Konten dari Pengguna

Perempuan dalam Bayang-Bayang Kekuasaan Taliban

Fawwaz Muzhaffar
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Padjdjaran.
25 Juni 2024 17:21 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fawwaz Muzhaffar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa perempuan Afghanistan dihentikan oleh petugas keamanan Taliban yang berdiri di samping sebuah universitas di Kabul, Afghanistan. Foto: Wakil Kohsar/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa perempuan Afghanistan dihentikan oleh petugas keamanan Taliban yang berdiri di samping sebuah universitas di Kabul, Afghanistan. Foto: Wakil Kohsar/AFP
ADVERTISEMENT
Setiap manusia berhak untuk memperoleh hak dan kesempatan yang setara terlepas dari apa pun status sosialnya, termasuk gender. Namun, pada kenyataannya prinsip patriarki nampaknya masih melekat di benak pikiran masyarakat. Tidak semua perempuan di muka bumi ini memiliki hak dan kesempatan yang setara dengan laki-laki.
ADVERTISEMENT
Selain banyaknya pemikiran masyarakat yang mengharuskan perempuan untuk berkutat di ranah domestik, ketimpangan hak perempuan juga ada yang disebabkan oleh berbagai regulasi atau kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Salah satu contohnya seperti apa yang sedang terjadi di Afghanistan sekarang.
Sejak Taliban mengambil alih kembali kekuasaan di Afghanistan pada tahun 2021, hak-hak perempuan seakan-akan mulai dibatasi secara ketat dalam berbagai hal. Seperti perempuan diwajibkan untuk mengenakan pakaian yang hampir menutupi seluruh bagian tubuh, hingga perempuan tidak diperbolehkan untuk pergi ke luar rumah sendirian tanpa ditemani oleh laki-laki yang merupakan mahramnya. Hal tersebut lantas membuat perempuan di Afghanistan tidak dapat memperoleh haknya dalam kebebasan serta mengekspresikan dirinya.
Dalam teori komunikasi, fenomena tersebut dapat dikaitkan dengan Teori Kelompok Bungkam atau Muted Group Theory. Hal tersebut dikarenakan fenomena yang telah dijelaskan tadi menggambarkan sebuah ketimpangan antara kelompok yang dibungkam (perempuan) dan kelompok lainnya yang lebih mendominasi (laki-laki). Teori ini juga menggambarkan bagaimana bahasa dan cara komunikasi dirancang oleh kelompok dominan, sehingga kelompok yang dibungkam sering kali merasa terbatasi dalam mengekspresikan dirinya serta memperoleh hak untuk menyampaikan pendapat.
ADVERTISEMENT
Adapun, tokoh dari teori ini yakni Cherish Kramarae, Edwin Ardener, dan Shirley Ardener. Teori ini memiliki berbagai asumsi.
Pertama, perempuan mempersepsikan dunia dengan berbeda dibandingkan dengan laki-laki karena adanya perbedaan pengalaman serta aktivitas yang berakar pada pembagian kerja. Kedua, sistem persepsi laki-laki mendominasi karena mereka adalah kelompok yang dominan di masyarakat. Ketiga, perempuan harus menyesuaikan bahasa mereka dengan pemikiran laki-laki supaya dapat berpartisipasi di masyarakat (West & Turner 2010).
Dalam teori ini, kelompok dominan merupakan kelompok yang lebih berkuasa dalam budaya tertentu. Sedangkan, kelompok terbungkam merupakan orang-orang yang tergabung dalam kelompok dengan kekuatan atau kekuasaan rendah.
Lalu, bagaimana kelompok bungkam dapat muncul? Pada dasarnya, hadirnya kelompok bungkam dapat disebabkan oleh adanya tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh pihak dominan atau yang lebih berkuasa terhadap suatu kelompok minoritas yang memiliki kekuasaan rendah sehingga keberadaan kelompok minoritas tersebut sulit untuk menyampaikan pendapat dan idenya.
ADVERTISEMENT
Terdapat berbagai proses pembungkaman, yakni ridicule, ritual, control, dan harassment (West & Turner 2010). Ridicule menggambarkan omongan perempuan selalu disepelekan. Proses berikutnya yakni ritual, perempuan selalu disubordinasi dalam setiap ritual budaya.
Lalu, control menggambarkan laki-laki selalu mengambil keputusan yang besar, segala bentuk interupsi dianggap sebagai perilaku penghambat kendali laki-laki. Terakhir, harassment, Elizabeth Kissling (dalam West dan Turner, 2008: 209) mengungkapkan bahwa perempuan tidak memiliki kebebasan untuk menggunakan jalan umum. Pelecehan seksual di tempat kerja juga menjadi proses lain untuk mengindikasikan bahwa perempuan tidak sesuai dengan dunia di luar area domestik mereka.
Kebijakan Taliban yang muncul secara kontinyu semakin mengekang kebebasan perempuan untuk menentukan kebebasan dan arah hidupnya. Seperti contoh, supir taksi diperintahkan untuk tidak membawa penumpang perempuan yang tidak mengenakan burqa.
ADVERTISEMENT
Burqa merupakan pakaian yang dikhususkan sebagai pelindung aurat perempuan. Pakaian tersebut tidak hanya menutup bagian wajah wanita tetapi juga menutup bagian kedua mata dengan kain berjaring, sehingga penggunanya tetap bisa melihat ke luar untuk beraktivitas.
Perempuan yang telah berusia 8 tahun ke atas diwajibkan menutup auratnya dengan pakaian syar’i yang sesuai dengan syariat Islam. Selain cara berpakaian, perempuan juga tidak diperbolehkan untuk merias dirinya hingga berolahraga karena hal tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan perempuan.
Bahkan perempuan tidak diperbolehkan untuk berada di balkon rumah karena takut akan menjadi pusat perhatian oleh laki-laki. Serta, perempuan tidak diperbolehkan tertawa atau berbicara secara keras karena akan menarik perhatian laki-laki. Perempuan seolah-olah dipandang sebagai kelompok kelas dua yang harus selalu patuh terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh laki-laki di pihak Taliban. Hal tersebut secara tidak langsung mengindikasikan jika perempuan harus selalu hidup di bawah bayang laki-laki.
ADVERTISEMENT
Setidaknya terdapat 13 kebijakan Taliban yang membatasi kebebasan perempuan, di antaranya yaitu: 1) Dilarang bepergian antar seorang laki-laki dari anggota keluarganya; 2) Dilarang berteman dengan laki-laki tanpa seizin anggota keluarganya; 3) Dilarang berinteraksi dengan laki-laki di atas 12 tahun selain anggota keluarganya; 4) Dilarang bersekolah di sekolah umum, mereka hanya boleh bersekolah di sekolah khusus perempuan;
5) Dilarang menggunakan riasan wajah termasuk cat kuku; 6) Dilarang bermain musik dan menari; 7) Jika perempuan bekerja, kelompok Taliban akan mengawal mereka pulang dan memerintahkan untuk kerabat laki-laki perempuan tersebut saja yang bekerja; 8) Mewajibkan perempuan untuk mengenakan burqa (pakaian yang menutup seluruh tubuh); 9) Dilarang berbicara menggunakan suara yang keras hingga terdengar oleh orang asing baik dalam pertemuan perempuan maupun di depan umum;
ADVERTISEMENT
10) Dilarang menggunakan sepatu hak tinggi; 11) Dilarang duduk di balkon rumah; 12) Dilarang menampilkan gambar perempuan baik dalam perfilman maupun media yang lainnya: dan 13) Seorang guru dilarang memberikan pelajaran untuk siswa yang berjenis kelamin berbeda (Davies, 2021).
Bagi siapapun yang berani melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh Taliban, terutama perempuan, maka pihak Taliban tidak akan segan untuk melakukan hukuman kepada mereka dengan cara kekerasan. Adapun, hukumannya dapat berupa cambuk, rajam, hingga hukuman mati.
Suka tidak suka, seluruh warga Afghanistan dipaksa untuk selalu menjalankan aturan yang telah ditetapkan oleh pihak Taliban atas dasar agama Islam. Walaupun sama-sama beragama Islam, akan tetapi mereka tidak mengenal Islam sama dengan kelompok Taliban.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kita dapat mengetahui bagaimana ketimpangan hak yang dihasilkan antara perempuan dan laki-laki sejak Taliban berkuasa dengan mengaitkannya ke salah satu teori komunikasi. Dalam teori komunikasi, fenomena tersebut termasuk ke dalam Teori Kelompok Bungkam atau Muted Group Theory yang dikemukakan oleh Cherish Kramarae, Edwin Ardener, dan Shirley Ardener. Teori kelompok bungkam menggambarkan bagaimana kelompok dominan merancang bahasa dan cara berkomunikasi, sehingga kelompok yang dibungkam sering kali merasa sulit atau terbatasi dalam mengekspresikan dirinya.
Terhitung, sejak Taliban berkuasa pada tahun 2021, berbagai peraturan ditetapkan dengan tidak memihak kepada kelompok dibungkam (perempuan). Sehingga, sering kali perempuan merasa terbatas dalam mengekspresikan dirinya karena merasa tidak punya wadah dan forum yang cukup.
ADVERTISEMENT
Seluruh wanita di Afghanistan terpaksa harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan oleh kelompok dominan, seperti cara berpakaian, berinteraksi, bekerja, hingga menampakkan dirinya sesuai dengan syariat Islam yang berlaku. Walau sama-sama beragama Islam, kelompok dibungkam dan kelompok dominan di Afganistan tidak memandang agama Islam secara sama.