Sudah Siap Kalah Pemilu di Dunia Simulacra?

Mutia Rizal
Analis Posbirokrasi | Editor di birokratmenulis.org
Konten dari Pengguna
15 April 2019 9:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutia Rizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: M. rizal / Dok. pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: M. rizal / Dok. pribadi
ADVERTISEMENT
Masa tenang dalam pemilu seharusnya adalah masa di mana kehidupan kita tenang dari hiruk pikuk kampanye para kandidat peserta pemilu. Namun, masa itu sebenarnya menyimpan ketegangan tersendiri. Tegang karena menanti-nanti siapakah yang akan keluar sebagai pemenang. Tulisan ini khusus menyoroti kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden yang selalu menarik dibahas bagaikan duel el-classico di liga Spanyol.
ADVERTISEMENT
Ketegangan dalam ketenangan itu masih tampak berseliweran di berbagai media sosial kita hari-hari ini. Masing-masing kubu masih merasa perlu membahas berbagai kegiatan kampanye dan debat terakhir. Mereka masih saja merasa capres-cawapresnya lah yang paling berhak dan layak menjadi pemenang. Pertanyaannya, siapkah mereka menerima kekalahan dalam pemilu?
Sebelum menjawab hal itu, kembali perlu saya mengulas bagaimana keseharian sosial kita memandang realitas dunia, terutama terkait dengan dunia politik.
Produksi Simulasi
Mengikuti pemikiran Jean Baudrillard, seorang sosiolog post-modern Perancis, dunia kita saat ini penuh dengan simulasi yang membuat kita masuk pada ruang simulacra dan menjadikan dunia kita menjadi dunia yang hiperrealitas. Semua itu terjadi karena andil besar teknologi informasi, yang saat ini kita telah sangat tergantung padanya.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia modern, budaya kita didominasi oleh logika kapitalisme. Begitu juga dalam percaturan politik dalam rangka meraup suara, akhirnya juga mengikuti logika itu. Masyarakat sebagai pemilik suara dianggapnya sebagai pembeli dari berbagai macam produk politik yang diproduseri oleh para politisi. Dalam rangka menjual produknya itulah terjadi berbagai macam bentuk simulasi.
Mari kita tengok kembali dinamika kontestasi kedua capres kita, yakni Jokowi dan Prabowo. Keduanya, sebagai barang jualan, tentu saja memiliki identitas masing-masing. Jokowi diidentikkan dengan seorang yang berasal dari rakyat biasa, sederhana, dan senang bekerja. Sedangkan Probowo identik dengan seorang yang berasal dari militer yang memiliki sikap tegas dan wibawa.
Kedua identitas tersebut tentu saja mengalami berbagai polesan pencitraan yang bukan tidak disengaja. Dalam dunia politik, pencitraan menjadi hal yang biasa dan keharusan, karena akan berhadapan dengan para pembeli, yakni kita, para pemilik suara. Identitas polesan inilah yang oleh Jean Baudrillard disebut sebagai simulasi.
ADVERTISEMENT
Tidak cukup dengan itu, karena masing-masing ingin ‘dagangannya’ lebih laku, maka dibentuklah identitas lain dari kedua kontestan itu yang sifatnya menjelekkan satu sama lain. Identitas itu dikonstruksi oleh kontestan lain sebagai lawannya.
Muncullah berbagai simulasi bahwa Jokowi identik dengan seorang PKI, tidak taat beragama, dan juga boneka partai. Begitu juga dengan Prabowo yang kita dengar sebagai penjahat hak asasi manusia (HAM), otoriter, dan juga diidentikkan seorang yang tidak bisa mengurus keluarga.
Itulah berbagai macam bentuk simulasi. Yang namanya simulasi, tentu saja belum tentu menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya. Namun demikian, karena simulasi tersebut terus diproduksi dan direproduksi, yang secara gencar selalu merangsek alam pikiran masyarakat melalui berbagai narasi di media yang didukung oleh teknologi, maka masyarakat menyerap dan menerimanya sebagai suatu hal yang benar dan nyata.
Foto ilustrasi: pengaruh teknologiinformasi ? sumber: pixabay.com
Menghuni’ Simulacra
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, di saat masyarakat telah mampu menyerap berbagai simulasi itu, maka masyarakat akan mendiami sebuah dunia, atau katakanlah ruang, yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai simulacra. Yakni sebuah sebuah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Sebuah ruang yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode.Ruang itu berisi realitas baru yang tidak lagi peduli mana yang nyata dan mana yang tidak nyata.
Pada akhirnya, masyarakat yang mendiami simulacra tersebut secara tidak disadari telah menciptakan identitas dirinya. Identitas tersebut membawa nilai-nilai dan sistem sosial tertentu yang dipengaruhi oleh berbagai macam tanda dan kode yang dihasilkan dari proses simulasi tadi.
Contohnya, di satu kubu mengidentifikasikan dirinya sebagai pembela umat Islam, dan satu kubu lainnya mengidentifikasikan dirinya sebagai pembela kebhinekaan. Parahnya, simulasi yang dilakukan oleh dua kontestan, pada akhirnya membentuk dua simulacra yang berseberangan dan tidak mau bersinggungan.
ADVERTISEMENT
Untuk memperkokoh simulasi dan simulacra, maka diperlukan moderasi tanda, nilai, dan sistem sosial melalui para tokoh masyarakat sebagai endorsement. Katakanlah Habib Rizieq Shihab, Ustadz Abdul Somad, Ustadz Yusuf Mansur, Tuan Guru Bajang, Rizal Ramli, Sri Mulyani, dan masih banyak lagi. Para tokoh tersebut meneguhkan nilai-nilai yang dianut dalam sistem sosial masing-masing simulacra tadi, yang pada akhirnya terciptalah realitas baru.
Hiperrealitas yang Mengerikan
Nah, dalam simulacra, batas antara simulasi dan kenyataan menjadi semakin tidak jelas (blur). Kondisi seperti itulah yang disebut oleh Jean Baudrillard sebagai hiperrealitas, yakni dunia yang mencipta realitas seolah lebih nyata dari kenyataan, dan cenderung meledak-ledak. Secara radikal, realitas sudah tidak ada lagi, yang ada adalah hiper-realitas, masa lalu berbaur dengan masa kini, fakta bersilang-sengketa dengan rekayasa, dan dusta berhimpitan dengan kebenaran.
ADVERTISEMENT
Hiperrealitas membawa kita pada berbagai macam ekstasi (kesenangan) dunia mengikuti nilai dan sistem sosial yang telah dibentuk. Dalam hiperrealitasnya dunia, kita pun seringkali kesulitan menemukan makna yang akan dijadikan sebagai acuan atas adanya informasi.
Sebagai contoh, saat tersedia informasi adanya tenaga kerja asing dari Tiongkok di sebuah wilayah, maka kita menjadi kebingungan mencari makna yang akan kita acu. Apakah kita akan mengacu pada pemaknaan isu pemerataan tenaga kerja, ataukah pemaknaan tentang prosedur investasi asing, ataukah pemaknaan tentang serbuan negara komunis di Indonesia?
Begitu pula, saat terdapat informasi adanya sekelompok masa berkumpul dengan mengatasnamakan agama Islam, maka berbagai pemaknaan bermunculan. Mulai dari makna silaturahmi biasa, sampai pada pemaknaan akan bangkitnya Islam radikal.
ADVERTISEMENT
Yang akhirnya terjadi, pada kedua contoh tadi, adalah pemaknaan sewenang-wenang mengikuti sistem sosial yang telah terbentuk di simulacra tadi. Itulah mengapa, banyak masyarakat tidak mau mengakui kelemahan paslon yang didukungnya secara terbuka, yang ada hanyalah membolak-balikkan makna agar nilai-nilai dan sistem sosialnya tetap terjaga.
Bukan Kekalahan
Dalam kondisi itulah, saya menjadi khawatir terhadap kesiapan masyarakat akan kekalahan dalam pemilihan suara. Khawatir bahwa dalam hiperrealitas ini, di mana sebuah realitas yang tercipta telah menjadi lebih nyata dari kenyataan, maka kekalahan tidak diyakini sebagai kekalahan.
Karena, bagi mereka, sebelum pemilihan suara berlangsung pun masing-masing pihak telah berada dalam simulacra yang mensimulasikan kemenangan. Kemenangan itu serasa telah direguk meski belum menjadi kenyataan. Adapun kenyataan hasil pemilihan suara hanyalah sebuah tanda bahwa kemenangannya terligitimasi.
ADVERTISEMENT
Kenyataan kalah dalam pemilihan suara bisa jadi akan dianggap sebagai kekalahan semu. Pihak yang secara kenyataan kalah justru dapat membaliknya sebagai kemenangan hakiki. Alih-alih menerima kenyataan kalah, yang ada justru ingin menunjukkan kembali bahwa yang menang itu seharusnya kalah, dan yang kalah adalah pemenang sesungguhnya.
Akhirnya, kehidupan kita 5 tahun ke depan sepertinya masih akan sangat terganggu oleh berbagai macam simulasi politik di dunia simulacra yang hiperrealitas.
Siap-siap saja!