Joseon hanya menikah sekali seumur hidup karena pernikahan dianggap sakral bagi kaum perempuan. Para perempuan dilarang menikahi laki-laki yang status sosialnya lebih rendah agar keturunan selanjutnya tidak mewarisi status sosial yang rendah. Perempuan yang sudah menikah disebut anae yang berarti orang dalam rumah yang mengurus keluarga dan utamanya berkegiatan di rumah.
Setelah seorang perempuan menikah, ia diharuskan berbakti kepada suami serta turut tinggal di rumah mertuanya, terutama apabila perempuan tersebut menikah dengan anak laki-laki pertama di keluarga tersebut. Di dalam ajaran Konfusianisme, perempuan yang sudah menikah hanya fokus pada mengurus urusan rumah tangga dan keluarga, serta membesarkan anak.
Peran perempuan masa Dinasti Joseon diharuskan turut pada sistem Konfusianisme, sehingga derajat perempuan saat itu sangat rendah karena sistem patriarki yang menjunjung tinggi kedudukan laki-laki. Perempuan sulit mendapat pendidikan karena pendidikan dikhususkan untuk anak laki-laki. Sastrawan dan politis menganggap memberikan pendidikan bagi perempuan itu percuma karena perempuan hanya butuh pengembangan moralitas dari Konfusianisme.
ADVERTISEMENT
Pada zaman itu, perempuan cukup mengetahui keutamaan dari kecerdasan, kesederhanaan, serta kesucian kebajikan Konfusianisme. Hal tersebut membuat pendidikan bagi perempuan hanya berasal dari keluarga dan pendidikan informal dari rumah. Proses belajar seperti sekolah dasar (seodang) dan perguruan tinggi (seonggyungwan) tidak penting karena perempuan hanya berperan dalam mengurus keluarga serta membantuk pekerjaan pertanian.
Sedangkan bagi istri kaum aristokrat (kaum bangsawan), mereka tidak ikut campur untuk ikut bekerja menghidupi keluarga. Istri-istri tersebut beraktivitas memilin jerami untuk menjadi sepatu, mengelola toko minuman keras, serta menenun. Mereka diharuskan memelihara keharmonisan antar generasi dan mendidik anak untuk menjaga kehormatan suaminya. Tetapi, istri aristokrat baru dianggap kehadirannya apabila telah berhasil melahirkan anak laki-laki.
Selain menjadi seorang istri, beberapa perempuan juga melakukan beberapa pekerjaan di era Joseon. Meskipun tidak banyak pekerjaan perempuan yang diakui, ada empat peran atau pekerjaan bagi para perempuan masa itu, yaitu dayang istana (gungnyeo), shaman (mudang), tabib, dan wanita penghibur (gisaeng).
ADVERTISEMENT
Dayang Istana
Dayang istana merupakan perempuan pelayan publik yang bekerja di dalam istana serta mengabdi untuk keluarga kerajaan. Dayang ini juga disebut sebagai naemyeongbu yang berarti “wanita-wanita istana” yang mendapat gelar serta peringkat berdasarkan tugas dan posisi bekerjanya. Dayang istana direkrut dari budak perempuan atau anak para gisaeng dengan proses berbeda sesuai dengan tugasnya.
Dayang harus bisa menjahit, menyulam, belajar naskah Korea, membaca buku klasik, belajar kosakata kerajaan, belajar tatakrama, dan menulis aksara Korea lama. Dayang dengan peringat atas disebut sanggung dan dayang penunggu disebut jejo-sanggung. Dayang istana rawan mengakibatkan perguncangan politik karena mereka mudah mendapat informasi kerajaan saat melayani keluarga kerajaan.
Tabib
Pekerjaan tabib perempuan merupakan pekerjaan berstatus rendah dibandingkan dengan pekerjaan lain pada masa Joseon karena mereka diharuskan bekerja sama dengan tabib laki-laki. Meski begitu, pekerjaan ini memiliki perempuan yang terdidik karena memperoleh keahlian akupuntur, kebidanan dan keperawatan.
ADVERTISEMENT
Tabib wanita menemani tabib pria memeriksa pasien wanita karena tabib pria dilarang menyentuhnya, namun tabib wanita tidak boleh menulis resep. Dengan pendidikannya yang baik, peran tabib wanita bertambah, yaitu sebagai investigator yang membantu penyelidikan kejahatan terutama kasus yang bersangkutan dengan wanita baik di wilayah istana maupun keluarga yangban.
Shaman
Shaman diyakini sebagai perantara manusia dengan dewa. Mereka melakukan ritual pemanggil arwah dewa dan mengusir roh jahat. Shaman dalam literatur memiliki arti “ten thousand gods” karena mereka menyembah lebih dari satu dewa. Di era Raja Sejong, shaman ditugaskan mengobati pasien yang terkena penyakit yang tengah menyebar di masyarakat. Shaman juga membantu kesejahteraan publik dengan melakukan ritual mendatangkan hujan.
Para ratu dan selir kerajaan juga meminta bantuan shaman secara diam-diam untuk mendoakan kesejahteraan dan kesehatan anggota keluarga kerajaan. Pada akhir masa Joseon, para shaman meningkat jumlahnya. Hampir setiap desa memiliki tiga rumah tangga atau lebih yang menjadi shaman.
ADVERTISEMENT
Gisaeng
Para perempuan penghibur atau gisaeng bekerja sebagai pemain musik serta penari yang menghibur dalam perjamuan yang ada di istana maupun rumah bangsawan. Mereka dari kalangan kelas rendah, namun memiliki keterampilan musik, tari, medis, serta menjahit. Gisaeng banyak berperan menghibur bangsawan, pasukan, dan utusan luar negeri yang datang ke Joseon sehingga peran ini kemudian merubah seorang gisaeng menjadi seorang pelacur.
Akan tetapi, meskipun para gisaeng memiliki citra yang buruk, beberapa gisaeng ini ikut mencatat sejarah patriotisme pada saat invasi Jepang ke Korea. Nongae, seorang gisaeng terbukti berbakti pada negara dengan membunuh jenderal penting Jepang. Gisaeng pula berperan melindungi seni, musik tradisional, tari, dan puisi.
Peran perempuan di masa Joseon ini dapat disimpulkan masih terbatas. Mereka hanya berperan banyak dalam rumah tangganya dengan mengurus keluarga dan anak. Ada pula para istri-istri yang bekerja dalam pertanian tetapi bukan untuk memenuhi kebutuhan. Peran-peran publik pun tersedia, namun perempuan yang bekerja untuk publik dianggap masuk dalam kelas sosial menengah ke bawah.
ADVERTISEMENT