Konten dari Pengguna

Kriteria Penerbitan Buku di Instansi Pemerintah: Implikasi Pembatasan ISBN

Mutri Batul Aini
Mutri Batul Aini, Pustakawan Muda ASN di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ia menempuh Pendidikan S1 Ilmu Perpustakaan dan Informasi UI, S2 Kepemimpinan Teknologi Informasi (CIO) ITB
16 September 2022 18:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutri Batul Aini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Instansi Pemerintah sebagai lembaga eksekutif menjadi ujung tombak program-program pemerintah. Instansi pemerintah mengemban tugas mewujudkan amanah rakyat yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, Instansi Pemerintah memiliki keluaran (output) program baik berupa fisik, maupun non fisik. Kementerian PUPR sebagai kementerian teknis misalnya, menghasilkan Output fisik berupa bangunan infrastruktur seperti jembatan, jalan, perumahan, bendungan, irigasi, instalasi pengelolaan sampah dan limbah, dan sebagainya. Sedangkan output non fisik PUPR berupa dokumen-dokumen hasil penyelenggaraan kegiatan, bisa dokumen perencanaan, produk hukum, laporan kegiatan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sebagai badan publik, Instansi Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk transparan dalam tata kelolanya. Laporan keuangan, proses lelang, hingga produk yang dihasilkan dari suatu kegiatan dituntut terbuka diakses oleh publik. Hal tersebut diatur di dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 tahun 2008. Dalam undang-undang tersebut, disebutkan di pasal 7 bahwa badan publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
Buku Koleksi Perpustakaan di Instansi Pemerintah
zoom-in-whitePerbesar
Buku Koleksi Perpustakaan di Instansi Pemerintah
Penerbitan Buku sebagai Bentuk Transparansi Publik
Badan Publik beradaptasi memenuhi tuntutan keterbukaan yang diamanahkan di UU KIP. Layanan informasi publik dibentuk dan dijembatani melalui sistem informasi ataupun situs resmi pemerintahan. Kini masyarakat pun ramai mengakses website pemerintah guna mendapatkan berbagai informasi yang mereka butuhkan. Kinerja badan publik bidang ini pun dimonitor, dievaluasi, dan dinilai oleh beberapa lembaga lainnya seperti Kementerian PAN/RB, Komisi Informasi Pusat, hingga Ombudsman.
ADVERTISEMENT
Selain dalam format elektronik digital, informasi publik juga dapat berupa produk fisik seperti leaflet, majalah, buletin, dan buku. Penerbitan buku di instansi pemerintah menjadi salah satu pilihan menarik karena lebih sistematis susunannya dan menarik tampilannya. Secara substansi, buku juga berisi materi terpilih yang lebih mudah dipahami daripada laporan kegiatan yang cenderung terlalu tebal dan rinci.
Namun demikian, Instansi pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal terkait penerbitan buku, terutama jika suatu buku ingin didaftarkan ke nomor International Standard Book Number (ISBN). Hal ini menjadi penting karena saat ini pengajuan untuk mendapatkan nomor ISBN melalui Perpustakaan Nasional RI sedang sangat dibatasi.
Kebijakan Pengetatan ISBN
Pembatasan penerbitan ISBN adalah imbas dari evaluasi Lembaga ISBN Internasional yang berbasiss di London terhadap penerbitan ISBN di Indonesia yang membludak secara tidak wajar dalam dua tahun terakhir. Data yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) menunjukkan bahwa penerbitan ISBN di Indonesia melonjak tajam terutama selama Pandemi 2020-2021, dan mencapai puncaknya pada 2021 dimana terdapat 159.330 penerbitan ISBN. Angka ini menjadi tidak biasa karena angka penerbitan ISBN di Indonesia tahun-tahun sebelumnya tidak sebesar itu.
ADVERTISEMENT
Bambang Trimansyah dalam artikelnya “Menyoal Lagi ISBN dan Data Perbukuan Kita” (detik.com, 9/6) menyebutkan bahwa ketidakwajaran ini semakin menguat ketika disandingkan dengan konfirmasi dari PNRI kepada Lembaga ISBN Internasional bahwa ada terbitan yang semestinya tidak perlu diberi ISBN malah di-ISBN-kan. Beberapa terbitan seperti laporan lembaga pemerintah, laporan KKN mahasiswa, makalah, prosiding seminar, dan buku antologi yang diterbitkan secara internal serta disebarkan secara terbatas seharusnya tidak layak mendapatkan ISBN namun lolos mendapatkan ISBN.
Tingginya jumlah penerbitan ISBN juga ditengarai tidak sejalan dengan fakta penjualan buku di indonesia yang justru menurun selama masa pandemi. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan baru, untuk apa buku diberikan nomor ISBN jika kemudian tidak dijual atau tidak disebarkan secara luas?
ADVERTISEMENT
PNRI kemudian memberikan beberapa evaluasi kepada penerbit di Indonesia pasca teguran dari Lembaga ISBN Internasional yang dilayangkan awal tahun 2022 ini. Pada Forum Sosialisasi Layanan ISBN 18 Mei 2022 lalu, PNRI menyampaikan bahwa banyak penerbit yang tidak memenuhi kewajiban Serah Simpan Karya Cetak Karya Rekam (KCKR) setelah mendapatkan nomor ISBN.
Berdasarkan UU Nomor 13 tahun 2018 diwajibkan bagi penerbit yang telah mendapatkan nomor ISBN untuk menyerahkan 2 eksemplar buku ke PNRI, dan 1 eksemplar ke Perpustakaan Provinsi masing-masing. Namun data menunjukkan bahwa angka penerbitan ISBN dari PNRI dengan penyerahan KCKR dari penerbit menggambarkan gap yang sangat lebar. Pada dua tahun terakhir jumlah penyerahan KCKR tidak sampai 50% dari nomor ISBN yang diterbitkan. Hal ini menyebabkan PNRI memblokir setidaknya 700-an penerbit.
ADVERTISEMENT
Beberapa evaluasi PNRI kepada penerbit antara lain: Menempatkan ISBN kepada fungsi sebenarnya sebagai alat distribusi dan pemasaran sehingga perlu ditetapkan ketentuan kriteria buku yang berhak atas ISBN; Menetapkan Single Account kepada pengelola ISBN Lembaga berdasarkan hasil peninjauan ulang terhadap keaktifan dan keberlanjutan penggunaan akun dari Lembaga yang bersangkutan.
Kriteria Buku Terbitan Instansi Pemerintah
Berdasarkan ulasan di atas, penulis memberikan masukan terkait kriteria yang sebaiknya menjadi pertimbangan bagi Instansi Pemerintah dalam penerbitan buku. Pertama, buku ditulis berdasarkan outline penulisan yang terstruktur (tema, gagasan, dan sajian per bab yang tertata). Gagasan yang dituangkan di dalam buku juga harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (merupakan hasil kajian resmi dan menyertakan daftar pustaka).
Kriteria selanjutnya, substansi buku bukan merupakan bahan tayang (paparan) yang dibukukan. Artinya minimal harus ada narasi yang menjelaskan jika memang yang disajikan adalah gambar/ infografis.
ADVERTISEMENT
Mengingat bahwa syarat buku yang di ISBN kan adalah buku yang disebarluaskan (baik itu dijual maupun disebarluaskan secara gratis), maka buku harus dicetak dalam jumlah banyak. Hal ini menegaskan kembali bahwa ketika sebuah produk buku akan didaftarkan untuk memiliki nomor ISBN, artinya buku tersebut sudah siap untuk go public.
Disarankan mempertimbangkan ukuran buku dan jenis kertas agar tidak terlalu lebar (sulit dalam penyimpanan/display) dan juga tidak terlalu berat (tidak handy). Isi dan cover buku juga sebaiknya dibuat dengan desain populer yang menarik/ tidak kaku agar lebih menarik untuk dibaca.
Terakhir, Sesuai amanat UU No. 13 tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, maka setiap penerbit wajib menyerahkan buku yang telah mendapat ISBN sebanyak 2 eksemplar ke PNRI, dan 1 eksemplar ke Perpustakaan Provinsi/ Kotamadya masing-masing.
ADVERTISEMENT