Bahaya Rasionalitas Modern Birokrasi

Mutia Rizal
Analis Posbirokrasi | Editor di birokratmenulis.org
Konten dari Pengguna
13 Mei 2019 10:27 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutia Rizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Ilustrasi: Suasana birokrasi modern/ Sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto Ilustrasi: Suasana birokrasi modern/ Sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
Sadarkah anda bahwa birokrasi kita saat ini adalah birokrasi modern? Modernisasi birokrasi yang dimaksud bukan tentang birokrasi yang didukung dengan teknologi informasi yang saat ini serba digital.
ADVERTISEMENT
Namun, birokrasi modern yang dimaksud adalah birokrasi yang tidak lagi beroperasi seperti zaman kerajaan, yakni birokrasi tradisional yang dijalankan melalui karisma sang raja, yang membuahkan kekuasaan absolut untuk kepentingan sang raja.
Hantu Rasionalitas Modern
Birokrasi modern mulai berkembang di abad 19 sebagai bentuk birokrasi yang rasional, yakni birokrasi yang dijalankan melalui sebuah cara yang masuk akal dan penuh kesadaran untuk mencapai tujuan bersama.
Rasionalitas birokrasi ini diperkenalkan oleh Max Weber, seorang sosiolog Jerman yang mengatakan birokrasi sebagai jenis organisasi yang paling efisien ditandai dengan hierarki dan kesatuan komando, serta pembagian kerja dan spesialisasi tugas.
Selain itu, urusan kepegawaian berdasarkan jasa dan promosi, aturan secara universal diterapkan untuk mengatur sistem kerja, dan komunikasi yang berwujud formal. Bagi Max Weber, birokrasi tipe ideal lebih unggul daripada struktur otoritas tipe tradisional dan karismatik, karena birokrasi ini didasarkan pada hukum, keputusan rasional, dan keahlian.
Ilustrasi bekerja yang sesuai SOP. (pexels.com)
Itulah rasionalitas birokrasi modern. Rasionalitasnya adalah proses administrasi dalam kegiatan birokrasi itu hanya dapat menjadi efisien, rutin, dan non partisan apabila cara kerja organisasi itu dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai cara kerja sebuah mesin untuk mencapai efisiensi, output standar, dan kepastian.
ADVERTISEMENT
Rasionalitas yang banyak diikuti oleh birokrasi pemerintahan adalah rasionalitas legal-formal. Segala sesuatu dibuat formal, terstandar. Bahkan, budaya di organisasi pemerintahan pun banyak yang dibuat formal.
Sampai dengan hari ini, para birokrat mengalami dan menyaksikan rasionalitas birokrasi modern itu. Di sekitar kita ada hierarki struktur organisasi, lengkap dengan uraian tugas, jabatan, dan kewenangan. Tugas-tugas telah diatur siapa mengerjakan, apa lengkap dengan pembagian ruangan, dan jenjang komando.
Lalu standar baku berupa SOP selalu ada dimana-mana. Pengawasan berupa kontrol terhadap pelaksanaan SOP terus ditingkatkan. Aturan disiplin pegawai setiap hari mengintai pegawai yang mencoba melanggar.
Penghargaan dan sangsi lengkap dengan kategorisasi pegawai malas, rajin, berkinerja unggul, dan juga berkinerja rendah. Itu semua dilakukan agar jalannya birokrasi dapat efisien dan efektif, atas nama pelayanan untuk masyarakat.
ADVERTISEMENT
Begitulah birokrasi modern berjalan. Semua seperti terlihat baik-baik saja karena kita memang telah terlatih bertahun-tahun dengan praktik sedemikian.
Efek Negatif Rasionalitas Modern
Namun, di balik rasionalitas itu, banyak hal-hal yang secara tidak rasional melukai perasaan masyarakat, bahkan birokrat sendiri. Disebut tidak rasional karena keadaan ataupun perasaan yang terjadi dan dialami oleh birokrat dan masyarakat tidak sesuai dengan pengetahuan dan praktik umum di birokrasi.
Kondisi tersebut sebenarnya dapat dirasakan setiap hari, tetapi sering birokrat tidak mempedulikannya. Misalnya, saat absen kehadiran di pagi hari, saking rasionalnya birokrat agar tidak terkena potongan tunjangan kinerja dan teguran aturan disiplin, seringkali birokrat menjadi tidak rasional dalam bertindak.
Perilaku mereka menjadi terburu-buru, kadang berlari mengejar angkutan, ngebut di jalan, menerobos lampu merah, dan banyak yang terkesan tidak mengindahkan keselamatan diri dan orang lain. Beberapa korban pun telah berjatuhan karenanya.
ADVERTISEMENT
Pada saat kita mulai bekerja dalam melayani masyarakat misalnya. Di berbagai loket entah loket pengurusan seritifikat, pengurusan KTP, SIM, dan lainnya, karena alasan efisiensi yang menuntut kecepatan bekerja, seringkali kita lupa untuk berbicara ramah, tersenyum, dan sopan. Terkesan semua terburu-buru dan berbicara sesuai perlunya saja.
Bekerja dengan SOP yang ketat, membuat semua produk layanan menjadi terprediksi. Dengan SOP pula, pegawai tidak dituntut untuk menjadi seorang inovator. Cukup terampil dan ahli menjalankan SOP saja sudah cukup.
Ilustrasi orang yang bekerja sesuai SOP. (Pexels.com)
Pegawai benar-benar dilatih untuk membuat produk layanan yang terstandar. Bahkan jika ada usulan nyeleneh tentang modifikasi layanan yang sebenarnya dapat lebih menguntungkan masyarakat, justru dianggap salah dan menyimpang. Maka tidak heran jika banyak yang beranggapan bahwasanya PNS mempunyai daya inovasi yang rendah.
ADVERTISEMENT
Dari beberapa contoh sederhana di atas, terlihat bahwa rasionalitas birokrasi dapat berefek negatif terhadap tujuan dari berjalannya proses birokrasi itu sendiri (disfungsi birokrasi). Instrumentalisme dan dehumanisasi mengancam persendian birokrasi.
Contoh absen yang ketat disertai ancaman potongan tunjangan kinerja membuat aturan yang seharusnya sebagai sarana mencapai tujuan, justru berubah fungsi menjadi tujuan itu sendiri.
Bahkan menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi Reformasi (PAN-RB) sendiri sering mengatakan banyak PNS bekerja hanya untuk absen. Itulah yang disebut sebagai instrumentalisme, sarana berubah menjadi tujuan. Pegawai menjadi lupa tujuan hakiki mereka bekerja untuk apa, gara-gara dilatih untuk selalu menganggap aturan sebagai tujuan.
Pegawai yang sejenak meluangkan waktunya untuk menjemput anaknya tidak lagi menjadi masalah jika yang bersangkutan tetap komit terhadap penyelesaian tugasnya. Hal itu justru dapat menjadi pelicin semangat kerja pegawai karena kantor menghargai sisi humanisnya.
ADVERTISEMENT
Dehumanisasi sering terjadi di area ini. Pegawai tidak lagi dianggap sebagai manusia yang memiliki kepentingan pribadi. Segalanya hanya tentang bekerja menurut aturan institusi.
Menuju Birokrasi Beyond Modern
Sudah saatnya birokrasi memperhatikan hal-hal yang informal dan tidak rasional, yang lebih humanis dan fleksibel. Visi dan tujuan birokrasi hendaknya tidak lagi menjadi domain pimpinan saja. Namun, visi serta harapan individu hendaknya lebih diperhatikan dan terjadi saling dialog satu sama lain.
Hierarki struktur organisasi hendaknya dianggap sebagai pembagian tugas saja, bukan untuk dimanfaatkan sebagai jurang pemisah kekuasaan antara struktur atas dan bawah.
Ilustrasi bekerja dengan diskusi. (pexels.com)
Aktivitas informal hasil dari local wisdom seperti indahnya kebersamaan, tenggang rasa, gotong royong seharusnya dipandang sebagai budaya yang cair dengan suasana formal.
ADVERTISEMENT
Jika budaya tersebut ditolak oleh institusi formal, hasilnya justru perlawanan dan budaya negatif yang akan timbul. Kebersamaan, gotong royong, dan tenggang rasa justru masuk pada aspek negatif berupa penyimpangan birokrasi seperti suap dan korupsi.
Jika kita sebagai manusia dapat bekerja nyaman, lebih fleksibel dengan menekankan tanggung jawab, adanya pengakuan kekuasaan individu untuk meraih kebebasan berkreasi, kesadaran menjadi lebih utama dibanding kepatuhan, produktifitas diukur bukan hanya dari angka-angka tetapi lebih pada kepuasan pegawai dan masyarakat pengguna layanan, maka kita telah menuju pada birokrasi yang melampaui modern.
Menuju post-birokrasi yang menganggap tubuh birokrasi bukan tubuh yang tunggal tapi terdiri dari banyak individu, dan individu itu adalah manusia.