Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Perencanaan Wilayah Berbasis Kebencanaan
5 Desember 2020 18:04 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 26 Juli 2024 13:22 WIB
Tulisan dari Mutri Batul Aini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Negeri mana yang sudi dijuluki “Negeri Seribu Bencana”? Begitu pula halnya dengan Indonesia. Mau tidak mau kita harus menerima fakta bahwa kejadian bencana per tahun yang terjadi di tanah air memang mencapai angka ribuan. BNPB mencatat kejadian bencana pada tahun 2016 sebanyak 1.985 kejadian, tahun 2017 sebanyak 2.156 kejadian, sementara periode Januari-September 2020 ini sudah tercatat 1.944 kejadian.
ADVERTISEMENT
Angka-angka tersebut Sebagian besar adalah bencana hidrometeorologi yang disebabkan oleh cuaca dan sebagian kecilnya adalah bencana geologi akibat pergerakan bumi. Bagaimanapun, keduanya telah membawa dampak kerugian yang besar, khususnya terhadap kerusakan infrastruktur yang dibangun oleh Kementerian PUPR.
Kita tentu ingat kejadian dua tahun lalu saat gempa, tsunami, dan likuifaksi terjadi di Palu-Sulawesi Tengah. Saat itu jembatan Palu IV yang menjadi icon di Pantai Talise roboh oleh tsunami. Jembatan Merah Putih Ambon juga retak ketika diterpa gempa 6.5 SR 2019 lalu.
Sedangkan jumlah ruas jalan yang rusak akibat seringnya terkena banjir pun sudah tak terhitung lagi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur yang tangguh bencana adalah hal yang mutlak dilakukan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya pembangunan infrastruktur tangguh bencana sudah lama dicanangkan seiring dengan konsep sustainability yang di dalamnya terdapat komponen kebencanaan.
Konsep Kota Berketahanan (resilient city) telah menjadi agenda internasional dengan ditetapkannya sebagai salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yakni tujuan ke-11, “Make cities and human settlements inclusive, safe, resilient and sustainable”.
Di dalam dokumen RPJMN 2020-2024, pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan resiko bencana juga menjadi salah satu dari enam pilar pengarusutamaan yang diharapkan menjadi katalis pembangunan nasional.
Kota Tangguh Bencana
Perkotaan adalah wilayah yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana karena perkotaan menjadi pusat konsentrasi penduduk, infrastruktur, dan juga aset. Namun sayang sejauh ini, banyak perkotaan di Indonesia belum siap menghadapi bencana.
ADVERTISEMENT
World Bank mencatat bahwa kepadatan kota yang tak terkendali diiringi dengan manajemen kota yang buruk adalah faktor yang meningkatkan risiko ancaman bahaya alam.
Manajemen kota saat ini kurang preventif mengelola risiko bencana. Aspek pencegahan atau mitigasi masih mendapat porsi yang kecil dibanding aspek penanganan pasca kejadian. Akibatnya, jumlah korban dan kerusakan ketika terjadi bencana sulit terkendali. Sudah saatnya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kota memiliki kesadaran dan merevolusi sistem yang tangguh bencana.
United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) telah menetapkan empat prioritas tindakan untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana. Empat tindakan itu adalah memahami risiko bencana, memperkuat tata kelola risiko bencana, berinvestasi dalam pengurangan risiko bencana, dan meningkatkan kesiapsiagaan bencana untuk respons yang efektif dalam masa pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.
ADVERTISEMENT
Langkah pemerintah, baik di tahap kebijakan maupun implementasi, harus didasarkan pada pemahaman yang baik terhadap risiko bencana.
Pemahaman ini penting sehingga menjadi prioritas pertama pada tindakan yang disarankan UNISDR. Seperti kata pepatah, bahwa “Memahami Masalah adalah Setengah dari Solusi”. Memahami risiko bencana dimulai dari pemetaan wilayah rawan bencana.
Pemerintah harus tahu apakah wilayahnya termasuk rawan bencana atau tidak? Masuk zona merah atau tidak? Sehingga dalam implementasi penataan kawasan permukiman, industri, hingga pariwisata harus memperhatikan zonasi ini. Wilayah dalam zona merah harus bebas dari bangunan dan permukiman.
Pemahaman Risiko Bencana akan menjadi modal dalam prioritas kedua yaitu Tata Kelola Risiko Bencana. Pada tahap ini diperlukan visi, rencana, kompetensi SDM, bimbingan dan koordinasi yang jelas lintas sektor, serta partisipasi para pemangku kepentingan terkait. Prioritas ketiga yaitu investasi, harus didukung dengan peran publik dan swasta dalam secara struktural maupun non-struktural. Investasi berguna untuk meningkatkan ketahanan ekonomi, sosial, kesehatan, hingga budaya tanggap bencana pada masyarakat bersama komunitasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara prioritas keempat adalah peningkatan kesiapsiagaan untuk kebutuhan tindakan kuratif pasca-bencana. Masyarakat sebagai objek sekaligus subjek harus ikut dilibatkan dalam tahap ini. Karena masyarakat yang ter-edukasi dengan baik tentang kebencanaan akan cenderung siap menghadapi situasi darurat dan pasca kejadian.
Pencegahan dari Tahap Perencanaan
Pembangunan infrastruktur yang tangguh bencana harus selalu diawali dengan perencanaan yang matang. Perencanaan yang baik akan mengurangi risiko yang berat saat sebuah wilayah menghadapi bencana. Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) telah menetapkan bahwa komponen kebencanaan harus menjadi variabel perencanaan dan pemrograman yang tidak boleh ditinggalkan.
BPIW belajar dari kasus bencana Pasigala (Palu, Sigi, Donggala) di mana pemulihan pasca bencana sangat membutuhkan data dan pemetaan wilayah yang akurat.
ADVERTISEMENT
Pembangunan kembali pada wilayah terdampak bencana tidak boleh menjadi kesalahan kedua, di mana wilayah-wilayah yang berada di zona merah justru menjadi wilayah permukiman. Begitu pula perencanaan di wilayah yang belum pernah terkena bencana tetap harus memperhatikan komponen kebencanaan.
Maulana (2021) menyebutkan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah pasca bencana Pasigala. Pertama identifikasi lokasi bencana dan analisa kewilayahan, yaitu memperhatikan penetapan Zona Rawan Bencana sehingga pembangunan kembali diupayakan berada di lokasi yang relatif aman. Kedua, menggunakan data analisa geologi dan geofisika, karena data ini berperan penting dalam pembangunan infrastruktur PUPR sebagai pertimbangan pada proses perencanaan, desain, hingga kontruksi di lapangan.
Ketiga, perencanaan harus merujuk pada arahan Tata Ruang (RTRW dan RDTR). Dalam tahap ini, kerja sama dan koordinasi antar stakeholder seperti Badan Geologi, Kementerian ATR/BPN, K/L lain terkait sangat diperlukan. Langkah terakhir yaitu menyiapkan Masterplan dan Siteplan dengan mengadopsi inovasi teknologi dalam Pembangunan Infrastruktur. Inovasi teknologi tentu sangat diperlukan agar infrastruktur yang dibangun lebih kokoh dan kuat menghadapi kemungkinan benturan dengan bencana alam.
ADVERTISEMENT
Perencanaan memang tahap yang penting dalam proyek apa pun. Kita sudah sering dengar kutipan Benjamin Franklin yang mengatakan “If you fail to plan, you are planning to fail”. Oleh karena itu, perencanaan dalam setiap level pemerintahan harus memasukkan komponen kebencanaan. Indonesia mungkin tidak bisa mengelak dari kenyataan menjadi Negeri Seribu Bencana, namun Indonesia bisa belajar bersifat lentur/resilient untuk menyesuaikan diri dengan berbagai guncangan karena hal itu adalah kunci keberlanjutan (sustainability).
Referensi:
- Indra Maulana (2021). Belajar dari Bencana untuk Perencanaan Infrastruktur yang Lebih Baik. Buletin Sinergi.
- United Nation Office for Disaster Risk Reduction (2015). Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030. UNISDR.