Konten dari Pengguna

Mengulas Konsep Sustainability Gereja Blenduk

nabiila yulianni putri
Mahasiswi jurusan arsitektur Universitas Pembangunan Jaya (UPJ).
16 Februari 2025 13:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari nabiila yulianni putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Arsitektur Gereja Blenduk. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Arsitektur Gereja Blenduk. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Keberlanjutan atau sustainability merupakan konsep yang meminimalisir dampak lingkungan serta berfokus pada sumber daya alam yang berkelanjutan guna efisiensi energi serta dapat dimanfaatkan terus menerus. Selain itu, sustainability juga berfokus pada aspek sosial budaya dengan mempertimbangkan kebutuhan serta kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Beberapa prinsip sustainability meliputi pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan, efisiensi energi, kualitas dan kesehatan ruangan, pengolahan limbah, pengurangan emisi, hingga memperhatikan kondisi sosial budaya.
ADVERTISEMENT
William McDonough (2002) dalam Cradle to Cradle: Remaking the Way We Make Things menekankan bahwa produk harus dapat berputar kembali ke lingkungan dan memiliki dampak seminim-minimnya guna menjaga keberlanjutan begitupun dengan arsitektur.
Arsitektur kolonial di Indonesia juga berupaya dalam menciptakan desain yang berkelanjutan. Meskipun mengadopsi gaya arsitektur Eropa tetapi adanya respon desain terhadap iklim tropis Indonesia sehingga bangunan lebih adaptif baik berkaitan dengan tata letak, penggunaan overhang atau teritisan, hingga pengaturan bukaan untuk penghawaan maupun pencahayaan. Kemudian, bangunan-bangunan tersebut juga tahan lama dan kembali difungsikan baik sesuai dengan fungsi terdahulu maupun dipertahankan kelestariannya dengan menampung fungsi baru (adaptive reuse) serupa dengan pernyataan McDonough mengenai siklus ataupun perputaran kembali sehingga bangunan tidak ‘terbuang’ sia-sia.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali bangunan kolonial di Indonesia yang masih berdiri hingga kini bahkan masih beroperasi sebagaimana mestinya seperti Gereja Blenduk (GPIB Immanuel Semarang) yang merupakan salah satu gereja tertua di Jawa Tengah yang terletak di Jalan Letjen Suprapto, Kota Lama Semarang. Gereja Blenduk menarik untuk diulas karena Gereja Blenduk merupakan salah satu bangunan kolonial yang masih berfungsi hingga kini serta eksistingnya masih terlihat apik dan hanya memiliki sedikit perubahan. Maka dari itu, hal ini memunculkan ketertarikan tersendiri bagaimana bangunan tetap kokoh berdiri hingga ratusan tahun dan tetap dapat merespon iklim dengan baik?
Gereja Blenduk dibangun oleh bangsa Portugis pada tahun 1753 mulanya berbentuk rumah panggung yang beratap tajuk hingga akhirnya dilakukan renovasi pada tahun 1787 dengan atap kubah yang menjadi cikal bakal nama Gereja Blenduk (blenduk berarti kubah). Gereja Blenduk kembali direnovasi pada tahun 1894 oleh HPA de Wilde dan W. Westmaas dengan penambahan menara serta adanya kolom Tuscan dan hiasan puncak. Renovasi gereja kembali dilakukan pada tahun 2003 dengan penambahan ruangan berupa kamar mandi dekat pintu timur sebagai fasilitas penunjang kegiatan di gereja.
ADVERTISEMENT
Gereja Blenduk dapat dikatakan memiliki bentuk yang cukup unik, denah Gereja Blenduk berbentuk oktagonal dan memiliki empat pintu yang masing-masing menghadap ke arah mata angin yang berbeda. Selain itu, mimbar gereja tidak segaris lurus dengan pintu masuk yang menghadap ke arah jalan utama melainkan menghadap ke pintu timur dekat dengan Taman Srigunting karena pada masa kolonial, mayoritas jemaat gereja memarkirkan kudanya di taman tersebut dan pintu timur sebagai akses masuk utama dibanding pintu selatan yang mengarah ke jalan utama. Tetapi, secara arsitektural, pintu selatan yang meghadap ke arah jalan utama memiliki desain bak pintu utama dengan desain seperti lobby yang ditopang dengan kolom-kolom Tuscan. Selain itu, konstruksi Gereja Blenduk cukup kokoh dikarenakan dinding-dinding yang tebal.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya eksteriornya saja yang dijaga sedemikian rupa, interior gereja pun tetap dijaga dengan apik. Peletakkan hingga material kursi jemaat tidak diubah dan masih orisinil, lalu lantai tegel yang masih terawat dengan apik hingga orgel atau alat musik pengiring masih terpampang di dalam gereja meskipun sudah tidak dapat lagi berfungsi. Walaupun begitu, tetap terjadi perubahan pada beberapa sisi gereja seperti penggantian lantai tegel menjadi keramik pada area pintu barat, pintu utara yang dialih fungsikan menjadi ruang bagi pengurus gereja, pembobokan tembok area tertentu guna instalasi kelistrikan dan juga penggunaan pengondisi udara.
Sustainability Gereja Blenduk dapat dilihat dari upaya pasif desainnya yang memanfaatkan bukaan pada area atas mengelilingi kubah serta adanya baling-baling udara pada area bawah ditambah dengan bukaan yang berjalusi. Bukaan ini dirancang agar penghawaan alami dapat optimal di dalam bangunan. Bukaan yang berada di bawah bermanfaat sebagai pengontrol suhu ruangan sehingga udara sejuk dapat masuk ke dalam bangunan sedangkan bukaan yang berada di atas sebagai jalur keluar udara panas (stack ventilation). Hal ini sebagaimana dengan prinsip udara panas yang bermassa lebih ringan berada di atas udara yang lebih sejuk. Tidak hanya berfokus pada penghawaan alami saja, penggunnaan kaca patri yang cukup luas dan tersebar di beberapa sisi bangunan juga mengoptimalkan pencahayaan alami di dalam bangunan sehingga pada saat siang hari, penggunaan lampu tidak diperlukan. Selain itu, dengan langit-langit yang cukup tinggi sehingga tidak hanya memberikan kesan keagungan Tuhan tetapi juga memungkinkan penyebaran cahaya alami di dalam ruangan serta sirkulasi udara yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya berfokus pada penghawaan dan pencahayaan saja, Gereja Blenduk juga memiliki overhang sebagai sun shading atau penghalau matahari yang dapat dilihat dari bukaan yang menjorok ke dalam. Meskipun begitu, sedikit disayangkan jarak sun shading tergolong cukup dekat terkecuali pada area pintu selatan yang memiliki penutup dengan panjang +/- 5 meter. Sehingga pada pintu utama diperlukan kanopi tambahan sebagai sun shading.
Meskipun mengadopsi desain-desain yang adaptif, tetapi material-material yang digunakan di gereja berasal dari Eropa sehingga tidak sejalan dengan upaya mengurangi emisi karbon. Tetapi, tetap ada sisi positif yang perlu disadari karena material tersebut cenderung awet sehingga dapat mengurangi sampah konstruksi.
Dapat disimpulkan bahwa ada upaya Gereja Blenduk dalam mencapai sustainability dengan pasif desainnya yang diwujudkan dengan bukaan-bukaan yang dapat mengoptimalkan penghawaan serta pencahayaan alami serta langit-langit gereja yang tinggi. Selain itu, posisi bukaan pun cenderung menjorok ke dalam dengan adanya sun shading sehingga cahaya yang masuk tidak mengganggu. Kemudian bangunan gereja yang masih berfungsi hingga kini juga dijaga kelestariannya dan bangunan tidak terbengkalai. Namun, penggunaan material yang dipakai berasal dari Eropa tidak sejalan dengan pengurangan emisi karbon, alangkah baiknya jika bangunan memanfaatkan material setempat.
ADVERTISEMENT
Sumber:
Hakim, Bhanu Rizfa, Yudha Buana Hakim, Imam Rosadi, Ilham Firdausy, Nurtati Soewarno. Sustainability Pada Bangunan Kolonial Bersejarah Museum Negeri Mulawarman Tenggarong, Kalimantan Timur. Jurnal Reka Karsa, Vol. 2 No. 2(2014).
McDonough, William, Michael Braungart. 2002. Cradle to Cradle: Remaking the Way We Make Things. US. North Point Press.
Tanjungansari, Chyndy Aisya, Antariksa, Noviani Suryasari. Karakter Spasial Bangunan Gereja Blenduk (GPIB Immanuel) Semaran. Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya, Vol. 4 No. 2 (2016).