Haruskah Kepentingan Negara di Atas Kepentingan Pribadi?

Mutia Rizal
Analis Posbirokrasi | Editor di birokratmenulis.org
Konten dari Pengguna
29 April 2019 9:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutia Rizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto ilustrasi: para abdi negara/ sumber: pixabay.com
Sering kali saya mendengar pengarahan dari pimpinan instansi yang bermaksud memberikan semangat bekerja bagi para PNS-nya. Beliau mengatakan dengan mimik muka serius di akhir pidatonya, bahwa kita sebagai PNS harus mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, dan semua hadirin bertepuk tangan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saya sering mendengar kalimat itu, tapi entah kenapa saya merasa semakin terusik dan menanyakan apa maksudnya, dalam hati tentu saja.
Kenapa selalu ada kalimat mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi? Apakah kepentingan negara tidak sama dengan kepentingan pribadi? Kepentingan pribadi tidak penting? Kepentingan pribadi dianggap mengganggu kepentingan negara? Beragam pertanyaan menggelayut di benak saya.
Sepertinya negara takut dengan kepentingan pribadi. Takut pegawai bolos kerja karena jemput anaknya? Takut informasi rahasia negara bocor? Takut pegawai korupsi? Kalau itu semua dianggap kepentingan pribadi, lalu bagaimana dengan keinginan pegawai untuk naik pangkat, tercukupi kebutuhan, berkarir dengan baik? Apakah itu juga kepentingan pribadi? Jadi, yang mana yang dimaksud dengan kepentingan pribadi?
ADVERTISEMENT

Warisan Feodal & Kolonial

Diskursus (wacana) kepentingan negara harus didahulukan, sebenarnya hasil dari kehidupan masyarakat kita sejak zaman kerajaan, lalu masa kolonial, dan berlanjut sampai sekarang. Pada zaman kerajaan, seorang raja mempunyai kepentingan yang tidak dapat dibantah.
Abdi kerajaan seolah memang tidak mempunyai kepentingan apapun selain mengikuti titah sang raja. Gaji ala kadarnya yang diberikan kepada abdi kerajaan pun dianggap sebagai anugerah dalam melayani rajanya. Raja menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadinya.
Adapun jika kerajaan kemudian terlihat mengurus warganya dengan baik, menyejahterakan, dan memakmurkan warganya, semata adalah untuk kepentingan melanggengkan kekuasaannya. Sebab, raja sering dianggap baik atau buruk berdasarkan kemampuan mereka dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Pada masa kolonial, sebenarnya tidak berbeda jauh dengan cara feodal. Bangsa penjajah justru bekerja sama dengan pihak kerajaan untuk menguasai sumber daya manusia dan alam untuk kepentingan mereka. Sistem tanam paksa yang diterapkan saat itu sangat menggambarkan adanya dominasi penguasa terhadap sumber daya untuk kepentingan bangsa kolonial.
Birokrasi yang terbentuk saat itu sangat hierarkis, formal, dan bertanggung jawab pada gubernur jenderal. Masyarakat ataupun pegawai pemerintahan selalu dianggap tidak menguasai pengetahuan dan tidak mendapatkan akses terhadap alat-alat produksi. Mereka semua bekerja seperti layaknya mesin.
Ilustrasi Pegawai Negeri Sipil. Foto: ANTARA FOTO/Jojon

Aturan yang Menyakitkan

Sampai dengan hari ini, kehidupan birokrasi modern yang rasional, yang sejatinya menginginkan sebuah birokrasi ideal ala Weber, bekerja secara hierarkis, terstruktur, dan terstandar dengan berbagai aturan, termasuk aturan disiplin yang mengatur praktik kehidupan pegawai.
ADVERTISEMENT
Berbagai aturan itu secara tidak disadari menyakitkan hati para pegawai negeri, yang pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki kepentingan pribadi.
Aturan tersebut, misalnya, Keputusan Presiden (Keppres) 10 tahun 1974 dan Keppres 74 tahun 1992, yang mengatur mengenai batasan kegiatan dan praktik kesederhanaan hidup pegawai negeri. Betapa praktik dan cara hidup pegawai pun diatur oleh sebuah aturan yang disertai dengan sanksi.
Sedangkan Peraturan Pemerintah No 30 tahun 1980 yang kemudian diubah menjadi Peraturan Pemerintah No 53 tahun 2010, tentang disiplin pegawai negeri, jelas termaktub kata-kata ‘mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan’. Aturan itu menganggap bahwa pegawai yang tidak disiplin adalah pegawai yang lebih mengutamakan kepentingan pribadinya.
ADVERTISEMENT
Semua peraturan itu mengatur tubuh pegawai negeri agar tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan negara. Dengan kata lain, kepentingan pribadi seseorang dianggap tidak penting dan cenderung tidak baik bagi negara.
Yang lebih menyakitkan adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 37 tahun 2012, tentang Pedoman Umum Penanganan Benturan Kepentingan. Tertulis jelas adanya dikotomi kepentingan negara dan pribadi, bahwa kepentingan pribadi selalu tidak baik dan jangan sampai berbenturan dengan kepentingan negara.
Negara menganggap pribadi-pribadi pegawainya tidak mempunyai kepentingan pribadi yang baik.

Kehilangan Daya Kritis

Mungkin maksud negara sebenarnya baik, untuk melindungi negara agar pelayanan publik tetap efektif dan efisien, serta tidak terganggu dengan berbagai penyimpangan.
Namun, negara kehilangan daya kritisnya. Aturan dan pernyataan tersebut justru mereduksi semangat pegawai untuk berbuat lebih banyak kepada negara. Pegawai terhegemoni bahwa segala kepentingan pribadi harus dikorbankan demi kepentingan negara.
ADVERTISEMENT
Negara tidak percaya dengan niat baik pegawainya. Padahal seseorang yang masuk menjadi pegawai negeri sudah siap dengan berbagai keterbatasannya terutama masalah gaji.
Kepentingan pribadi seorang pegawai sebenarnya melakukan tugas dengan baik, berkinerja baik, naik pangkat, gaji naik, berkarir dengan normal, keluarga sehat, anak-anak bersekolah, selamat, dan tidak ikut-ikutan gerakan teroris. That’s all. Tidak ada yang salah dengan hal itu.
Adapun perbuatan-perbuatan yang disebut dalam berbagai macam aturan tadi adalah penyimpangan-penyimpangan perilaku, bukan kepentingan pribadinya si pegawai negeri.
Penyimpangan-penyimpangan memang tetap harus diwaspadai dan dikendalikan dengan sebuah sistem pengendalian internal pemerintah, yang di dalamnya juga sudah menyebutkan perlunya penegakan kode etik dalam bekerja. Itu saja sebenarnya sudah cukup.
Ilustrasi Bendera Indonesia. Foto: Shutterstock

Implikasi Dikotomi Kepentingan

Diskursus kepentingan negara di atas kepentingan pribadi yang digaungkan terus menerus di berbagai kesempatan, mau tidak mau berimplikasi terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan dalam mengelola pegawai negeri.
ADVERTISEMENT
Para pimpinan sebagai pengambil kebijakan, selalu menganggap dirinya sebagai representasi dari negara. Dalam kondisi demikian, kebijakan dan keputusan yang diambil akan selalu berdalih untuk kepentingan negara dan berlangsung satu arah. Sementara pegawai sebagai bawahannya harus mengikuti apa yang ditetapkan oleh ‘negara’.
Pada akhirnya, banyak kebijakan pimpinan yang seolah melupakan hakikat keberadaan pegawainya sebagai manusia biasa, yang juga memiliki kepentingan pribadi. Hal itu dapat kita cermati dalam berbagai kebijakan, misalnya, kebijakan mutasi, kebijakan pola karir, kebijakan kesempatan mengikuti pendidikan, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh, masih banyak pegawai yang dipindahtugaskan ke tempat atau lokasi lain, hanya karena tidak mengikuti arahan pimpinannya. Masih banyak berlangsung proses promosi pegawai yang hanya berdasarkan pengamatan pimpinan (satu arah), itu pun lekat dibumbui dengan praktik like and dislike.
ADVERTISEMENT
Masih banyak pula kita jumpai pekerjaan pegawai yang terlalu berat, sampai-sampai harus pulang larut malam, yang berakibat anak-anak terbengkalai dan pasangan banyak komplain karena merasa terkorbankan.
Apakah negara memahami kondisi-kondisi seperti itu? Bukankah itu semua adalah juga kepentingan negara untuk melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan mengamankan warganya?
Abdi negara yang sering menghilang dari kantor saat dibutuhkan, tidak profesional dalam bekerja, dan melakukan korupsi, bukan berarti mengutamakan kepentingan pribadi. Namun, perilakunya yang harus ditinjau ulang dengan proses dialog. Karena pada dasarnya, konsekuensi dengan melakukan hal-hal tersebut justru akan merugikan dirinya sendiri, dengan kata lain justru merugikan kepentingan pribadinya.
Belum lagi jika pegawai melakukan hal-hal tersebut dalam rangka melakukan ‘perlawanan’ atas kebijakan pimpinan yang dirasa kurang manusiawi. Juga perlu diingat bahwa budaya paternalistik di birokrasi kita masih kuat, yang pada dasarnya masih sangat rentan dengan praktik dehumanisasi.
ADVERTISEMENT
Dalam UU ASN terbaru sudah mulai tampak perbaikan di beberapa tempat, tetapi hegemoni ‘bekerja demi kepentingan negara’ tampaknya masih terus akan melekat.

Epilog

Negara sebaiknya tidak kehilangan daya kritisnya, dan sudah selayaknya tidak lagi bergerak seperti masa feodal ataupun kolonial. Para aparat sipil negara juga tidak perlu lagi merasa harus mengorbankan kepentingan pribadi yang tidak salah itu.
Yang perlu dilakukan oleh negara adalah memberikan ruang dan fasilitas yang cukup untuk pengembangan potensi PNS-nya, sehingga kepentingan pribadi PNS sebagai manusia biasa akan terpenuhi. Bukan malah banyak melakukan pengekangan di sana-sini dengan dalih kepentingan pribadi yang seolah tidak baik untuk negara. Bukan juga dengan mematikan dialog kepentingan antara pribadi pegawai dengan tujuan negara.
ADVERTISEMENT
Adapun yang perlu dilakukan bagi PNS adalah meningkatkan kemampuan agar kualitas dalam memenuhi kepentingan pribadinya menjadi sama dengan kepentingan negara.