Kenapa Saya Meninggalkan Instagram

Konten dari Pengguna
27 Oktober 2017 15:46 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari mutya hanifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam 10 bulan di tahun 2017 ini, sudah tiga kali saya menonaktifkan akun Instagram saya. Sebagai bagian dari generasi milenial yang katanya setiap momen harus diabadikan (it's not real if it's not on Instagram), saya mendapatkan reaksi heran dari teman-teman ketika menghapus sementara akun Instagram saya tersebut.
ADVERTISEMENT
Bukan, saya bukan pemilik akun dengan ribuan followers dan jutaan likes seperti yang disebut selebgram itu. Followers saya kurang dari 600, dan jumlah like organik di setiap post paling banyak 50-60 saja. Reaksi dari teman-teman lebih menunjukkan rasa heran mereka: kok bisa saya, yang sehari-harinya menggunakan sosial media untuk pekerjaan dan kehidupan sosial 'melepaskan' Instagram dengan ikhlas?
Alasan pertama saya meninggalkan Instagram adalah karena rasa malu. Saat itu, saya putus hubungan dengan kekasih (yang hampir setiap saat kami bersama saya abadikan di instastory). Merasa malu dan ingin menghindari pertanyaan dari teman-teman, saya putuskan untuk menonaktifkan akun Instagram. Ada dua pilihan: non-aktif sementara atau hapus selamanya. Saya pilih sementara, karena koleksi foto saya di Instagram kurang lebih ada 800, sebagian besar adalah momen-momen traveling ketika saya menjadi travel writer yang tentunya ingin saya kenang suatu saat.
ADVERTISEMENT
Alasan kedua adalah saya tidak lagi merasa bahagia setiap kali membuka Instagram. Melihat foto orang berlibur, makan di tempat mewah, begitu mesra dengan pacarnya, membuat saya mengasihani diri sendiri dan lupa untuk bersyukur dengan apa yang saya punya. Ya, saya tahu ini bukan salah Instagram. Tapi ketika menyadari hal ini saya jadi mengerti, if you are not happy with something, leave it. Enggak ada gunanya memaksakan diri melihat sesuatu karena itu 'sedang happening' atau karena 'semua orang juga melakukannya'.
Alasan ketiga (yang mungkin sedikit agak mirip dengan alasan kedua) adalah saya butuh istirahat dari sosial media. Saya ingin pergi ke suatu tempat, tanpa saya harus mengabadikan segalanya di instastory. Saya mau menghabiskan waktu membaca berita, bukan melihat foto-foto orang lain yang tidak begitu saya kenal di tempat yang jauh dan kemudian merasa kasihan dengan diri sendiri. Ketika saya menonaktifkan akun Instagram, saya tidak serta-merta menghapus semua akun sosial media lain. Saya masih punya twitter dan facebook, yang jadi sumber berita.
ADVERTISEMENT
Saat menggunakan Instagram, ada rasa impulsif yang muncul hampir setiap saat. Merasa setiap hal harus diabadikan. Saat bertemu teman-teman, harus Instastory dulu. Yang buruknya, kalau sedang sedih pun tanpa sadar dibagi juga ke Instagram. Kadang ini dilakukan untuk memenuhi panggilan impulsif dari hati, ingin meluapkan perasaan dan sosial media menjadi sarananya.
Bukan berarti Instagram tidak ada manfaatnya. Bagi para selebgram dan online shop, Instagram jadi tempat untuk berjualan yang tepat. Saya juga dapat banyak rekomendasi tempat traveling yang anti-mainstream dari Instagram. Mau tahu kabar teman-teman, juga bisa dari Instagram, tinggal lihat Instastory mereka.
Tapi itulah yang membuat Instagram tidak nyaman lagi ditinggali. Seperti berlomba-lomba, hidup siapa yang lebih bahagia. Tidak merasa harus keep in touch karena merasa sudah cukup dengan melihat Instastory teman.
ADVERTISEMENT
Jujur saja, saya merasa lebih tenang setelah menonaktifkan akun Instagram. Tidak ada paksaan untuk tampil sempurna dan bahagia setiap saat. Saya jadi punya lebih banyak waktu untuk benar-benar berinteraksi dengan orang-orang di sekitar saya. Walau ada sedihnya juga, karena ternyata ketika saya tidak ada di Instagram, berarti saya 'tidak ada'. Saya jadi mendapat pelajaran baru bahwa pertemanan di era milenial seperti durasi video Instastory: hanya 15 detik saja. Kamu ada dan detik berikutnya, kamu tidak ada.
Akun Instagram saya sudah berusia kurang-lebih lima tahun. Dalam jangka waktu tersebut, Instagram berjasa dalam membantu saya membangun image sebagai seorang travel enthusiast, melalui foto-foto yang saya unggah. Namun ternyata, semua hal itu ada masa kadaluarsanya. Saat menonaktifka Instagram kembali beberapa minggu lalu, saya sudah siap dengan segala konsekuensinya, termasuk 'menghilang dari pergaulan dan dianggap anti-sosial'. Bukan salah Instagram, dan saya juga tidak menganggap rendah teman-teman yang masih main Instagram. Beberapa platform sosial media, mungkin memang bukan untuk semua orang.
ADVERTISEMENT