Sistem Zonasi Sekolah: Melawan Stigma dengan Cara Meneguhkannya

Mutia Rizal
Analis Posbirokrasi | Editor di birokratmenulis.org
Konten dari Pengguna
17 Juni 2019 10:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutia Rizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto ilustrasi: anak sekolah/ sumber: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto ilustrasi: anak sekolah/ sumber: pixabay.com
ADVERTISEMENT
“Akhirnya dia menangis, sore kemarin”, cerita salah satu sahabat saya tentang putrinya yang gagal masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) idaman karena batasan kebijakan zonasi sekolah. “Kenapa kita dulu tidak tinggal di rumah yang dekat dengan sekolah itu saja?” begitu keluh si anak dalam tangisannya.
ADVERTISEMENT
Di lain waktu saya juga mendengar seorang kawan yang menceritakan adanya Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang sampai membuat kebijakan bahwa sebagian anak didiknya diperbolehkan lulus dalam waktu 4 tahun. Kebijakan itu diambil karena beberapa siswa dianggap tidak mampu mengikuti proses belajar yang diterapkan di sekolah tersebut.
Dapat ditebak, kedua sekolah yang saya ceritakan di atas adalah sekolah idaman atau biasa disebut favorit oleh masyarakat, semua anak, berikut orang tuanya. Dalam hal ini adalah sekolah negeri tentunya.
Hari berikutnya, saya membaca berita tentang bagaimana galaunya Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, tentang kebijakan zonasi sekolah ini. Ia mengaku banyak menerima keluhan dari orang tua calon siswa. Mereka mengatakan bahwa anaknya kecewa karena telah berusaha belajar ‘mati-matian’ tapi tidak bisa masuk sekolah favorit, karena kebijakan zonasi. Bahkan, ia sempat menelepon sang Menteri Pendidikan untuk menceritakan kegalauannya itu.
ADVERTISEMENT
Saya yakin, Anda pun banyak mendengar berbagai rentetan cerita lainnya yang mirip dengan kisah di atas. Lalu, bagaimana sebenarnya kebijakan ini? Muliakah tujuan kebijakan ini? Mampukah tujuannya tercapai?
Beberapa dari masyarakat mengatakan bahwa kebijakan zonasi adalah kebijakan yang baik, tapi terburu-buru diimplementasikan. Kebijakan ini adalah kebijakan yang bertujuan mulia, tapi dilakukan dengan cara serabutan dan ‘ngawur’.
Sebagian lagi mengatakan bahwa kebijakan ini memang bagus segera diterapkan. Adapun jika masih ada keluhan di sana-sini, menandakan bahwa masyarakat belum siap saja. Adalah hal biasa jika ada masyarakat yang belum siap berubah.
Pertanyaan yang tak kalah ‘tricky’ adalah, “Mengapa masih ada sebutan dan anggapan sekolah favorit jika sistem zonasi sudah diberlakukan?”
ADVERTISEMENT
Sepertinya, jawaban dari pertanyaan itu tidak hanya satu macam.

Mencoba Melawan Stigma

Saya menduga, jawaban pertama dari pertanyaan di atas adalah, “Kebijakan zonasi memang dimaksudkan untuk menghilangkan stigma masyarakat tentang adanya anggapan sekolah tertentu sebagai sekolah favorit. Diharapkan, justru melalui sistem inilah, lama kelamaan masyarakat akan menganggap semua sekolah adalah favorit.”
Jawaban tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa kebijakan sistem zonasi bermaksud untuk membuat akses pendidikan anak menjadi merata. Sistem zonasi akan menghilangkan stigma sekaligus diskriminasi dalam pendidikan. Kebijakan tersebut akan membuat anak lebih nyaman belajar, karena mendekatkan sekolah dengan keluarga. Semua anak pun dianggap memiliki kemampuan yang merata dan setara.
ADVERTISEMENT
Begitulah, kebijakan ini memang cukup progresif. Kebijakan ini terlihat berani melawan stigma masyarakat yang selalu menganggap pandai-bodoh dan sukses-tidaknya anak, dengan melihat di mana dia bersekolah. Identitas anak ditentukan oleh nama sekolahnya. Bahkan, saat anak telah menjadi dewasa, masyarakat masih sering menanyakan di mana dia dulu bersekolah. Masyarakat masih memandang bermutu atau tidaknya seseorang dilihat dari alumni sekolah mana.
Kebijakan ini juga terlihat humanis, tatkala mencoba menganggap semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk bersekolah di manapun. Dengan demikian, sistem pendidikan dan cara belajar pun diharapkan akan mampu berjalan lebih universal.

Meneguhkan Stigma

Di sisi lain, atau jawaban ke-dua dari pertanyaan di atas adalah, “Sistem zonasi sekolah memang masih mengakui adanya sekolah yang ‘berbeda’ dengan sekolah lain. Jadi alih-alih semua sekolah adalah favorit, yang ada justru menegaskan bahwa beberapa sekolah ‘berbeda’ dengan sekolah yang lain, alias mutu pendidikan belum merata. Pembedaan ini justru ditunjukkan melalui beberapa ketentuan dalam sistem ini ”.
ADVERTISEMENT
Ketentuan pertama yang menegaskan pembedaan sekolah adalah adanya persentase penerimaan siswa dengan jalur prestasi. Persentase ini, walaupun kecil, ternyata telah menggiring calon siswa dan orang tua untuk berlomba-lomba mengumpulkan berbagai penghargaan capaian anak, untuk kemudian digunakan mendaftar ke sekolah. Sekolah mana, tentu saja adalah sekolah yang dianggap baik, bermutu, atau favorit. Semakin kecil persentasenya, justru akan membuat masyarakat menilai tinggi gengsinya.
Ketentuan kedua adalah persentase bagi keluarga miskin (gakin). Dibukanya persentase ini, yang bermaksud memberi kesempatan bagi masyarakat yang digolongkan miskin untuk ikut mengenyam kualitas proses belajar di sekolah ‘bermutu’, membuat masyarakat berlomba-lomba menjadi ‘miskin’.
Hal itu telah terbukti di tahun lalu (2018) dengan adanya banyak rekayasa orang tua calon siswa yang mengaku miskin, dan menimbulkan banyak permasalahan. Maksud ‘membuka kesempatan demi pemerataan’ inilah yang justru menegaskan bahwa sekolah-sekolah memang tidak sama dalam hal kualitas.
ADVERTISEMENT
Ketentuan ke-tiga adalah penyaringan nilai calon siswa dalam pendaftaran. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah mengatakan, bahwa hasil nilai ujian nasional tidak digunakan untuk membuat ranking di sekolah saat pendaftaran calon siswa, tetapi hanya digunakan sebagai seleksi penempatan. Pernyataan Menteri tersebut menyiratkan bahwa nilai akademik siswa bukanlah pertimbangan utama sekolah dalam menentukan diterimanya siswa.
Namun demikian, pada akhirnya seleksi penempatan yang sesungguhnya digunakan untuk pembatasan kuota, tetap saja otomatis dijalankan untuk menyaring siswa mana yang akan diterima oleh sekolah berdasarkan nilai. Saat calon siswa yang masuk dalam zonanya telah melakukan pendaftaran dan ternyata jumlah pendaftar melebihi kuota sekolah tersebut, maka sekolah akan menyaring berdasarkan nilai akademik calon siswa.
Penyaringan berdasar tinggi-rendahnya nilai ini menunjukkan, bahwa kualitas input sekolah masih ditentukan dengan angka nilai akademik siswa. Dan dapat dilihat, sekolah yang masih dianggap favorit masih memperoleh siswa dengan rata-rata nilai tinggi. Dengan demikian, anggapan masyarakat bahwa sekolah favorit berisi siswa-siswa bernilai tinggi masih terus akan berlangsung.
ADVERTISEMENT

Mencermati Penanda

Dari uraian di atas, terlihat bahwa kebijakan sistem zonasi ini adalah kebijakan radikal yang bertujuan mulia, tapi dilakukan dengan cara yang cukup serampangan. Bukan masalah cepat atau lamanya pengambilan keputusan kebijakan, bukan pula masalah terealisasi atau tidaknya sebuah kebijakan, melainkan ini permasalahan ketelitian dalam mencari akar permasalahan.
Kebijakan ini masih kurang teliti mengenali beberapa penanda (signifier) tumbuhnya stigmatisasi sekolah favorit. Kebijakan yang ingin mengubah stigma pada akhirnya justru meneguhkan stigma. Dan saat hal itu terjadi, permasalahan menjadi lebih kompleks dan penuh spekulasi.
Penanda munculnya sekolah favorit semestinya dikenali terlebih dahulu, sehingga tujuan untuk pemerataan kualitas pendidikan menjadi lebih terarah dan ‘smooth’. Menurut saya terdapat beberapa penanda yang mengemuka, yang membuat stigma masyarakat tentang adanya sekolah favorit, yang perlu dicermati dan diatasi terlebih dahulu sebelum menerapkan kebijakan zonasi. Sekali lagi, sebelum menerapkan kebijakan zonasi, bukan dengan cara paralel dengan penerapan kebijakan zonasi.
ADVERTISEMENT
Penanda yang pertama adalah fasilitas dan cara pengajaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa alasan menjadi sekolah favorit adalah tersedianya fasilitas lengkap dan tepat guna. Begitu juga dengan cara pengajaran. Sekolah dimaknai berkualitas ketika dia mampu memeragakan berbagai macam cara proses pengajaran yang efektif untuk memaksimalkan kemampuan siswa.
Penanda ke-dua adalah mengenai kualitas kelulusan. Sampai saat ini, sekolah yang dianggap favorit adalah sekolah yang sebagian besar siswanya lulus dengan nilai tinggi ataupun diterima di sekolah lanjutan yang bermutu atau favorit pula.
Penanda ke-tiga adalah berupa nilai hasil Ujian Nasional sebagai prestasi akademik. Dengan dijadikannya angka berupa hasil nilai prestasi akademik siswa sebagai input sekaligus output bagi sekolah, telah menandakan perbedaan mana sekolah favorit, mana yang bukan.
ADVERTISEMENT
Ketiga penanda tersebut saling terkait satu sama lain, bukan berdiri sendiri. Fasilitas yang lengkap dan cara pengajaran yang efektif akan menghasilkan lulusan yang bermutu. Adapun lulus bermutu adalah lulus dengan nilai ujian nasional yang tinggi.
Ketiganya membentuk sebuah simbol ‘bermutu atau tidaknya’ sebuah sekolah. Jika ketiganya tidak diurai dan diubah secara serius, maka stigma masyarakat tentang sekolah favorit akan selalu hadir. Dengan demikian, kualitas pendidikan merata tak kunjung terpenuhi.

Lalu Bagaimana?

Saya pun memahami bahwa pemerintah sampai saat ini telah berusaha untuk mengurangi kesenjangan fasilitas, tenaga pendidikan, dan cara pembelajaran di berbagai sekolah. Upaya itu tentunya tidak dapat berhasil dalam waktu singkat. Mungkin perlu satu periode jabatan Presiden atau lebih, untuk membenahinya. Upaya yang memakan waktu inilah yang seharusnya diupayakan dan menjadi prioritas kebijakan.
ADVERTISEMENT
Perputaran (rotasi) tenaga pendidik yang dapat memberikan efek knowledge sharing kepada tenaga pendidik di sekolah lainnya perlu terus dilakukan. Tantangan cara pembelajaran kreatif yang mampu memaksimalkan potensi siswa, dengan anggapan setiap anak memiliki pribadi dan potensi unik, sebaiknya terus dilanjutkan. Ditambah, perlunya mencari indikator lain dalam menentukan kualitas anak bukanlah angka nilai hasil Ujian Nasional, juga seharusnya terus diupayakan.
Sampai kapan? Sampai para siswa nyaman belajar tanpa dihinggapi tekanan untuk mengejar nilai, sampai anak merasa potensinya tergali dengan baik, dan sampai anak merasa percaya diri dengan dirinya, serta sampai para orang tua tidak lagi membicarakan sekolah favorit mana yang akan dituju anaknya demi kebanggan pada saudara dan teman-temannya.
Perlunya waktu yang cukup panjang seharusnya tak jadi soal. Sebab stigma tentang sekolah favorit yang membuat kualitas pendidikan tidak merata, juga tidak muncul dengan tiba-tiba.
ADVERTISEMENT
Jika memang para pengambil keputusan, pencipta, dan pelaksana kebijakan tidak sanggup, ya biarkanlah masing-masing sekolah berkompetisi untuk menjadi sekolah terbaik atau paling favorit, mengikuti logika pasar neoliberal, seperti selama ini yang terjadi. Juga biarkanlah anak dan orang tua tetap merasa dirinya berkualitas karena angka, mengikuti logika positivisme. Jangan bingungkan masyarakat dengan kebijakan sistem zonasi yang humanis, tetapi dilakukan dengan cara positivis dan neoliberal. Ingat, ‘buat anak kok coba-coba!’