Utang Negara Melonjak Akibat Pandemi, Mampukah Dihadapi?

Nabela Safira
Mahasiswa Pendidikan Ekonomi 2018, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
26 Juni 2020 13:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nabela Safira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar : pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar : pixabay.com
ADVERTISEMENT
Turunnya aktivitas perekonomian akibat virus Covid-19 telah mengakibatkan timbulnya kesulitan ekonomi di tengah masyarakat. Perekonomian Indonesia diprediksi berpotensi mengalami resesi yang lebih berat dibandingkan krisis moneter yang terjadi pada 1998. Alhasil, pemerintah telah memutuskan untuk melakukan pelonggaran defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 5,07 persen sampai pada 2022.
ADVERTISEMENT
Pelebaran defisit ini dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah mengantisipasi besarnya dampak dari virus corona pada perekonomian Indonesia. Kebijakan defisit APBN merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendorong penggunaan anggaran ekspansif yang membuat belanja negara lebih besar daripada pendapatan negara. Pemerintah akan memanfaatkan defisit yang telah ditetapkan untuk digunakan sebagai belanja barang modal dan jasa agar terjadi multiplier effect yang membuat ekonomi dapat berjalan lebih cepat. Defisit tersebut bisa menjadi pendorong agar ekonomi negara tetap terus bergerak meski sedang ditengah ketidakpastian global.
Selain itu, berbagai kebijakan stimulus pun dikeluarkan oleh pemerintah untuk melakukan pemulihan ekonomi salah satunya dengan melakukan utang. Berdasarkan data dari Bank Indonesia per Februari 2020, posisi utang Indonesia tembus hingga Rp. 6.376 triliun (kurs Rp. 15.600) dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 36 persen. Utang sebesar Rp. 6.376 triliun itu terdiri dari Utang Luar Negeri sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 203,3 miliar dollar AS dan Utang Luar Negeri sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 204,2 miliar dollar AS.
ADVERTISEMENT
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan DJPPR, Riko Amir mengatakan total kebutuhan pembiayaan selama pandemi mencapai Rp. 1.439,8 triliun. Angka tersebut terdiri dari pembiayaan utang netto sebesar Rp. 1.006,4 triliun yang berasal dari pembiayaan defisit Rp. 852,9 triliun dan pembiayaan investasi Rp. 153,5 triliun. Sisanya sebesar Rp. 433,4 triliun adalah pembiayaan untuk utang bruto.
Apakah besarnya utang Indonesia masih tergolong aman?
Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa rasio utang terhadap PDB maksimal sebesar 60 persen. Sehingga kisaran rasio utang Indonesia terhadap PDB yang saat ini sebesar 36 persen masih dalam batas aman.
Bank Indonesia (BI) pun menyebut, utang luar negeri pemerintah dikelola dengan hati-hati serta selalu dilakukan secara prudent dan profesional. Utang pemerintah dibelanjakan untuk keperluan sektor prioritas. Sektor prioritas tersebut meliputi sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (23,4 persen dari total ULN Pemerintah), sektor jasa pendidikan (16,3 persen), sektor konstruksi (16,2 persen), sektor jasa keuangan dan asuransi (12,8 persen) serta sektor administrasi pemerintah, pertahanan dan jaminan sosial wajib (11,6 persen).
ADVERTISEMENT
Peringkat utang negara menurut beberapa lembaga pemeringkat pun dinilai masih cukup sehat. Fitch Rating misalnya, memberikan peringkat utang Indonesia di BBB dengan outlook stabil. Fitch Rating menilai dampak pelonggaran defisit APBN di tengah pandemi akan bergantung pada seberapa besar penerbitan surat utang denominasi asing serta dilihat dari kondisi penerimaan negara. Selain itu, Moody’s memberikan peringkat utang Indonesia di Baa2 dengan outlook stabil. Moody’s melihat bahwa utang Indonesia berada dalam jangka waktu yang panjang.
Berbeda dengan dua lembaga pemeringkat sebelumnya, S&P Global memberikan peringkat utang Indonesia di BBB dengan outlook negatif. Outlook diubah dari yang sebelumnya stabil menjadi negatif karena dinilai dalam beberapa waktu ke depan, Indonesia akan menghadapi kenaikan resiko eksternal dan juga fiskal akibat naiknya utang luar negeri dan beban pemerintah dalam membiayai penanganan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kita menghadapinya?
Melakukan utang tidak selamanya berkonotasi negatif apabila utang tersebut dikelola dengan baik. Yang berarti utang yang dilakukan pemerintah dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya produktif dan investasi dalam jangka panjang seperti membangun infrastruktur, membiayai pendidikan dan kesehatan yang dalam jangka panjang akan menghasilkan dampak berlipat untuk ke depannya.
Tetapi, terdapat pandangan yang berbeda mengenai utang berdasarkan Ricardian Equivalence. Pandangan tersebut menyebutkan utang pemerintah bersifat netral terhadap perekonomian maupun konsumsi masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Utang negara tidak akan memberi dampak, baik yang menguntungkan maupun merugikan bagi generasi yang akan datang. Ini disebabkan karena masyarakat berpandangan ke depan dan rasional sehingga mereka sadar bahwa excess income yang mereka dapatkan sekarang akan dibayar oleh generasi selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat memahami bahwa peningkatan utang pemerintah saat ini sebagai akibat dari pemotongan pajak yang akan menyebabkan pajak yang lebih tinggi di masa depan. Sehingga masyarakat yang mempunyai pandangan ke depan tidak menggunakan peningkatan pendapatan setelah pajak untuk keperluan pengeluaran konsumsi namun akan ditabung dalam rangka membayar kewajiban pajak di masa yang akan datang.
Namun tentu saja utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian. Selama perekonomian Indonesia dapat kembali pulih di tengah melambatnya ekonomi global karena pandemi, dan disertai dengan pengelolaan APBN yang bijak maka kita dapat optimis untuk mengurangi utang yang ada. Kita sebagai masyarakat harus turut mengawasi agar penggunaan utang negara dapat tepat sasaran. Dan juga memberikan kritikan yang membangun kepada pemerintah untuk tetap menjaga kesehatan keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Penulis :
Nabela Safira
Mahasiswa Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta