'Victim Blaming' dan Dampaknya bagi Kesehatan Mental Korban

Muzdalifatun Nisa
Mahasiswi Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan
Konten dari Pengguna
30 April 2021 13:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muzdalifatun Nisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi victim blaming di masyarakat. Sumber gambar: Designed by Muzdalifatun Nisa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi victim blaming di masyarakat. Sumber gambar: Designed by Muzdalifatun Nisa
ADVERTISEMENT
Victim blaming adalah suatu perilaku yang seolah-olah menunjukkan bahwa korban—bukannya pelaku—yang disalahkan atas kekerasan yang terjadi pada dirinya. Bentuk-bentuk menyalahkan korban bisa berupa tidak percaya dengan cerita korban, merendahkan korban, dan tindakan yang tidak sesuai setelah kejadian oleh pihak tertentu. Biasanya pihak-pihak yang menyalahkan korban adalah teman, kerabat dekat, bahkan awak media yang seharusnya mendukung korban, malah justru kadang menyudutkan korban.
ADVERTISEMENT
Pernahkah kalian mendengar pertanyaan atau pernyataan ini?
"Kenapa saat kejadian kamu tidak teriak?"
"Saat kejadian, kamu berpakaian seperti apa?"
"Siapa suruh perempuan keluar malam!"
"Ah, pasti dia melebih-lebihkan!"
Nah, pertanyaan dan pernyataan di atas sering dilontarkan oleh masyarakat kepada korban kekerasan seksual. Jika dilihat, ungkapan di atas cenderung menyudutkan dan menghakimi korban. Padahal, apa yang diderita korban bukanlah kesalahannya, tetapi kesalahan si pelaku.
Contoh kasus mengenai victim blaming yang cukup menggegerkan masyarakat Indonesia adalah kasus Baiq Nuril. Baiq Nuril adalah seorang guru di Lombok yang merekam percakapan asusila yang dilakukan oleh kepala sekolah pada dirinya, dengan maksud untuk dijadikan bukti untuk melapor.
Tetapi, Nuril justru dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam menyebarkan dokumen elektronik dengan muatan asusila. Nuril divonis enam tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan seksual di atas hanyalah "puncak gunung es" dari budaya victim blaming di Indonesia. Kasus yang sebenarnya terjadi pasti lebih banyak daripada kasus yang terlapor. Hal ini dikarenakan para korban lebih memilih untuk bungkam dan takut untuk melapor.

Apa akibat dari budaya victim blaming bagi korban?

Akibat yang ditimbulkan oleh budaya victim blaming bagi para korban kekerasan seksual sangatlah beragam. Masyarakat yang seharusnya mendukung korban, justru malah melakukan yang sebaliknya. Hal inilah yang membuat para korban menjadi bulan-bulanan masyarakat, dianggap hina oleh keluarga, dan lain-lain. Sehingga kesehatan mental korban akan terpengaruh. Korban bisa saja mengalami trauma jangka panjang, depresi, dan bahkan bisa sampai melakukan percobaan bunuh diri.
Ilustrasi slogan Victim Blaming. Sumber gambar: Designed by Muzdalifatun Nisa
Ada beberapa cara yang dapat mencegah victim blaming ini, yaitu dengan mendengarkan cerita korban, memberi dukungan baik secara fisik maupun mental, menemani korban untuk melapor ke jalur hukum, dan menemani korban untuk mendapatkan penanganan dari yang ahli, seperti dokter atau psikolog.
ADVERTISEMENT
Mulai saat ini, kita sebagai masyarakat Indonesia harus peduli dan terus mengedukasi diri lebih jauh lagi mengenai victim blaming. Karena, tidak seharusnya korban mendapat victim blaming dari siapa pun dan harus diberikan perlindungan secara hukum. Yuk, mulai hentikan budaya victim blaming dimulai dari diri sendiri!