Konten dari Pengguna

Urgensi Etika dalam Pengembangan Artificial Intelligence

Muwalliha Syahdani
Magister Ilmu Hubungan Internasional konsentrasi Digital Transformation and Competitiveness, Universitas Gadjah Mada.
23 Agustus 2023 17:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muwalliha Syahdani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Artificial Intelligence. Foto diambil dari Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Artificial Intelligence. Foto diambil dari Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Artificial Intelligence (AI) telah dan akan menjadi satu bagian penting dalam kehidupan sosial-politik (sospol) manusia di abad 21. AI sudah banyak digunakan mulai dari Weak AI atau AI sederhana untuk membuat rekomendasi playlist di platform musik atau film yang kita dengar/tonton, rekomendasi konten berdasarkan likes/comments di platform media sosial, Intelligence Virtual Assistant (IVAN) yang digunakan pada livechat aplikasi Traveloka hingga Voice Assistant seperti Siri dan “Google Assistant”.
ADVERTISEMENT
Untuk Strong AI, contoh yang bisa kita temui seperti Robot dengan intelektualitas, “Machine and Deep Learning” dan Mesin Penerjemah menggunakan “Neuro-Linguistic Programming”. Dalam pembahasan kali ini kita akan berfokus pada pentingnya Etika dalam pengembangan Artificial Intelligence khususnya perkembangan strong AI.

Pentingnya Etika dalam Pengembangan AI

Strong AI adalah suatu perangkat, mesin, atau teknologi yang dapat menyerap dan mempelajari seperangkat data yang besar dan kompleks (generative). AI jenis ini memiliki kemampuan untuk bernalar (mempelajari sesuatu), rasio (mengambil tindakan berdasarkan sesuatu yang dipelajari) dan koreksi diri.
Dikarenakan mempelajari sesuatu berdasarkan data, AI jenis ini bisa melakukan sesuatu tergantung siapa pemberi atau pemilik data yang besar tersebut. Etika menjadi penting dalam penggunaan AI-generative untuk menghindari bias, diskriminasi, malinformasi, disinformasi, dan misinformasi yang bisa disebarkan oleh AI tersebut dan menjadi satu guidance atau moral compass dari tindakan dan respons AI yang kita harapkan.
ADVERTISEMENT

Bias yang Pernah dilakukan oleh AI

Ilustrasi ChatGPT. Foto diambil dari Unsplash
Satu contoh sederhana dalam bias dalam penggunaan AI adalah respon yang pernah dijawab oleh penggunaan ChatGPT. ChatGPT ("Chat Generative Pre-Trained Transformers") adalah suatu chatbot AI-generative yang mendapatkan responsnya dengan diajarkan oleh manusia. Bias yang pernah terjadi adalah ketika chatbot tersebut diminta untuk membuat puisi tentang gender. ChatGPT menjawab permintaan tersebut dengan gender bias yang selama ini berkembang (laki-laki adalah kuat dan perempuan penuh dengan kelembutan).
Jawaban dari AI tersebut antara lain: “Men of strength and might, Protectors with gentle hearts, Guiding us through life.” dan untuk perempuan puisi tersebut berbunyi: “Women of beauty, With hearts full of love and light, Shine bright like the stars.” (HolisticAI, 2023). Dapat dilihat di sini, bias yang terjadi adalah bentuk stereotipe umum yang selama ini lekat dengan prejudis masyarakat, namun di sini ChatGPT seharusnya bisa netral atau tidak memiliki opini terhadap perempuan atau laki-laki secara spesifik. Ini semua bergantung dari data yang diajarkan.
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, kehadiran AI dalam kehidupan sehari-hari tidak lepas dari tanggung jawab dan etika yang sebaiknya bisa dipelajari oleh AI tersebut. AI tidak hanya menjadi objek dari penggunaannya, namun menjadi subjek dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan perkembangannya, diharapkan AI bisa berkembang secara etis dengan menampilkan nilai moral dan standar etika dalam menyelesaikan pekerjaan atau perintah yang diberikan. Tidak menampik bahwa AI masih dalam tahap developing, sehingga pengembangan maupun penyempurnaannya masih memerlukan manusia hingga bisa sampai ke level nilai moral dan standar etika yang diharapkan.