Bonus Demografi Indonesia: Anugerah atau Malapetaka?

Muhammad Nabiel Hakim
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
12 Desember 2023 16:29 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nabiel Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak muda healing. Foto: interstid/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak muda healing. Foto: interstid/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia Maju dan Indonesia Emas 2045, keduanya adalah istilah yang akhir-akhir ini kerap kita dengar dari pemerintah. Namun, bukan tanpa alasan pemerintah selalu menggaungkan kedua visi tersebut.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, berdasarkan kajian Tim Deputi I Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Tahun 2017, bahwa Indonesia di tahun 2045 berpeluang untuk menjadi negara berpendapatan tinggi (lebih dari USD 12.535 per kapita) dengan pendapatan per kapita sebesar USD 30.000 dan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar USD 9,1 miliar, yang keduanya menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia.
Lebih lanjut, pada tahun 2020-2045 Indonesia juga diprediksi akan mengalami bonus demografi, yaitu suatu kondisi ketika postur penduduk sebuah negara didominasi oleh penduduk usia produktif atau 60% di antaranya adalah penduduk berusia 15-64 tahun.
Khusus di tahun 2045, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia dalam Laporan Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 324,05 juta jiwa dengan penduduk usia produktif sebanyak 213,18 juta (65,79%), sedangkan jumlah penduduk usia tidak produktif sebanyak 110,87 juta (34,21%) yang terdiri dari 65,82 juta penduduk usia tidak produktif (di atas 65 tahun) dan 45,05 juta penduduk usia belum produktif (0-14 tahun).
ADVERTISEMENT
Penduduk usia produktif yang melimpah di sebuah negara sejatinya sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber tenaga kerja, pelaku usaha, hingga konsumen yang keseluruhannya dapat meningkatkan roda perekonomian nasional. Namun, semua “mimpi indah” tersebut tidak dapat dicapai tanpa adanya usaha konkret berupa kebijakan-kebijakan yang dapat memaksimalkan bonus demografi.
Artinya, terdapat sejumlah hal yang harus dipersiapkan guna menyelesaikan sederet permasalahan sosial dan ekonomi serta memastikan antara kuantitas dan kualitas manusia Indonesia dapat berjalan beriringan, sehingga dapat berkontribusi secara nyata bagi pembangunan republik ini.

Permasalahan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia

ilustrasi pengangguran Foto: Shutterstock
Pembangunan SDM merupakan salah satu permasalahan sosial yang cukup kompleks dan belum sepenuhnya terselesaikan di Indonesia. Adapun salah satu permasalahan SDM di Indonesia adalah masih tingginya angka pengangguran yang mencapai 7,86 juta jiwa atau setara dengan 5,32% per Agustus 2023.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari kualitas tenaga kerja Indonesia yang belum seluruhnya qualified dengan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja, ketimpangan pembangunan dan ekonomi antar wilayah (khususnya di daerah terluar dan tertinggal), bertambahnya jumlah angkatan kerja setiap tahun yang tidak seimbang dengan ketersediaan lapangan kerja, hingga persoalan mentalitas dan produktivitas pekerja Indonesia yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara lain.
Sayangnya, tingginya angka pengangguran juga diperumit oleh fakta bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia masih tergolong rendah dengan skor 74,39. Skor ini relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura (93,9), Malaysia (80,3), hingga Thailand (80,0).
Padahal, IPM sangatlah penting karena merupakan indikator keberhasilan pembangunan manusia di suatu negara yang terkait dengan peningkatan kualitas hidup seperti angka harapan hidup, kesehatan masyarakat, hingga permasalahan pendidikan dan kelayakan tempat tinggal.
ADVERTISEMENT
Tak cukup sampai di situ, republik ini juga menghadapi tantangan berupa tingkat kecerdasan intelektual (Intelligence Quotient/IQ) masyarakatnya yang masih rendah. Hal ini berdasarkan data World Population Review Tahun 2023 yang menempatkan Indonesia pada peringkat ke-126 dunia dengan Skor IQ 78,49, yang mana skor ini sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara dengan Skor IQ terendah di Asia Tenggara.
Padahal, IQ sendiri merupakan salah satu indikator penting yang menentukan kemajuan bangsa karena menyangkut persoalan kemampuan nalar dan logika seseorang yang berhubungan erat dengan bagaimana seorang individu dapat memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan merencanakan sesuatu.
Pada persoalan pendidikan, masyarakat Indonesia secara umum masih cukup memprihatinkan, di mana persentase lulusan pendidikan tinggi (D1-S3) masih cukup rendah yaitu 11,9% atau setara dengan 12,9 juta jiwa dari total 275 juta jiwa penduduk.
ADVERTISEMENT
Angka ini berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Tahun 2022, yang mana secara umum postur pendidikan masyarakat Indonesia masih didominasi oleh 23,4% lulusan Sekolah Dasar (SD), 14,54% lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan 20,89% lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Bahkan masih terdapat 11,14% penduduk yang belum tamat SD.
Artinya, tingkat pendidikan tinggi yang belum optimal tentu akan berpengaruh pada pola pikir dan kemampuan problem solving masyarakat dalam menghadapi masalah. Alhasil, dalam beberapa kesempatan masyarakat kita cenderung sulit untuk ditertibkan dan diarahkan menuju hal-hal positif, di mana hal ini juga berakibat pada terbentuknya mentalitas dan etos kerja yang relatif lemah dan berimbas pada produktivitas kerja yang rendah.
ADVERTISEMENT

Bonus Demografi: Anugerah atau Malapetaka?

Ilustrasi anak muda. Foto: Odua Images/Shutterstock
Sederet permasalahan tersebut apabila tidak mendapatkan perhatian yang serius dari kita, khususnya pemerintah, tentu akan menjadi “bom waktu” yang sangat mematikan mengingat pertumbuhan penduduk usia produktif yang semakin bertambah setiap tahunnya. Potensi “bom waktu” yang dimaksud adalah berpotensi menimbulkan permasalahan sosial yang lebih kompleks.
Misal, makin tingginya angka pengangguran tentu berpotensi meningkatkan aksi kriminalitas yang bermotifkan desakan ekonomi karena nihilnya pendapatan seseorang. Contoh lain adalah ketika kondisi IPM atau indeks sarjana sebuah negara itu rendah, maka masyarakatnya pun cenderung tidak kritis dan minim literasi sehingga mudah diadu domba oleh sebuah isu yang masih belum jelas kebenarannya.
Alhasil, mutlak hukumnya bagi seluruh pihak, khususnya pemerintah, untuk menemukan solusi konkret dan komprehensif guna menyelesaikan seluruh permasalahan tersebut agar banyaknya jumlah penduduk usia produktif tidak menjadi hal yang sia-sia, melainkan menjadi senjata utama bangsa Indonesia dalam mengarungi persaingan global yang semakin cepat dan penuh ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks tersebut, upaya konkret dapat diimplementasikan dalam bentuk kebijakan publik yang baik dan tepat sasaran. Misal, dalam penanganan stunting, selayaknya pemerintah memperhatikan dan memfasilitasi kebutuhan asupan gizi ibu hamil melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di seluruh Indonesia.
Dalam hal ini, pemberian sejumlah asupan seperti Asam Folat, Vitamin D, Zat Besi, hingga Protein kepada ibu hamil tentu akan menciptakan generasi yang prima secara fisik dan kognitif sehingga akan menciptakan kemampuan nalar yang baik ketika beranjak dewasa, di mana kemampuan nalar yang baik akan menghasilkan pemikiran dan tindakan positif. Hal ini amat penting mengingat pembangunan SDM juga harus dilakukan sedini mungkin, termasuk sejak usia kehamilan.
Lebih lanjut, pada persoalan pendidikan, yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah ketersediaan akses bagi seluruh masyarakat Tanah Air. Artinya, sudah selayaknya 78 tahun republik ini berdiri tidak ada lagi masyarakat yang kesulitan untuk mengakses pendidikan dasar seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
ADVERTISEMENT
Adapun cara memperluas ketersediaan akses pendidikan ini dapat dilakukan dengan cara menjamin pembiayaan selama proses wajib belajar 12 tahun atau memperbesar anggaran dari program-program beasiswa pemerintah yang telah ada.
Tak sampai di situ, pemerintah juga selayaknya meramu sebuah kebijakan yang dapat meningkatkan akses masyarakat dalam menempuh pendidikan tinggi. Misal, melalui program sekolah kedinasan atau beasiswa kedinasan yang lebih diperbanyak jumlahnya maupun program jaminan pembiayaan dalam persiapan mengikuti seleksi beasiswa pendidikan tinggi dari pemerintah, sehingga generasi muda Indonesia dapat fokus untuk mengikuti seleksi masuk beasiswa tersebut tanpa harus memikirkan atau terhambat oleh komponen biaya persiapan pendaftarannya seperti tes TOEFL, IELTS, dan sejenisnya.
Tak kalah penting, adalah penciptaan iklim investasi yang kondusif melalui proses perizinan yang terintegrasi dan efisien. Kondusifitas akan melancarkan arus investasi, baik dalam maupun luar negeri, sehingga akan berimbas pada terbukanya lapangan kerja. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk tetap berkomitmen terhadap aksi pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Hal ini amat penting karena sebagus apa pun sistem direncanakan, tidak akan berjalan maksimal apabila birokrat-birokrat di dalamnya tidak berintegritas dalam menjalankan tugasnya sehingga hasil kerja yang diperoleh pun tidak akan maksimal dan cenderung merugikan negara.
Terakhir, penting bagi pemerintah untuk tetap memperhatikan laju pertumbuhan penduduk, mengingat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan menyebabkan terjadinya krisis sosial dan ekonomi karena tidak seimbangnya antara kebutuhan dan ketersediaan, sebagaimana yang terjadi dalam konteks permasalahan pengangguran yang salah satunya adalah disebabkan oleh tidak seimbangnya antara jumlah tenaga kerja dan lapangan kerja.
Oleh karena itu, mutlak hukumnya untuk mengoptimalisasikan kembali program Keluarga Berencana (KB) agar masyarakat Indonesia lebih tertib dan terencana ketika ingin membangun keluarga.
ADVERTISEMENT
Jumlah penduduk usia produktif yang sedemikian besar menjadikan Indonesia di tahun 2045 nanti sebagai negara dengan jumlah angkatan kerja terbanyak di Asia. Alhasil, masa depan bangsa Indonesia sangat dipertaruhkan oleh pemuda-pemudi yang saat ini tengah merintis jalan hidupnya masing-masing.
Selain itu, kebijakan pemerintah saat ini hingga 20 tahun ke depan benar-benar menentukan apakah Indonesia termasuk salah satu negara yang berhasil dalam memanfaatkan bonus demografi sehingga menjadi anugerah yang mengakselerasi kemajuan bangsa, atau justru sebaliknya yaitu gagal memanfaatkannya sehingga membuahkan malapetaka tersendiri bagi keberlangsungan hidup masyarakat.