Budaya Membaca dan Manfaatnya: Konteks Pegawai dan Organisasi

Mutri Batul Aini
Mutri Batul Aini, Pustakawan Muda ASN di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ia menempuh Pendidikan S1 Ilmu Perpustakaan dan Informasi UI, S2 Kepemimpinan Teknologi Informasi (CIO) ITB
Konten dari Pengguna
6 Desember 2020 6:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutri Batul Aini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Budaya Baca Pegawai (sumber: strategy-business.com)
Suka atau tidak, ternyata Negeri kita Indonesia, menduduki posisi bawah pada Peringkat Budaya Membaca di 79 Negara berdasarkan survey Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2018. Kedudukan ini tentu bukan hal yang membanggakan, mengingat Indonesia adalah termasuk negara berkembang terutama di antara negara-negara se-Asia Timur. Ini artinya Indonesia memang belum terlalu maju, namun tidak teramat tertinggal dibanding yang lain. Kenyataannya, kemajuan teknologi dan tingginya arus informasi dan budaya luar yang masuk ke Indonesia menjadi salah satu penyebab rendahnya budaya membaca orang Indonesia. Masyarakat kita lebih betah nonton televisi seharian dibanding membaca, lebih senang shopping saat liburan dibanding ke toko buku, dan lebih menikmati obrolan berjam-jam ketimbang membaca koran dan mengupdate berita hari ini.
ADVERTISEMENT
Lesunya minat baca seseorang tentu didasari oleh sesuatu, misalnya kurangnya motivasi membaca dan minimnya pengetahuan tentang nilai (value) di balik aktivitas membaca itu sendiri. Padahal membaca adalah salah satu cara paling mudah untuk belajar secara mandiri. Selain itu, dengan membaca tentu akan bertambah informasi dan pengetahuan kita. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan, kita akan semakin luas memandang dunia, makin mudah beradaptasi, dan makin cepat mengejar prestasi.
Membaca dan Tugas Kerja (Work Tasks)
Sebagai seorang pegawai, rasanya sangat penting bagi kita untuk menjadi bagian kalangan minoritas yang hobi membaca. Karena membaca bukan hanya membawa manfaat pribadi bagi diri sendiri, melainkan juga bagi organisasi.
Dalam kehidupan organisasi di tempat kerja, budaya membaca akan membawa banyak dampak positif. Salah satunya, seperti diungkapkan oleh Katriina Bystrom dan kawan-kawan melalui penelitiannya yang bertopik Information Activities in Work Tasks (IAWT), bahwa pegawai yang rajin membaca akan menemui satu dari beberapa solusi dalam menyelesaikan tugas-tugas (tasks) pekerjaannya. Bahkan teori IAWT mengaitkan antara tingkat kerumitan suatu pekerjaan (task complexity), dengan jenis informasi yang akan digunakan untuk menyelesaikan tugas.
ADVERTISEMENT
Putu Laxman Pendit dalam artikelnya (2009) meringkas kemungkinan tersebut dalam lima kondisi. Pertama, jika seseorang merasa tak memerlukan informasi sewaktu bekerja, maka sebuah tugas dimaknai secara pasif berdasarkan dokumentasi yang ada. Tugas seperti ini biasanya adalah tugas-tugas rutin. Kedua, sumber-sumber informasi tentang pekerjaan seringkali adalah orang-orang yang terlibat dalam suatu tugas, selain dokumen-dokumen di kantor.
Ketiga, sebuah aktivitas (event) maupun sebuah kunjungan kerja juga dapat menjadi sumber informasi. Keempat, informasi tentang domain kerja biasanya diperoleh dari literatur, dari pertemuan dengan pakar, dan dari pertemuan atau rapat. Kelima, pakar dan pertemuan atau rapat seringkali merupakan sumber informasi yang paling sering digunakan untuk menyelesaikan tugas.
Ketika untuk sebuah tugas tertentu seseorang merasa memerlukan banyak jenis informasi, maka terjadi 3 kemungkinan, yaitu pertama ia menggunakan banyak sumber, tetapi mengurangi variasi jenis informasi. Kedua, ia akan lebih banyak menggunakan rekan kerja sebagai sumber. Ketiga, ia akan lebih sering mencari dokumen eksternal.
ADVERTISEMENT
Sementara itu kalau seseorang berpendapat bahwa tugas yang harus dikerjakannya semakin kompleks alias rumit, maka terjadi 3 kemungkinan yaitu: Cenderung ingin menggunakan jenis informasi yang beragam; Semakin ragu menetapkan apa sebenarnya yang ia inginkan; Atau para pakar di kantor akan menjadi pihak yang semakin dihandalkan.
Dari tiga kemungkinan tersebut, dapat kita lihat bahwa dalam setiap level kerumitan tugas, senantiasa ada unsur kebutuhan terhadap sumber sumber literatur. Itu artinya, setiap memecahkan masalah dalam konteks tugas pekerjaan, selalu butuh membaca. Tentu dengan mengoptimalkan sumber-sumber literatur yang ada dan memadukannya dengan sumber informasi lainnya, sebuah penyelesaian masalah akan makin baik. Makin baiknya kinerja seorang pegawai akan sangat berpengaruh pada performance suatu organisasi tempat bekerja.
ADVERTISEMENT
Membaca dan Inovasi Organisasi
Dalam skala yang lebih besar, ternyata kebiasaan membaca dan menyelesaikan tugas kerja dengan memanfaatkan literatur akan membawa dampak positif bagi perkembangan sebuah organisasi. Makin baik kualitas kinerja seorang pegawai, makin baik pula performance sebuah organisasi. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah analogi yang bagus untuk kita ingat. Analogi ini ditulis berdasarkan riset beberapa peneliti di Belanda.
Riset yang dilakukan oleh Ellen de Rooij dari Stratix Group di Amsterdam menyimpulkan bahwa sebagian besar perusahaan-perusahaan di Eropa berumur pendek. tanpa mengukur besar/ kecilnya perusahaan, diperkirakan bahwa masa hidup perusahaan-perusahaan di sana berkisar 12,5 tahun. bahkan pada beberapa negara, 40% dari semua perusahaan yang baru didirikan berumur dibawah 10 tahun (De Geus dalam Jann Hidajat, 2006). Jika kita lihat fenomena ini, tentu timbul pernyataan bahwa ternyata lebih banyak perusahaan yang berumur pendek ketimbang yang berumur panjang di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut bisa dikatakan benar, karena ada perusahaan yang bisa bertahan hingga 800 tahunan, seperti Stora (Swedia). Ada pula perusahaan Jepang Sumitomo yang telah berusia 400 tahun. Lalu mengapa bisa demikian banyak perusahaan pendek umur? Menurut De Geus, perusahaan yang berumur panjang adalah perusahaan yang mampu terus belajar dan mengadakan perubahan sesuai dengan tuntutan zaman. Ketika sebuah perusahaan konsisten untuk belajar, maka ia akan menjadi perusahaan yang terus hidup (The Living Company). Sebaliknya, jika perusahaan berhenti belajar, maka ia akan mati tertinggal zaman yang terus bergulir maju.
Proses belajar pada organisasi ini tentu sangat dipengaruhi oleh Sumber Daya Manusia di dalamanya. Jika SDM di dalamnya adalah kumpulan individu yang mampu menyetir dirinya untuk senantiasa belajar, tentu kualitas per orangannya dapat dijamin. Namun jika sebaliknya, SDM yang ada adalah orang-orang yang nyaman dengan kondisi mayoritas orang indonesia, khususnya yang berminat baca rendah, dan berkeinginan belajar minim, maka sulit untuk menyatakan bahwa sebuah organisasi benar-benar hidup (living company).
ADVERTISEMENT
Masih menurut De Geus, ada 2 tipe perusahaan. Yang pertama adalah Economic Company, yang kedua adalagh the River Company. Economic company adalah perusahaan yang orientasinya hanya uang dan uang, sehingga ia hanya fokus pada pengoptimalan pencapaian laba pada kurun waktu terbatas. Perusahaan tipe ini tidak terlalu memikirkan hal-hal yang visioner, karena apa yang mereka kerjakan adalah apa yang ada di depan mata mereka saja. Jika diibaratkan, Economic Company ini adalah seperti air di lubang kecil, jika datang gerimis atau hujan lebat, maka air di dalamnya akan “luber” sia-sia sedangkan volume di dalam lubang pun tak bertambah, justru berkurang.
Tipe kedua adalah the River Company. Tipe ini lebih baik dari tipe 1 tadi. pada tipe ini, perusahaan meniru falsafah sungai yang akan terus mengalirkan air bagaimanapun musimnya. lama untuk membuatnya jatuh karena tidak boros dan bisa menyesuaikan diri.
ADVERTISEMENT
Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan yaitu pentingnya kebiasaan membaca. Kebiasaan membaca tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi, tetapi juga membawa dampak positif yang luar biasa untuk organisasi tempat kita bekerja. Jika kita terbiasa membaca, maka pemahaman dan wawasan kita tentang sesuatu akan makin luas. Keluasan wawasan itu akan membawa dampak pada bagaimana kita menyelesaikan masalah. Dan cara kita menyelesaikan masalah, tentu akan berakibat pada kinerja pribadi, kinerja kelompok, hingga kinerja organisasi.
Kita sebagai pegawai yang lahir dari sistem reformasi birokrasi, harusnya mulai bangkit dan meninggalkan budaya organisasi lama yang cenderung nyaman namun kurang produktif. Tentunya kita ingin organisasi tempat kita bekerja diibaratkan seperti The River Company. Sudah saatnya pegawai baru keluar dari zona nyaman dan menciptakan zona nyaman baru yang lebih produktif dan inovatif.
ADVERTISEMENT