Konten dari Pengguna

Pagar di Laut: Ketika Ruang Publik Beralih Menjadi Milik Korporasi?

Mytha Chandra Dewi
Lahir di Purworejo, 3 Agustus 2000. Saat ini sedang berkuliah S2 Akuntansi di Undip Semarang.
3 Februari 2025 6:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mytha Chandra Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
fotoilustrasipagarlauttangerang.fotomilikpenulis.
zoom-in-whitePerbesar
fotoilustrasipagarlauttangerang.fotomilikpenulis.
ADVERTISEMENT
Terdapat pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten. Pagar ini bukan pagar biasa, melainkan struktur bambu setinggi enam meter yang benar-benar membatasi akses nelayan ke laut. Hal ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada laut tiba-tiba dihadapkan pada penghalang semacam ini? Apa sebenarnya tujuan dari pemasangan pagar tersebut?
ADVERTISEMENT
Beberapa sumber menyebutkan bahwa pagar ini memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) untuk beberapa perusahaan. Hal ini tentu menimbulkan keheranan. Sejak kapan wilayah pesisir, yang seharusnya menjadi ruang publik, dapat begitu saja dimiliki oleh perusahaan? Bukankah laut merupakan sumber daya bersama? Nelayan yang sehari-hari melaut demi mencari nafkah kini harus menghadapi pagar bambu yang menghalangi mata pencaharian mereka. Situasi ini mencerminkan ketidakadilan yang nyata.
Keadaan ini memaksa para nelayan mencari jalur alternatif agar tetap dapat melaut. Mereka yang biasanya berangkat sebelum fajar kini harus mencari celah atau bahkan terpaksa berhenti melaut. Masalah ini tidak hanya berkaitan dengan akses, tetapi juga dengan keberlangsungan hidup mereka. Jika laut tertutup, bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan keluarga? Bagaimana nasib anak-anak mereka yang membutuhkan biaya pendidikan? Persoalan ini bukan sekadar tentang pagar bambu, tetapi juga tentang pembatasan terhadap harapan dan masa depan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, muncul pula pertanyaan mengenai legalitas HGB tersebut. Masyarakat mulai mempertanyakan bagaimana proses penerbitannya. Apakah prosedur yang berlaku telah diikuti dengan benar? Apakah keputusan ini telah mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat setempat? Transparansi menjadi hal yang krusial, tetapi dalam kasus ini, justru banyak aspek yang tampak tidak jelas.
Dari segi ekonomi, dampaknya sangat besar. Nelayan kehilangan sumber utama penghidupan, yang dapat berujung pada peningkatan angka kemiskinan di wilayah pesisir. Jika pemerintah akhirnya memutuskan untuk membongkar pagar tersebut, biaya tambahan harus dikeluarkan. Ironisnya, anggaran yang seharusnya dapat dialokasikan untuk program pemberdayaan nelayan justru harus digunakan untuk mengatasi permasalahan yang sebenarnya bisa dicegah sejak awal.
Dari perspektif politik, kasus ini menjadi tantangan bagi pemerintah. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa semakin menurun karena lambannya respons terhadap permasalahan ini. Bagaimana mungkin hal sebesar ini terjadi tanpa adanya pengawasan ketat? Masyarakat berhak mendapatkan penjelasan yang jelas dan transparan.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang budaya, profesi nelayan bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga bagian dari identitas masyarakat pesisir. Laut bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga tempat mereka berdoa, mencari nafkah, dan meneruskan tradisi turun-temurun. Jika akses ke laut dibatasi, perlahan-lahan budaya mereka pun akan tergerus. Konflik sosial juga berpotensi muncul, sebab masyarakat yang merasa haknya dirampas tentu tidak akan tinggal diam.
Dari aspek akuntansi, banyak pertanyaan yang perlu dijawab. Bagaimana anggaran proyek ini dialokasikan? Apakah telah dilakukan analisis biaya dan manfaat sebelum pembangunan pagar ini? Apakah dampak yang dihasilkan sepadan dengan biaya yang telah dikeluarkan? Jika tidak, maka proyek ini dapat dikategorikan sebagai bentuk pemborosan anggaran.
Sementara itu, dalam konteks hubungan internasional, pembangunan pagar laut dapat menimbulkan dampak lebih luas. Jika proyek ini menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir, dampaknya tidak hanya terbatas pada masyarakat setempat, tetapi juga dapat memengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara tetangga. Isu hak asasi manusia juga dapat menjadi sorotan global, terutama jika masyarakat lokal merasa hak mereka dilanggar.
ADVERTISEMENT
Solusi yang paling rasional adalah membongkar pagar tersebut. Pemerintah harus bertindak cepat dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan serta TNI Angkatan Laut. Selain itu, penerbitan HGB di wilayah pesisir harus ditinjau ulang. Jika ditemukan pelanggaran, maka izin tersebut harus dicabut.
Lebih jauh, pengawasan terhadap wilayah pesisir perlu diperketat agar kejadian serupa tidak terulang. Pemerintah juga harus memastikan bahwa nelayan yang terdampak mendapatkan bantuan, baik dalam bentuk dukungan ekonomi maupun pelatihan keterampilan baru. Yang paling penting, masyarakat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait wilayah pesisir, karena ini bukan hanya masalah kebijakan, tetapi juga menyangkut kehidupan mereka.
Kisah pagar laut di Tangerang ini menjadi pengingat bahwa kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat kecil dapat berujung pada ketidakadilan. Laut seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi semua, bukan hanya bagi segelintir pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Semoga keadilan tetap memiliki tempat di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Penulis: Fajri Muhammad & Mytha Chandra Dewi.