Ketentuan Pembatalan Hibah di Pengadilan Agama

Muhammad Adnan Zaid Syahbana
Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2022
Konten dari Pengguna
28 April 2024 9:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Adnan Zaid Syahbana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Foto: https://www.pexels.com/id-id/
Pengadilan sendiri merupakan suatu lembaga tempat dimana mengadili atau menyelesaikan sebuah sengketa hukum dalam hal sebagai kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan absolut dan juga relatif sesuai perundang-undangan. Kewenangan pengadilan agama sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kewenangan absolut yang mengadili berdasarkan materi hukum dan juga kewenangan relatif yang mengadili berdasarkan wilayah dan daerah. Kewenangan Absolut Pengadilan Agama sendiri diatur dalam pasal 49 jo. Pasal 50 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Pasal 49 Ayat (1) menyebutkan: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah yang dilakukan berdasarkan hukum islam.
ADVERTISEMENT
Dalam kewenangan absolut sendiri, Pengadilan Agama sendiri memiliki kekuasaan untuk mengurusi berbagai permasalahan hukum, salah satunya yang akan saya bahas mengenai ”Ketentuan Pembatalan Hibah di Pengadilan Agama”. Hibah sendiri sebenarnya sudah diatur dalam Perundang- Undangan Indonesia, yaitu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) Pasal 1666-1693 dan juga pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 210-214.
Pengertian hibah sendiri menurut KUHPerd Pasal 1666 dijelaskan bahwa “Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-Undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup”. Sedangkan menurut KHI Pasal 171 huruf g dijelaskan bahwa “Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, pemberian hibah tidak dapat dibatalkan, kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 1688 KUHPerd, yaitu:
1. jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah
2. jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah
3. jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya.
Pada KHI sendiri juga diatur mengenai pembatalan hibah yang diatur pada Pasal 212 yang mengatakan bahwa “Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya”. Pada pasal ini dijelaskan bahwa tidak bisa hibah yang sudah diberikan untuk ditarik atau dibatalkan, kecuali hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya. Akan tetapi, walaupun tertutup kemungkinan untuk membatalkan barang hibah yang sudah diberikan, pembatalan hibah bisa dilakukan jika memang tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan seperti seseorang yang menghibahkan belum cakap hukum, melebihi jumlah barang hibah, dan barang yang bukan miliknya, hal ini sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 210 Ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan:
ADVERTISEMENT
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Perlu diingat bahwa Hakim Pengadilan Agama memutuskan dan mengadili suatu perkara tidak hanya berpikir menggunakan pemikiran positif saja yang selalu terpaku kepada Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, akan tetapi juga berpikir menggunakan pemikiran filosofis dalam menyelesaikan suatu perkara sehingga Hakim biasanya memiliki penafsiran terhadap hukum sendiri yang dianggap penafsirannya akan mendapatkan keputusan hukum yang bisa mendatangkan keadilan bagi seluruhnya.