Konten dari Pengguna

Tata Kelola Syariah: Bisa Cegah Fraud? Atau Hanya Formalitas?

Mytha Chandra Dewi
Lahir di Purworejo, 3 Agustus 2000. Saat ini sedang berkuliah S2 Akuntansi di Undip Semarang.
5 Februari 2025 10:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mytha Chandra Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
fototatakelolaperusahaansyariah.fotomilikpenulis
zoom-in-whitePerbesar
fototatakelolaperusahaansyariah.fotomilikpenulis
ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu berpikir bahwa dalam dunia bisnis, terutama perbankan syariah, terdapat aturan yang sangat ketat dengan tujuan mencegah kecurangan? Namun, pertanyaannya, apakah aturan ini benar-benar membuat orang lebih jujur? Atau, jika ada kesempatan dan tekanan, mereka tetap bisa tergoda untuk berbuat curang?
ADVERTISEMENT
Di dalam perusahaan, setiap individu memiliki nilai moral dan motivasi yang berbeda-beda. Ada yang bekerja dengan penuh integritas, tetapi ada juga yang mudah tergoda untuk mencari jalan pintas. Ternyata, motivasi dan moral individu dapat menjadi faktor utama seseorang melakukan fraud atau kecurangan. Hal ini menarik karena, meskipun sistem tata kelola syariah dirancang seketat mungkin, jika seseorang tidak memiliki niat baik, peluang untuk berbuat curang tetap ada.
Misalnya, seorang karyawan di bank syariah yang setiap hari berhadapan dengan transaksi keuangan dalam jumlah besar. Bank ini telah menerapkan sistem pengawasan ketat, termasuk adanya Dewan Pengawas Syariah, audit internal, dan berbagai mekanisme lainnya. Namun, jika karyawan tersebut memiliki keinginan untuk cepat kaya atau merasa tertekan oleh target yang tinggi, ia bisa saja mencari celah untuk memanipulasi laporan keuangan. Sistem yang ketat tidak akan cukup jika mentalnya tidak kuat, karena godaan bisa datang dari mana saja.
ADVERTISEMENT
Ada penelitian yang menunjukkan bahwa faktor moral dapat dipengaruhi oleh lingkungan kerja. Jika dalam perusahaan terdapat budaya yang menormalisasi "jalan pintas" atau kecurangan kecil-kecilan, lama-kelamaan hal itu bisa menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Terlebih lagi jika dalam organisasi tidak ada kontrol sosial yang kuat. Teori Social Control menyatakan bahwa seseorang cenderung lebih patuh jika merasa diawasi dan jika aturan benar-benar ditegakkan. Jadi, meskipun tata kelola syariah sudah baik, jika pengawasan lemah, celah untuk fraud tetap ada.
Lalu, bagaimana dengan motivasi? Ini menarik, karena motivasi seseorang untuk berbuat curang tidak selalu berkaitan dengan uang. Terkadang, seseorang melakukan kecurangan karena merasa sistem di tempat kerja tidak adil. Misalnya, seorang karyawan yang telah bekerja keras tetapi tidak mendapatkan apresiasi, sementara rekannya yang lebih santai justru lebih cepat naik jabatan. Rasa ketidakadilan ini dapat mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan sebagai bentuk "balas dendam" atau sekadar memenuhi ambisi pribadi.
ADVERTISEMENT
Banyak penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa tata kelola syariah dapat menekan risiko fraud, tetapi belum banyak yang membahas bagaimana moral dan motivasi individu berperan dalam hal ini. Padahal, jika dilihat dari sudut pandang perilaku manusia, sistem secanggih apa pun tidak akan bisa menjamin nol persen kecurangan jika individunya tidak memiliki moral yang kuat.
Jadi, jika membahas solusi, mungkin tata kelola syariah perlu lebih dari sekadar aturan dan pengawasan. Perusahaan juga harus membangun budaya yang benar-benar menanamkan nilai-nilai etika, bukan sekadar formalitas. Misalnya, dengan memberikan pelatihan moral, menciptakan lingkungan kerja yang adil, dan memastikan bahwa setiap individu merasa dihargai. Karena pada akhirnya, fraud bukan hanya soal kesempatan, tetapi juga soal pilihan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana menurutmu? Apakah sistem yang ketat saja sudah cukup, atau perlu pendekatan lain agar orang benar-benar tidak tergoda untuk berbuat curang?