Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dinasti Politik di Indonesia: Sebuah Keniscayaan?
6 Januari 2024 16:04 WIB
Tulisan dari Muhammad Nabiel Hakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Isu dinasti politik kembali menggema di ruang publik jelang pagelaran Pilpres 2024. Dinasti politik di Indonesia sejatinya bukan hal baru, melainkan telah lama berlangsung sejak era Orde Baru. Dalam sejarahnya, praktik dinasti politik yang diinisiasi oleh penguasa telah menimbulkan praktik kolusi dan nepotisme yang berujung pada tidak maksimalnya kinerja pemerintah dalam menghasilkan kebijakan publik yang tepat sasaran serta menyebabkan kerugian cukup signifikan bagi negara.
ADVERTISEMENT
Pada era Orde Baru, praktik dinasti politik dilakukan oleh Soeharto dengan mengangkat putri sulungnya, Siti Hardijanti Rukmana atau “Tutut Soeharto” sebagai Menteri Sosial di Kabinet Pembangunan VII. Sementara di era Reformasi, praktik dinasti politik di Indonesia belum sepenuhnya hilang. Misal, era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang melakukan praktik dinasti politik dengan mengangkat putri sulungnya, Yenny Wahid, sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik.
Lalu di era Megawati Soekarnoputri praktik dinasti politik terjadi di ranah partai politik, eksekutif dan legislatif, di mana putra keduanya, Prananda Prabowo, menjabat sebagai Ketua Bidang Ekonomi Kreatif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Tak hanya itu, putri satu-satunya Megawati, Puan Maharani, juga menjabat sebagai anggota DPR pada 2009, Menko PMK pada 2014, dan Ketua DPR 2019-2024. Praktik dinasti politik juga terjadi di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di mana kedua putranya terjun ke dunia politik, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR.
ADVERTISEMENT
Terbaru, era Presiden Joko Widodo juga tak luput dari praktik dinasti politik. Hal ini terjadi di periode kedua kepemimpinannya, di mana Jokowi yang dipersepsikan sebagai “The Outsider” mewakili kalangan non elite tetapi pada akhirnya anak hingga menantunya secara bersamaan ikut berpolitik. Mulai dari putra bungsunya, Kaesang Pangarep, yang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Lalu menantunya, Bobby Nasution, menjabat sebagai Walikota Medan. Kemudian adik iparnya, Anwar Usman, sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), hingga putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai Walikota Solo dan Calon Wakil Presiden RI 2024.
Secara umum, definisi dinasti politik adalah kekuasaan yang dipegang oleh segelintir orang atau kelompok, yang di antara mereka masih memiliki hubungan kekeluargaan. Sementara berdasarkan laman Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dinasti politik dianggap sebagai reproduksi kekuasaan yang primitif, di mana tujuan dinasti politik tak lain adalah untuk mempertahankan kekuasaan. Dinasti Politik juga dapat didefinisikan sebagai upaya menempatkan beberapa anggota keluarga untuk menduduki jabatan publik yang strategis dan berpengaruh signifikan.
ADVERTISEMENT
Menariknya, fenomena dinasti politik saat ini tampak tidak begitu mengkhawatirkan dan dipermasalahkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini mengacu pada hasil survei sejumlah lembaga seperti Populi Center yang menyatakan sebanyak 46,3% dari total 1.200 responden menganggap isu dinasti politik adalah hal biasa. Kemudian hasil lainnya dari Indikator Politik Indonesia yang menyatakan sebanyak 33,7% dari total 2.567 responden menganggap isu dinasti politik tidaklah mengkhawatirkan dan 52,6% dari total 2.567 responden merasa tidak masalah dengan dinasti politik selama dipilih langsung oleh masyarakat.
Penyebab Maraknya Dinasti Politik
Sejak diterapkannya desentralisasi dan otonomi daerah, praktik dinasti politik justru semakin marak dan meluas. Praktik kotor yang kerap muncul setiap lima tahunan ini disebabkan oleh sejumlah faktor, salah satunya yang sangat mendasar adalah tidak adanya regulasi yang tegas. Padahal, regulasi adalah salah satu infrastruktur dasar yang amat penting dalam kehidupan bernegara, termasuk pengaturan praktik politik yang memungkinkan terjaganya penerapan demokrasi secara adil, transparan dan objektif.
ADVERTISEMENT
Dalam artian, dinasti politik sebenarnya sudah dilarang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Namun, aturan tersebut digugat oleh salah satu peserta Pilkada 2015 dan dikabulkan oleh MK dengan dalih pasal tersebut melanggar hak individu berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu, aturan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara sah turut menyuburkan dinasti politik karena secara tidak langsung membatasi akses pencalonan. Terlebih, aturan pencalonan perseorangan juga sama sulitnya yaitu minimal 6,5 hingga 10 persen dukungan dari Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Lebih lanjut, mahalnya biaya politik di Indonesia juga berkontribusi terhadap maraknya dinasti politik. Biaya politik yang amat tinggi menyebabkan keterbatasan pembiayaan, bahkan bagi para politisi itu sendiri. Maka, tidak jarang pola pembiayaan politik, baik dalam partai maupun individu, kerap kali dikuasai oleh segelintir kelompok pemodal. Pola pembiayaan tersebut secara tidak langsung membuat praktik politik menjadi elitis dan inilah yang berkelindan dengan tujuan dinasti politik secara umum, yaitu melanggengkan kekuasaan agar akses pada uang dan sumber daya lainnya tetap terjaga. Alhasil, pengambilan keputusan menjadi terpusat di segelintir kelompok dan tidak transparan maupun akuntabel. Tingkah laku elitis inilah yang membuka celah praktik kotor lainnya seperti mahar politik hingga politik uang.
ADVERTISEMENT
Terakhir, karakteristik masyarakat Indonesia yang feodalis dan patron klien juga berkontribusi secara tidak langsung terhadap suburnya dinasti politik. Feodalis dalam hal ini adalah budaya warisan masa lalu era Kerajaan Nusantara, di mana budaya feodal diwujudkan dalam dua praktik yaitu pemberian upeti dan nepotisme. Keduanya adalah praktik korupsi yang merugikan masyarakat dengan motif pengambilan keuntungan dan pelanggengan kekuasaan. Kontribusinya dalam menyuburkan dinasti politik terletak pada persoalan kedekatan dengan penguasa.
Adapun karakter patron klien turut berkontribusi terhadap dinasti politik utamanya terkait relasi antara pelaku politik dengan sejumlah kelompok pendukung, di mana relasi tersebut mencerminkan loyalitas bersyarat dengan manfaat timbal balik tertentu. Artinya, praktik dinasti politik di daerah dapat terjaga hingga bertahun-tahun juga tidak lepas dari peran sejumlah kelompok bahkan tokoh masyarakat yang memiliki kedekatan dan loyalitas kepada politisi dengan timbal balik sejumlah materi atau posisi strategis dalam pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Pola kekuasaan yang feodalis dan patron klien cenderung melemahkan kontrol sosial, sehingga masyarakat cenderung diam dan apolitis. Diamnya publik terhadap penyimpangan kekuasaan dan pengabaian prinsip demokrasi sangatlah berbahaya karena dapat memberikan legitimasi secara tidak langsung kepada para oknum penyelenggara negara bahwa tindakan mereka dapat dibenarkan karena tidak mendapatkan perlawanan. Padahal, kontrol sosial seperti aksi demonstrasi, diskusi, debat, dan sejenisnya sangatlah penting agar terjadi check and balance yang dapat mencegah penyelewengan kekuasaan.
Dampak Buruk Dinasti Politik
Praktik dinasti politik apabila diteruskan akan membahayakan keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Bukan tanpa alasan, maraknya dinasti politik akan melahirkan pemimpin “karbitan” yang tidak memiliki jam terbang mumpuni untuk menahkodai suatu masyarakat dan wilayah, yang mana inkompetensi ini dikhawatirkan akan membuahkan malapetaka ketika kebijakan publik yang dikeluarkan kerap kali tidak tepat sasaran sehingga cenderung merugikan masyarakat dan tidak menyelesaikan permasalahan yang ada.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dinasti politik juga akan menghambat regenerasi kepemimpinan, sehingga individu lain yang berada di luar “circle” kekuasaan atau kekerabatan secara tidak langsung akan tertutup kesempatannya untuk menjadi pemimpin atau mengambil bagian dalam proses pemerintahan. Inilah yang berpotensi menimbulkan masalah sosial seperti kecemburuan dan penurunan kepercayaan publik karena adanya ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan, sekaligus menyalahi prinsip demokrasi yang sejatinya mendambakan kesempatan yang sama pada setiap individu terlepas dari apa pun latar belakangnya.
Lebih lanjut, terhambatnya regenerasi kepemimpinan menyebabkan sirkulasi kekuasaan hanya berputar pada segelintir individu atau kelompok. Walhasil, terbatasnya sirkulasi kekuasaan ini akan menyebabkan lemahnya pengawasan yang berujung pada potensi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini didasarkan pada logika yang sangat sederhana, yaitu pola kekuasaan jika masih dalam lingkup satu keluarga kecenderungannya adalah saling menutupi jika mendapati sebuah masalah karena nama baik keluarga yang dipertaruhkan. Hal inilah yang secara paralel akan menimbulkan masalah lain yaitu maraknya praktik korupsi, sebagaimana data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyatakan setidaknya terdapat tujuh kasus korupsi di era Reformasi yang berkaitan dengan dinasti politik.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, praktik dinasti politik di Indonesia sudah seharusnya dihentikan dan dicegah agar tidak mereduksi esensi pelaksanaan demokratisasi dan amanat Reformasi 1998. Dalam hal ini, proses regenerasi yang berkeadilan dan transparan menjadi kunci transformasi birokrasi yang cepat, tepat dan bersih sehingga dapat mengafirmasi kepentingan masyarakat sekaligus memenuhinya dan mengoptimalisasikan kekuatan daerah dan nasional untuk perbaikan kualitas hidup masyarakat.
Regenerasi yang berjalan baik tentunya harus didukung oleh sistem yang transparan dan objektif, sehingga proses bernegara tidak lagi harus memiliki hubungan yang berpola patron klien, melainkan berjalan sesuai dengan kompetensi dan petunjuk teknis yang ada agar output dalam bentuk kebijakan publik dapat lebih terasa kebermanfaatannya bagi masyarakat. Selain itu, proses pendidikan politik atau kaderisasi juga tidak boleh dinafikan agar terlahirnya pemimpin yang berproses, bukan “karbitan”. Hal ini sangat krusial supaya kelak ketika individu tersebut memimpin masyarakat, ia memiliki kemampuan intelektual dan daya juang yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Terakhir yang tidak kalah penting adalah penguatan kontrol publik terhadap penyelenggara negara. Dalam artian, publik harus selalu kritis dan cermat terhadap hasil kerja para penyelenggara negara, termasuk meluruskan hal-hal yang mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan aktif dalam menyuarakan gagasan dan masukan terhadap perbaikan pola kerja pemerintahan. Pada akhirnya, dinasti politik di Indonesia bukanlah sebuah keniscayaan tetap yang tidak dapat diubah, hanya perlu komitmen bersama, konsistensi, dan mawas diri untuk mewujudkan praktik politik dan birokrasi yang bersih, transparan dan akuntabel.