Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Melupakan Sejarah Itu Petaka: dari Kacamata Jurnalis
3 Juni 2024 15:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Annisa Myprincessa Ramadhanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Tulisan ini berangkat dari sebuah pesan yang selalu diulang oleh guru saya di bangku SMA. Kata beliau, "Melupakan sejarah itu petaka."
ADVERTISEMENT
Negara dijembatani oleh sejarah yang tertata apik dalam sebuah garis, segala suatu hal yang terjadi di masa lalu membentuk bagaimana kita hidup pada saat ini karena sejarah yang telah disusun sedemikian rupa tidak hanya memberikan kita sebuah penjelasan mengenai peristiwa apa, tapi juga bagaimana dan mengapa. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menopang bergeraknya manusia dari satu konsep pikir ke konsep pikir yang lain, yang kemudian juga membentuk sebuah kultur dan konstruk sosial yang berbeda. Kondisi ini membawa saya ke memori mengenai kalimat yang dikatakan oleh George Santayana, seorang penyair, penulis esai, dan filsuf, dalam bukunya yang bertajuk The Life of Reason yang berbunyi. “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.” Kalimat ini berangkat dari sebuah pemikiran bahwa jika ingin bergerak ke depan, sebuah peristiwa sejarah perlu diingat dan dipelajari.
ADVERTISEMENT
Terhitung satu dekade sudah terlewat sejak tahun 2014 menuju 2024, satu dekade pula jurnalis Indonesia hidup melalui tulisan-tulisannya. Mereka menoreh sejarah, menyimpan sejarah, dan menghidupi sejarah Indonesia, dari yang indah hingga yang menghancurkan. Namun, yang tercatat di dalam garis historis selama satu dekade tidak hanya keberlangsungan sejarah Indonesia, melainkan keberlangsungan hidup para jurnalis itu sendiri. Kita semua bisa menulis cerita baru tentang masa lalu, tapi arsip, naskah, fotografi, rekam suara, berita, koran, buku, dan kliping, semua berbicara untuk sejarah. Maka, tulisan para jurnalis semestinya mampu membawa kita ke bentang garis sejarah yang hampir terkikis. Tabik.
Media jurnalistik Indonesia seharusnya dirancang untuk bekerja secara independen, tapi pada nyatanya, terlalu banyak intervensi dari kelompok elit partai politik dan kekuasaan yang terjadi. Hal ini dibuktikan melalui catatan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang mengatakan bahwa terdapat 89 kasus kekerasan yang dialami dan ditargetkan kepada jurnalis, lebih tepatnya sebanyak 83 individu, 5 kelompok jurnalis, dan 15 media Indonesia di sepanjang tahun 2023 melalui berbagai bentuk, seperti serangan fisik, digital, hingga bentuk kriminalisasi seksual. Kondisi ini, pada tahun 2023, tentu tidak luput dari masa pemilu 2024 yang telah berlalu. Periode pemilu yang berakhir pada tanggal 14 Februari 2024 lalu melahirkan segala kemungkinan buruk yang terjadi terhadap media dan jurnalis Indonesia. Jika kita membahas tentang sejarah keberlangsungan pers dan jurnalis Indonesia, maka kita juga perlu untuk menarik garis historis menuju latar belakang lahirnya AJI atau Aliansi Jurnalis Indonesia. AJI sendiri berdiri sebagai bentuk pemberontakan terhadap terbelenggunya jurnalis Indonesia pada rezim Orde Baru, yaitu lahir pada saat terjadinya pembredelan Detik, Editor, dan Tempo pada tahun 1994 akibat tulisan para jurnalis tersebut nilai terlalu kritis terhadap penguasa. Ini artinya, pada rezim Orde Baru, sudah lahir dan tumbuh segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis Indonesia. Data yang disajikan mencatat setidaknya terdapat 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 1998. Sejarah membuktikan bahwa reformasi tidak mengantarkan angin perubahan terhadap kesejahteraan jurnalis yang hingga saat ini masih direduksi sedemikian banyaknya.
ADVERTISEMENT
Penjabaran mengenai kedua kondisi di rentan tahun dan masa yang berbeda tersebut menorehkan sebuah catatan yang sama, yaitu pemangkasan ruang gerak jurnalis, represi terhadap jurnalis, disrupsi digital yang terjadi, tren intimidasi, dan ketimpangan penerapan kebijakan yang pada akhirnya hanya diberlakukan untuk membungkam suara para jurnalis. Arsip-arsip yang dicetak, kemudian diedarkan, seringkali ditelusuri siapa penulisnya untuk ditindaklanjuti demi melindungi nama baik dari pemilik nama yang tertulis di dalam arsip tersebut. Kemudian, semua jejak pena para jurnalis hilang, semacam lenyap dimakan waktu, terhapus menyeluruh dari sejarah.
Sebuah pemikiran dapat tertinggal dari masa ke masa, suara-suara kecil dari orang-orang kecil dapat menggema dan melebur dari masa ke masa, cerita mengenai peristiwa pada negara dapat berguguran dari masa ke masa. Namun, tulisan yang ditorehkan jurnalis akan tetap hidup, akan tetap bernapas selagi ruang mereka tidak dirampas. Arsip, buku, koran, kliping, mereka tidak akan ditelan oleh waktu dan keterbatasan ingatan manusia. Manusia bisa membuka kembali lembaran-lembaran tersebut untuk kembali mengingat sejarah, untuk kembali belajar dari sejarah sebelum mengambil langkah-langkah ke depan.
ADVERTISEMENT
Jika disimpulkan, seharusnya cukup bagi kita untuk menyadari bahwa mempelajari sejarah berarti mempelajari bagaimana cara kita mencapai titik ini, mempelajari sejarah berarti mempelajari bagaimana kita tumbuh, apa yang membentuk kita, dan apa yang mencerai-beraikan kita, mempelajari sejarah berarti memelihara jejak pena jurnalis sebagai wadah dari sejarah, sedangkan mencelakai pena jurnalis berarti mencelakai salah satu jejak sejarah kita. Itu sebabnya, keberlangsungan jurnalis dengan pemenuhan hak-hak mereka perlu dipegang dan direngkuh seutuh-utuhnya, kesejahteraan sejarah perlu hidup seyogyanya. Apabila suara para jurnalis yang diturahkan ke dalam tulisan, ke dalam arsip, ke dalam kliping, dan semacamnya dihilangkan dari bentang garis sejarah, tenggelamlah sebuah bangsa ke dalam kubangan yang sama.
“Those who cannot remember the past are condemned to repeat it.” Mereka yang melupakan sejarah, melupakan bagaimana kita lahir. Mereka yang melupakan sejarah, melupakan cara merangkak dari awal. Seperti yang dikatakan George Santayana, mereka yang melupakan sejarah akan mengulangi sejarah.
ADVERTISEMENT
Melupakan sejarah itu petaka.
Referensi:
Clairmont, N. (2022, April 19). “Those who do not learn history are doomed to repeat it.” Really? Big Think. https://bigthink.com/culture-religion/those-who-do-not-learn-history-doomed-to-repeat-it-really/
89 Kasus Serangan terhadap Pers Indonesia pada 2023, Tertinggi Dalam Satu Dekade | AJI - Aliansi Jurnalis Independen. (n.d.). https://aji.or.id/informasi/89-kasus-serangan-terhadap-pers-indonesia-pada-2023-tertinggi-dalam-satu-dekade
Sejarah | AJI - Aliansi Jurnalis Independen. (n.d.). https://aji.or.id/sejarah