Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
2 Ramadhan 1446 HMinggu, 02 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Perkawinan Paksa dalam Nikah Siri: Ketika Hak Perempuan Terabaikan
1 Maret 2025 18:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nabiila Husna Lailiya Raksamijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkawinan paksa dan nikah siri adalah dua hal yang berbeda, tetapi keduanya sering kali saling berkaitan, terutama dalam masyarakat dengan norma sosial dan budaya tertentu. Salah satu alasan mengapa perkawinan paksa dilakukan secara siri adalah untuk menghindari pengawasan hukum. Karena nikah siri tidak memerlukan dokumen resmi atau prosedur pencatatan seperti pernikahan yang sah secara hukum, praktik ini kerap dimanfaatkan oleh pelaku perkawinan paksa agar pernikahan tetap berlangsung tanpa ada intervensi dari pihak berwenang.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, masih banyak perempuan yang terjebak dalam perkawinan paksa yang disahkan melalui nikah siri. Dalam banyak kasus, nikah siri dijadikan alat untuk "melegalkan" pernikahan yang sebenarnya terjadi di luar kehendak salah satu pihak, khususnya perempuan. Akibatnya, perempuan yang menikah secara paksa melalui nikah siri kehilangan hak-hak mereka, menjadi lebih rentan terhadap eksploitasi, dan sulit mendapatkan perlindungan hukum jika terjadi permasalahan di kemudian hari.
Perkawinan paksa adalah pernikahan yang terjadi tanpa adanya persetujuan dari kedua belah pihak atau salah satunya. Padahal, tujuan pernikahan adalah untuk membangun kebahagiaan antara suami dan istri. Jika salah satu pihak menikah dalam keadaan terpaksa, maka bukan kebahagiaan yang diperoleh, melainkan penderitaan dan tekanan. Di Indonesia, pernikahan diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 6 Ayat 1 disebutkan bahwa "Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai." Hal ini bearti bahwa pernikahan hanya bisa dilangsungkan jika kedua pihak memberikan persetujuan secara sukarela, tanpa adanya paksaan dari siapa pun, termasuk orang tua atau wali. Perkawinan Paksa ini jelas melanggar hak asasi manusia, termasuk hak untuk memilih pasangan dan hak untuk menikah berdasarkan kesepakatan yang bebas dan sadar. Dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dinyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan pada persetujuan bebas kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) atau catatan sipil. Dalam Islam, nikah siri tetap dianggap sah selama memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Namun, dalam konteks hukum di Indonesia, pernikahan yang tidak tercatat dapat menimbulkan berbagai permasalahan, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.
Meskipun nikah siri tidak selalu berkaitan dengan paksaan, praktik ini sering kali menyulitkan perempuan dalam mendapatkan hak-hak mereka, misalnya dalam kasus perceraian, hak asuh anak, atau hak warisan. Oleh karena itu, ketika nikah siri digunakan sebagai alat untuk melangsungkan perkawinan paksa, dampaknya menjadi lebih besar dan lebih sulit untuk ditangani oleh hukum.
Ada berbagai alasan mengapa perkawinan paksa kerap dilakukan melalui nikah siri, di antaranya:
ADVERTISEMENT
1. Faktor Ekonomi: Beberapa keluarga yang kurang mampu menganggap nikah siri sebagai solusi untuk mengurangi beban finansial, misalnya dalam kasus perjodohan demi kepentingan ekonomi.
2. Faktor Agama: Beberapa orang percaya bahwa selama pernikahan sah menurut agama, maka tidak masalah jika dilakukan secara siri tanpa pencatatan hukum. Hal ini sering dijadikan alasan untuk menghindari dosa zina.
3. Faktor Sosial: Banyak kasus nikah siri yang dilakukan karena adanya kehamilan di luar nikah, tekanan keluarga, utang, perselingkuhan, atau keinginan untuk menikah lagi tanpa hambatan administratif.
Perempuan yang terjebak dalam perkawinan paksa melalui nikah siri sering kali mengalami berbagai kesulitan, baik dalam aspek hukum, sosial, maupun ekonomi. Berikut beberapa dampak negatifnya:
• Tidak ada perlindungan hukum: Karena pernikahan tidak tercatat, perempuan yang bercerai sulit mendapatkan hak nafkah, hak asuh anak, atau hak warisan.
ADVERTISEMENT
• Status anak tidak jelas: Anak yang lahir dari pernikahan siri tidak otomatis memiliki status hukum yang jelas di mata negara, sehingga bisa mengalami kesulitan dalam pencatatan kelahiran atau mendapatkan hak waris.
• Masalah pewarisan: Jika suami meninggal dunia, istri dari pernikahan siri sering kali tidak memiliki hak waris karena tidak tercatat secara hukum.
• Tidak bisa menuntut hak: Karena tidak ada bukti sah pernikahan, perempuan dalam pernikahan siri kesulitan menuntut hak mereka jika ditinggalkan suami.
• Stigma sosial: Dalam beberapa kasus, perempuan yang menikah secara siri mengalami stigma negatif di masyarakat, terutama jika pernikahannya berakhir tanpa pengakuan hukum.
Yang lebih mengkhawatirkan, dalam kasus perkawinan paksa yang dilakukan secara siri, anak juga menjadi pihak yang paling dirugikan. Mereka kehilangan hak untuk memiliki keluarga yang diakui secara hukum dan bisa menghadapi kesulitan sosial serta ekonomi pada masa depan.
ADVERTISEMENT
Untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari dampak buruk nikah siri dan perkawinan paksa, pencatatan pernikahan sangat penting. Surat nikah yang dikeluarkan oleh KUA atau Kantor Catatan Sipil bukan hanya sekadar dokumen, tetapi juga merupakan bukti sah yang bisa digunakan untuk mengeklaim hak-hak hukum dalam pernikahan.
Selain itu, kombinasi antara perkawinan paksa dan nikah siri menciptakan situasi yang sangat berbahaya bagi korban. Mereka menjadi lebih rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, dan kehilangan hak-hak dasar mereka. Oleh karena itu, upaya pencegahan harus dilakukan secara menyeluruh.
Untuk mengurangi praktik perkawinan paksa yang dilakukan melalui nikah siri, diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga hukum, organisasi masyarakat, dan tokoh agama. Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
ADVERTISEMENT
1. Meningkatkan Kesadaran Masyarakat: Edukasi tentang bahaya nikah paksa dan pentingnya pencatatan pernikahan perlu diperkuat melalui berbagai media.
2. Memperkuat Penegakan Hukum: Hukum yang mengatur tentang perkawinan paksa harus ditegakkan dengan lebih ketat agar pelaku bisa mendapatkan sangsi yang tegas.
3. Memberikan Perlindungan kepada Korban: Perempuan dan anak-anak yang menjadi korban nikah paksa dan nikah siri harus mendapatkan perlindungan serta akses ke bantuan hukum.
4. Mendorong Pencatatan Perkawinan: Pemerintah perlu memperkuat sistem pencatatan pernikahan dan memberikan insentif agar lebih banyak pasangan mencatatkan pernikahannya secara resmi.
Perkawinan paksa yang dilakukan melalui nikah siri bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga menciptakan banyak permasalahan hukum dan sosial, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Tanpa pencatatan yang sah, mereka menjadi rentan terhadap eksploitasi dan kesulitan dalam mengakses hak-hak dasar mereka.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya kesadaran, regulasi yang lebih kuat, serta kerja sama antara berbagai pihak, diharapkan praktik nikah paksa dan nikah siri yang merugikan dapat diminimalkan. Perkawinan seharusnya menjadi ikatan yang didasarkan pada persetujuan dan kebahagiaan bersama, bukan keterpaksaan yang membawa penderitaan. hak asasi manusia.
Daftar Pustaka:
Tengku Erwinsyah bana, ”Sistem Hukum Pernikahan pada Negara Hukum Berdasarkan Pancasila”, Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3, No. 1.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang pernikahan.