Refleksi Pidato Visi Jokowi: Mau Dibawa ke Mana Birokrasi Kita?

Mutia Rizal
Analis Posbirokrasi | Editor di birokratmenulis.org
Konten dari Pengguna
16 Juli 2019 8:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutia Rizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pidato kemenangan Jokowi-Ma'ruf. (kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pidato kemenangan Jokowi-Ma'ruf. (kumparan)
ADVERTISEMENT
Yang namanya visi, tentu saja tidak menggambarkan cakupan mendetil dan operasional. Namun demikian, pastinya visi menggambarkan apa yang menjadi pokok pikiran, keinginan, dan niatan penting si empunya visi.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan pidato Jokowi sebagai Presiden terpilih periode 2019-2024, telah disampaikan visi atas apa saja yang penting yang akan dilakukan selama masa pemerintahannya nanti.
Saya hanya khusus mengambil visi yang berhubungan dengan birokrasi dan kemudian mencoba mengomentarinya, bunyi pidatonya begini:
“… Yang keempat sangat sangat penting bagi kita untuk mereformasi birokrasi kita. Reformasi struktural agar lembaga kita semakin simpel. Ini juga hati-hati kalau pola pikir, kalau mindset birokrasi tidak berubah saya pastikan akan saya pangkas.
Tolong ini dicatat karena kecepatan melayani, kecepatan memberikan izin menjadi kunci birokrasi kita. Akan saya cek sendiri akan saya kontrol sendiri begitu saya lihat tidak efisien atau tidak efektif, saya pastikan akan saya pangkas dan saya copot pejabatnya.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu untuk menteri-menteri yang berani, kalau ada lembaga-lembaga yang tidak bermanfaat dan bermasalah, sekali lagi kalau ada lembaga-lembaga yang tidak bermanfaat dan bermasalah saya pastikan akan saya bubarkan.
Bapak ibu dan saudara-saudara sekalian yang saya hormati, tidak ada lagi pola pikir lama. Kita juga tak ingin ada lagi pola kerja linear, tidak ada lagi kerja-kerja yang rutinitas, tidak ada lagi kerja di zona yang nyaman. Penyakit kita ada di situ, kita harus berubah. Kita harus berubah, sekali lagi kita harus berubah.
Kita harus membangun nilai baru dalam bekerja. Maka kita harus terus membangun Indonesia yang adaptif, produktif, kompetitif.”
Dari pidato yang dibawakan dengan penuh semangat itu, terlihat ada nada kegusaran dari sebuah kegelisahan mendalam tentang kondisi birokrasi kita. Birokrasi yang sepertinya masih rumit, belum lincah, berjalan lambat, dan kaku. Ada keinginan kuat untuk mengubahnya, baik dari sisi kelembagaan, pola pikir, dan proses bekerjanya.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah mesin, presiden sepertinya ingin mengubah birokrasi layaknya seperti enjin mobil balap, yang ringan tapi memiliki kekuatan besar yang mampu membuat mobil bergerak lincah dan melaju cepat. Lincah dan cepat agar mampu bersaing di sebuah arena balap internasional, dan syukur-syukur bisa memenangkan kompetisi.
Sebuah niatan yang terlihat ideal bagi sebuah mesin masa kini. Namun demikian, bila tak hati-hati, mesin yang diubahnya bisa merusak komponen lain yang juga tak kalah penting bagi kelangsungan hidup mobil itu sendiri. Lalu, jika komponen lain tersebut ternyata rusak, mobil akan kehilangan pesonanya bahkan berpotensi menjadi barang rongsokan.
Kembali pada pidato presiden, sebenarnya apa yang disampaikan sebagai visi tentang birokrasi, khususnya mengenai kinerja birokrat, telah dituangkannya dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang baru terbit, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil.
ADVERTISEMENT
Dalam PP tersebut telah tertuang mengenai bagaimana birokrat harus memenuhi kinerjanya. Bahkan, bagi birokrat yang tak mampu memenuhi standar kinerja, PP itu telah mengatur mengenai pemecatan birokrat. Sebuah ‘terobosan’ baru dalam dunia kinerja birokrasi kita.
PP tersebut juga telah sesuai dengan napas Undang-Undang Aparat Sipil Negara (ASN) yang mengidolakan sistem merit, sebuah sistem yang diyakini mampu menggerakkan birokrasi menjadi lebih profesional dan produktif.
Lalu timbul berbagai pertanyaan mengenai ukuran atau indikator objektif tentang produktivitas, efisiensi, efektivitas, baik terhadap kinerja birokrat maupun instansi pemerintah. Beberapa juga menyangsikan bahwa selama tidak ada formula yang standar dan berlaku umum bagi semua dan dilaksanakan dengan penuh keadilan, maka akan sulit niatan tersebut tercapai.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, bukan masalah apa ukuran dan indikatornya, tapi bagaimana rasionalitas birokrasi tersebut dijalankan. Ukuran dan indikator keberhasilan kinerja birokrat dan instansi pemerintah itu nantinya juga akan sangat bergantung dari rasionalitas apa yang dibawanya.
Jika mencermati lebih dalam pidato presiden, rasionalitas yang dibawa untuk mereformasi birokrasi adalah rasionalitas ekonomi liberal yang masih saja kuat mengikuti gaya birokrasi Weberian.
Rasionalitas itu sepertinya akan dibawakan melalui sebuah sistem kontrol ketat dan tegas tanpa toleransi. Rasionalitas itu memang ciri khas birokrasi modern, yang mengutamakan jargon efisiensi, produktivitas, dan efektivitas. Sebuah rasionalitas birokrasi sektor publik modern yang mengadopsi cara-cara bekerja birokrasi sektor swasta.
Saya hanya membayangkan, para birokrat nantinya akan menjadi pekerja spesialis yang bekerja sesuai deskripsi kerjanya, bekerja cepat dan cekatan, dan diawasi penuh oleh supervisor-nya. Dengan demikian, pelayanan menjadi cepat dan akurat. Kecepatan sebagai ukuran efisiensi, banyaknya pelayanan sebagai ukuran produktivitas, dan ketepatan sebagai ukuran efektivitas, akan mewarnai birokrasi kita ke depan.
ADVERTISEMENT
Persis seperti gaya manajemen yang dicanangkan oleh seorang suhu produktivitas, Frederick W. Taylor, yang kemudian dikenal dengan gaya Taylorisme, sebenarnya di sektor privat pun gaya manajemen organisasi ini telah dianggap usang dan justru tidak produktif.
Kenapa usang dan tidak produktif? Karena gaya Taylorisme telah sampai pada batas-batasnya, alias telah menemui jalan buntu. Gaya Taylorisme telah terbukti di berbagai negara, bahkan di sektor manufaktur, sebagai gaya manajemen yang membosankan sekaligus eksploitatif.
Joko Widodo saat menyampaikan pidato kemenangan di Sentul International Convention Center (SICC), Minggu (14/7). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Saat ini, individu bukan lagi ingin bekerja karena penempatan sepihak oleh manajemen. Mereka tidak lagi cocok bekerja secara monoton, disetir, apalagi diawasi secara ketat. Mereka juga telah menyadari akan keringnya bekerja akibat keterasingan terhadap hasil karyanya sendiri, yang seolah ia bekerja bukan untuk dirinya, tapi untuk karier pimpinan dan nama baik institusinya. Apalagi jika kemudian birokrasi dijadikan sebagai alat untuk memenuhi ambisi politik para politisi.
ADVERTISEMENT
Mereka lebih menginginkan ruang gerak yang lebih luas dalam bekerja. Mereka ingin pengakuan atas otonominya dan pengakuan akan hasil karyanya. Mereka juga tidak memerlukan ancaman hanya agar bekerja sesuai kemauan pimpinan.
Mereka sebagai jaringan komunitas menginginkan kekuatan sosial yang mampu menggerakkan birokrasi sesuai amanah sebagai penjaga pelayanan masyarakat, apapun pelayanannya. Selain itu, kekuatan sosial tersebut justru sebenarnya mampu mengingatkan pimpinannya yang lalai akan kewajibannya.
Dehumanisasi, diskriminasi, dan kriminalisasi adalah tiga hal yang menghantui birokrasi jika dijalankan dengan rasionalitas ekonomi liberal. Tiga komponen tersebut adalah buah dari jargon efisiensi, produktivitas, dan efektivitas yang tidak dilakukan dengan hati-hati. Tiga komponen inilah yang dapat melukai birokrasi dan merusaknya hingga berpotensi menjadi mesin rongsokan.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya birokrasi kita dibawa melalui rasionalitas yang lebih progresif, bukan lagi mengutamakan jargon efisiensi, produktivitas, dan efektivitas, tapi melalui rasionalitas jaringan sosial yang mengutamakan birokrasi bermartabat, humanis, dan bernilai bagi masyarakat.
---
Hingga, jika saya diberi kesempatan sebagai penulis naskah pidato dalam penyampaian visi presiden tentang birokrasi tempo hari, saya akan mengusulkan pidato yang kira-kira berbunyi:
“…Yang keempat sangat sangat penting bagi kita untuk mereformasi birokrasi kita. Reformasi struktural yang begitu kaku dan hirarkis akan diubah menjadi semakin simpel dan fleksibel. Mindset birokrasi melayani harus terus digaungkan, saya harus mampu menjamin bahwa birokrasi bekerja untuk masyarakat, bukan sekedar alat untuk memenuhi ambisi dan kepentingan politisi.
ADVERTISEMENT
Tolong ini dicatat, kecepatan melayani bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan selama kita mampu bekerja dengan penuh kebahagiaan. Pemberian izin bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan pelayanan birokrasi, tetapi kemampuan penolakan izin bagi investor nakal justru adalah kemampuan yang perlu diasah dengan penuh keberanian dan niat baik.
Saya tidak perlu melakukan cek dan kontrol dengan ketat, karena saya percaya birokrat kita mampu bekerja dengan tangkas dan penuh dedikasi.
Oleh sebab itu saya memerlukan menteri-menteri yang berani, berani berinovasi, berani menolak oligarki politisi-pebisnis, dan lebih mementingkan nilai pelayanan bagi masyarakat. Kalau ada lembaga-lembaga yang tidak bermanfaat dan bermasalah, silakan masyarakat tidak perlu ragu ataupun malu untuk melaporkannya kepada saya.
Bapak ibu dan saudara-saudara sekalian yang saya hormati, tidak ada lagi pola pikir lama. Kita juga tak ingin ada lagi pola kerja linear, tidak ada lagi kerja-kerja yang monoton dan serba rutinitas. Akan saya pastikan bahwa semua bekerja dengan nyaman di zonanya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Penyakit kita ada di situ, zona nyaman seolah tidak baik, padahal kenyamanan diperlukan untuk melayani kepentingan publik sekaligus menggapai tantangan baru yang juga tak kalah nyaman.
Kita harus berubah, sekali lagi kita harus berubah. Kita harus membangun nilai baru dalam bekerja. Maka kita harus terus membangun birokrasi Indonesia yang lebih bermartabat, humanis, dan punya nilai lebih bagi masyarakat.”
Sekian.