Gelombang Diskriminasi Etnis Tionghoa Akibat Covid-19: Indonesia Perlu Waspada

Nabil Fiady
Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
15 Mei 2020 14:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nabil Fiady tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana di Stasiun Hankou, Wuhan pasca pemberhentian lockdown di Wuhan. Foto: AP Photo/ Ng Han Guan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana di Stasiun Hankou, Wuhan pasca pemberhentian lockdown di Wuhan. Foto: AP Photo/ Ng Han Guan
ADVERTISEMENT
Sejak awal tahun 2020, virus Corona mulai menjadi momok menakutkan di berbagai negara. Pasalnya, virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok ini mudah menulari manusia dan memiliki efek yang sangat berbahaya, mulai dari demam tinggi, sakit kepala, sesak nafas, hingga menyebabkan kematian. Hingga saat ini, virus Corona telah menginfeksi 4,4 juta orang di 215 negara. Layaknya sebuah domino, virus yang dikenal dengan nama Covid-19 ini menggulirkan ketimpangan di berbagai sendi-sendi kehidupan manusia. Dalam hal ini, Covid-19 turut menjadi biang keladi dalam memperkuat diskriminasi, khususnya bagi etnis Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Mewabahnya Covid-19 membuat manusia secara sadar maupun tidak mulai menjauhkan diri dari keramaian. Mereka mulai menghindari pusat perbelanjaan, pasar, kafe, bioskop, dan tempat-tempat umum lainnya yang berpotensi menjadi episentrum penyebaran virus Corona. Tidak hanya itu, mereka juga mulai menjaga jarak dengan individu lain. Hal ini pun sejalan dengan imbauan pemerintah di beberapa negara untuk menerapkan social distancing dan physical distancing. Akan tetapi, menjaga jarak antar satu manusia dengan manusia lainnya juga dijadikan alasan bagi beberapa orang untuk menjauhi keturunan atau etnis Tionghoa, baik yang tinggal di Benua Eropa, Amerika, maupun di Asia sendiri.
Sentimen negatif yang dilayangkan kepada etnis Tionghoa, khususnya penduduk Wuhan dan Tiongkok telah merambah luas dan menebal seiring dengan bertambahnya jumlah pasien pengidap Corona. Akibatnya, gelombang diskriminasi terhadap etnis Tionghoa turut merebak di berbagai tempat, baik secara langsung maupun melalui piranti digital. Tidak sedikit kasus yang mengatasnamakan Corona memperlihatkan kita akan diskriminasi tersebut, hal ini pun dilakukan agar si pelaku dapat menjauhkan diri dari etnis Tionghoa. Sebagai contoh, di Vietnam terdapat banyak restoran yang menuliskan pengumuman “tidak menerima orang China” di depan tempat mereka berusaha. Kemudian, seorang netizen asal Tiongkok mengunggah foto yang menunjukkan ayahnya tengah berpose di depan mobil yang diberikan oleh si anak sebagai kejutan. Namun, di kolom komentar terdapat sebuah kalimat yang kurang pantas, yakni “tetaplah di China sampai flu itu benar-benar pergi. Terima kasih” (Azanella, 2020). Oleh karena itu, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa semakin menjamur bersamaan dengan mewabahnya Covid-19 sehingga saat ini masyarakat Tiongkok bahkan Asia diidentikkan dengan pembawa virus dan potensial menularkannya pada orang atau bangsa lain.
ADVERTISEMENT
Perlu kita ketahui bahwa diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sudah eksis sebelum virus Corona menyerang. Orang-orang Tiongkok telah menghadapi persepsi “tidak higienis” dan “kotor” jauh sebelum SARS dan Covid-19 muncul. Pada awal Perang Opium abad ke-19, bangsa Tiongkok disebut sebagai “orang sakit di Asia Timur”. Ungkapan tersebut makin menjadi tatkala para migran bergerak ke Amerika Utara, mereka kerap dikaitkan dengan standar kebersihan yang buruk dan rentan terhadap penyakit (Simatupang, 2020). Adapun perlakuan tersebut dapat digolongkan sebagai xenophobia, yakni ketidaksukaan atau prasangka berlebih terhadap orang-orang dari bangsa lain. Istilah “fobia” yang disematkan di dalamnya bukan berarti takut semata, melainkan cenderung diskriminasi yang bernuansa sosial-politik (DtichTheLabel, 2017). Kini, pandemi Covid-19 seolah-olah jadi pembenaran untuk mengekspresikan perilaku diskriminasi, bahkan membangkitkan kembali xenophobia ke tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Melalui pemaparan diatas dapat kita sadari bahwa rasa kemanusiaan mulai terkikis karena suatu pandemi. Padahal, tidak semua etnis Tionghoa merupakan orang Tiongkok (China mainland), banyak dari mereka yang lahir bahkan tumbuh di luar Asia. Mekanisme pertahanan diri tidak bisa dijadikan alasan untuk berbuat semena-mena terhadap etnis lain. Merespon fenomena tersebut, kita tentu berharap bahwa etnis Tionghoa yang bermukim di Indonesia tidak mengalami diskriminasi. Kita harus sadar bahwa Indonesia merupakan negara yang beragam dalam segala hal, mulai dari etnis, suku, agama, bahasa, warna, kulit, tradisi, dsb. Oleh karena itu, gelombang diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang berlangsung di beberapa negara dapat dijadikan pelajaran oleh Indonesia agar lebih waspada sehingga diperlukan suatu langkah preventif dari pemerintah maupun masyarakat agar gelombang tersebut tidak masuk ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Memahami Diskriminasi Etnis
Kita mungkin menyangkal jika ada orang yang menuduh kita melakukan diskriminasi. Tetapi, rasanya sulit untuk tidak melakukannya. Diskriminasi nyaris ada dalam setiap sendi kehidupan manusia. Tindakan diskriminasi muncul dari tingkatan paling rendah sekalipun, seperti prasangka buruk kepada orang lain hanya karena orang tersebut berasal dari sebuah kelompok sosial tertentu, seperti agama, ras, etnis, atau golongan lain. Dalam beberapa kesempatan, mungkin kita tidak sadar telah melakukan diskriminasi, seperti ungkapan-ungkapan “jangan menikah dengan etnis/suku A, nanti kamu tersiksa; wah ada tetangga baru, tapi agamanya X, bahaya, nanti menyebarkan agamanya; biar saja rumah mereka dijarah, mereka kan orang etnis A, kaya-kaya semua”.
Pada dasarnya, diskriminasi diidentikkan dengan perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan atau kelompok berdasarkan sesuatu yang bersifat kategorikal atau atribut khas. Lebih lanjut, menurut Simpson dan Yinger (2013: 16) diskriminasi adalah perbedaan perlakuan kepada seseorang yang dianggap sebagai anggota kelompok sosial tertentu. Kemudian, Liliweri (2002: 93) berpendapat bahwa diskriminasi merupakan perilaku yang didasarkan oleh prasangka yang ditunjukkan dalam tindakan terbuka atau rencana tertutup yang bertujuan untuk menyingkirkan, menjauhi, atau membuka jarak secara fisik maupun sosial dengan kelompok tertentu. Terakhir, Doob dalam Dinariratri (2016: 19-20) menyatakan bahwa diskriminasi merupakan bentuk perilaku yang bertujuan untuk mencegah dan membatasi suatu kelompok agar mereka tidak bisa memiliki atau mendapatkan sumber daya.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, diskriminasi sangat berkaitan erat dengan prasangka dimana keduanya ada di dalam masyarakat dan saling menguatkan. Hal tersebut dikarenakan adanya social inferiority. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering bilang “kita” dan “mereka”. Pembedaan ini terjadi karena kita adalah makhluk sosial yang secara alami ingin berkumpul dengan orang yang memiliki kemiripan dengan kita. Alhasil, prasangka seringkali didasari pada ketidakpahaman maupun ketidakpedulian terhadap kelompok “mereka”, atau bisa jadi karena ketakutan atas perbedaan (Fulthoni, dkk., 2009: 9). Melalui ketidakpahaman inilah, kita sering membuat generalisasi tentang “mereka” dan membuat semua orang di kelompok “mereka” pasti sama. Kemudian, prasangka makin diperparah dengan adanya cap buruk (stigma/stereotip). Cap buruk ini lebih didasarkan pada berbagai fakta yang menjurus pada kesamaan pola sehingga kita sering menggeneralisasi seseorang atas dasar kelompoknya. Cap buruk ini dipelajari seseorang dari pengaruh sosial, seperti masyarakat, tetangga, keluarga, sekolah/teman, media sosial, media massa, dll (Fulthoni, dkk., 2009: 9-10). Oleh karena itu, diskriminasi terjadi ketika keyakinan atas prasangka dan cap buruk sudah berubah menjadi aksi.
ADVERTISEMENT
Seseorang atau kelompok yang mendapatkan diskriminasi akan mengalami pengurangan, penyimpangan, maupun penghapusan hak-hak dasarnya sebagai manusia. Di Indonesia, sejarah telah membuktikan bahwa tindakan diskriminatif justru membuat individu/kelompok tidak lagi menjadi manusia secara utuh atau bahkan kehilangan kemanusiannya, baik bagi pelaku maupun korban diskriminasi (Fulthoni, dkk., 2009: 10-11). Sebagai contoh, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pada rezim Orde Baru telah menyebabkan berbagai implikasi bagi mereka yang bahkan terjadi hingga saat ini, seperti berkurangnya hak politik, diidentikkan dengan bidang ekonomi/perdagangan, serta timbul kecemburuan sosial terhadap etnis Tionghoa (misal: karena lebih kaya/mapan). Bahkan dalam beberapa kesempatan, terdapat beberapa prasangka atau stigma “Anti China” di Indonesia.
Diskriminasi Etnis Tionghoa di Beberapa Negara Akibat Pandemi Covid-19
ADVERTISEMENT
Saat terdapat penyakit menular yang mewabah di suatu negara, setiap orang menjadi was-was pada masyarakat dari wilayah endemik virus Corona. Rasa khawatir tertular sebenarnya sesuatu yang wajar, akan tetapi rasa khawatir tersebut cukup berdampak negatif dengan terjadinya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di beberapa negara. Mengapa hal ini bisa terjadi? Berdasarkan sebuah studi dari Social Psychological and Personality Science, paparan penyakit menular dapat meningkatkan ketegangan rasial. Dalam hal ini, bila di suatu kawasan merebak wabah yang mudah menular maka orang akan cenderung berpihak kepada komunitas yang sama, baik itu warna kulit, ras, etnis, bahkan agama, serta mereka pun akan menolak orang/komunitas yang berbeda (Kuncahyono, 2020). Disamping itu, program radio, TV, media massa, maupun media sosial dipenuhi dengan statistik yang menakutkan. Alhasil, bombardir informasi yang terus menerus ini dapat mengakibatkan peningkatan kecemasan, bahkan memiliki efek yang berbahaya pada psikologi seseorang (Robson, 2020). Oleh karena itu, ketegangan rasial ditambah dengan kecemasan psikologis dapat membawa gelombang diskriminasi untuk tumbuh di masyarakat, khususnya terhadap etnis Tionghoa karena virus ini berasal dari Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di beberapa negara tidak hanya merambah dunia nyata, namun juga dunia maya. Berikut ini merupakan contoh praktik diskriminasi yang dilakukan kepada etnis Tionghoa, yakni: Pertama, di Inggris, sejak virus Corona masuk dan menyebar, masyarakat mulai menghindari keramaian dan tempat-tempat publik, adapun restoran Tiongkok menjadi yang paling terdampak. Salah satu WNI yang bermukim di Inggris, Lenah Susianty menyatakan bahwa banyak masyarakat yang mengaitkan langsung virus Corona dengan Tiongkok dimana mereka beranggapan “saya tidak mau ke restoran Tiongkok karena takut Corona” atau “jangan ke restoran Tiongkok, ada virus Corona”. Tidak hanya itu, Lenah juga bercerita bahwa terdapat seorang ibu-ibu yang berteriak ketika memasuki sebuah restoran. Ibu-ibu tersebut mengatakan apakah ada warga Tiongkok dalam restoran itu. Jika ada, ia menyatakan tidak akan memesan makanan di restoran tersebut. Lalu, seluruh pelanggan dan pegawai restoran tersebut mengacung tangan dan menjawab “saya orang Tiongkok”, dan akhirnya ibu-ibu tersebut tidak jadi masuk ke restoran. Lenah menuturkan, sejak kasus Corona menyebar, penduduk Inggris sedikit menghindari orang-orang etnis Tionghoa dan Asia (CNNIndonesia, 2020).
ADVERTISEMENT
Kedua, di Italia, sebagian besar penduduk etnis Tionghoa mengalami diskriminasi di sekolah maupun tempat umum lainnya. Menurut sekretaris komunitas etnis Tionghoa di Provinsi Prato, Davie Finizio, terdapat laporan bahwa beberapa siswa sekolah dasar yang beretnis Tionghoa mengalami diskriminasi di sekolahnya. Bentuk diskriminasi yang dialami siswa-siswa tersebut diantaranya disebut sebagai “Virus Tiongkok” dan juga mengalami kekerasan fisik oleh teman-temannya. Tidak hanya itu, terdapat warga Tiongkok yang diserang dengan botol dan tidak diizinkan masuk ke tempat umum karena dituduh menyebarkan Corona (Sinaga, 2020). Ketiga, di Prancis, sebuah koran menampilkan wajah seorang perempuan Tiongkok di halaman sampul dan membubuhkan “Yellow Alert” (berhati-hati atau waspada) di sebelah foto tersebut (Azanella, 2020). Keempat, di Amerika Serikat (AS), walaupun AS merupakan negara yang demokrasinya sudah mapan, tetapi tetap saja etnis Tionghoa mendapat diskriminasi. Berdasarkan data STOP AAPI HATE, 40% warga etnis Tionghoa mengalami diskriminasi berupa serangan secara verbal maupun fisik, seperti dicemooh sebagai pembawa virus hingga ada yang sengaja berbatuk ke arah korban (Manan, 2020). Kelima, bergeser ke dunia maya, di Jepang, terdapat tagar #ChineseDon’tComeToJapan yang sempat menjadi topik perbincangan yang paling banyak diunggah di Twitter (Azanella, 2020).
ADVERTISEMENT
Kelima hal diatas merupakan contoh nyata bagaimana diskriminasi dilakukan terhadap etnis Tionghoa akibat prasangka ataupun cap buruk. Sejalan dengan pemikiran Simpson dan Yinger, praktik diskriminasi di Inggris merupakan sebuah perbedaan perlakuan kepada etnis tertentu dimana terdapat ibu-ibu yang tidak mau membeli makanan jika terdapat etnis Tionghoa di suatu restoran. Tidak hanya itu, praktik diskriminasi di Inggris juga sejalan dengan pendapat Doob dimana penduduk lokal menghalangi etnis Tionghoa untuk berdagang atau mendapatkan sumber daya ekonomi. Kemudian, diskriminasi yang terjadi di Italia, Prancis, AS, maupun Jepang sejalan dengan pendapat Liliweri dimana diskriminasi didasarkan oleh prasangka buruk sehingga si pelaku melancarkan serangan terbuka secara langsung (melalui fisik/verbal) maupun tidak (melalui dunia maya) agar mereka dapat menyingkirkan atau menjauhi etnis Tionghoa. Oleh karena itu, praktik diskriminasi yang mengkambing hitamkan etnis Tionghoa secara tidak langsung telah mengurangi hak-hak dasar seorang manusia, alhasil praktik ini hanya akan membawa persoalan baru kedepannya.
ADVERTISEMENT
Sejarah Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia
Perlu kita ketahui bahwa etnis Tionghoa sudah mendarat di Indonesia sejak berabad-abad silam, jauh sebelum kedatangan para kolonialis Eropa maupun para pengelana dari Arab. Banyak dari mereka yang menikah dengan penduduk setempat, mereka juga ikut berkontribusi menciptakan tradisi dan kebudayaan di Indonesia sehingga terbentuk semacam Sino-Indonesian culture. Dalam hal ini, etnis Tionghoa turut berperan sebagai co-creator aneka tradisi kebudayaan di Indonesia seperti makanan, minuman, pakaian, kesenian, obat-obatan, sistem pelayanan, dll (Qurtuby, 2017). Ironisnya, meskipun etnis Tionghoa sudah lama bersimbiosis dan menjadi bagian integral dari kebudayaan Indonesia, tetapi kehadiran mereka belum sepenuhnya diterima oleh sebagian masyarakat di negeri ini. Sentimen anti-China/Tiongkok masih cukup kuat dimana-mana, baik yang diekspresikan di publik maupun melampiaskannya secara sembunyi-sembunyi. Alhasil, masyarakat pun dapat dengan mudah diprovokasi, digiring, dan disulut oleh sejumlah kelompok maupun aktor yang memiliki kepentingan politik-ekonomi untuk melakukan tindakan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa telah terjadi sejak era penjajahan Belanda dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru (Orba) ketika orang-orang Tiongkok diposisikan sebagai sapi perah, kambing hitam, dan kelinci percobaan (Qurtuby, 2017). Berdasarkan hasil penelitian Fulthoni, dkk. (2009: 11-13) pada rezim Orba terdapat beberapa praktik diskriminasi yang dilakukan masyarakat Indonesia terhadap etnis Tionghoa, seperti:
ADVERTISEMENT
Akibat praktik diskriminasi tersebut, stigma “Anti China” muncul di Indonesia dan yang lebih parahnya lagi sampai melahirkan kerusuhan, seperti kerusuhan Ujung Pandang 15-19 September 1997, kerusuhan Jakarta Mei 1998, dan kerusuhan Bagansiapiapi. Temuan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan menyatakan bahwa akibat kerusuhan tersebut, 168 perempuan beretnis Tionghoa menjadi korban pemerkosaaan yang sebagian besar terjadi pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta (Fulthoni, dkk., 2009: 13). Tidak hanya itu, rezim Orba juga mengeluarkan beberapa produk hukum yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti Keputusan Presidium Kabinet No. 127/Kep/12/1966 tentang prosedur penggantian nama keluarga China yang asli ke nama Indonesia, Inpres 14/1967 tentang pelarangan adat China di ruang publik, TAP MPRS 32/1996 tentang pelarangan penggunaan bahasa dan aksara Mandarin dalam media massa maupun dalam nama toko/perusahaan, serta Surat dari Menteri Agama, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, dan Menteri Dalam Negeri yang menyatakan bahwa Konghucu bukanlah agama (Winarta, 2011: 398-399). Dampak dari adanya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa menyebabkan berbagai implikasi dalam sendi-sendi kehidupan manusia, seperti etnis Tionghoa dijadikan manusia apolitik dan dianggap sebagai“serigala ekonomi” sehingga melahirkan prasangka, disparitas, dan kecemburuan terhadap mereka.
ADVERTISEMENT
Dapat diakui bahwa pada era reformasi, terdapat beberapa langkah yang menghapus diskriminasi, salah satunya mengundangkan UU Kewarganegaraan dimana pemerintah mewajibkan dan bertanggung jawab untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi warga negaranya dari diskriminasi ras/etnis. Walaupun di tataran yuridis diskriminasi sudah tidak mendapat tempat, akan tetapi di tingkat praktis, kultur, dan mental masyarakat hal ini tidak sepenuhnya berakhir. Saat ini, kita masih menyaksikan sejumlah perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang dilakukan secara terbuka maupun terselubung, seperti penggiringan wacana Tiongkok bakal menghancurkan NKRI, Islam, maupun pribumi, serta penggunaan istilah “aseng” atau “China vs Pribumi” di dunia nyata maupun maya.
Indonesia Perlu Waspada, Apa yang Perlu Dilakukan?
Derasnya gelombang diskriminasi di berbagai negara ditambah dengan konteks historis yang buruk membuat Indonesia perlu waspada terhadap kemunculan diskriminasi kepada etnis Tionghoa. Mengapa Indonesia perlu waspada? karena pada saat virus Corona menyebar ke berbagai negara, terdapat beberapa masyarakat yang menolak kedatangan wisatawan asal Tiongkok. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh lambannya pemerintah dalam merespon wabah virus Corona sehingga banyak netizen yang menggunakan tagar #TolakSementaraTurisChina di Twitter, bahkan langsung menjadi trending topic (Hastanto, 2020). Lambat laun, tagar tersebut jadi bernuansa diskriminatif yang diimbuhi sentimen negatif kepada etnis Tionghoa dimana netizen meminta pemerintah menutup sementara pintu Indonesia dari kedatangan warga Tiongkok. Bahkan terdapat netizen yang beranggapan bahwa virus Corona disebabkan oleh buruknya pola hidup dan perilaku warga Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Praktik diskriminasi tersebut pun sejalan dengan pemikiran Simpson dan Yinger dimana masyarakat Indonesia membedakan perlakuannya terhadap etnis Tionghoa, padahal virus Corona bisa saja muncul dari warga-warga beretnis lain ataupun turis dari negara selain Tiongkok. Hal tersebut pun sejalan juga dengan pendapat Liliweri dimana masyarakat Indonesia secara terbuka ingin menjauhi atau membuka jarak dengan etnis Tionghoa karena takut menulari virus Corona.
Merespon persoalan tersebut, pemerintah mendesak platform terkait untuk menghapus beberapa konten yang bersifat diskriminatif dan juga beberapa hoaks yang diprediksi akan memperburuk keadaan (Fauzan, 2020). Tindakan tersebut pun dibantu oleh masyarakat atau netizen yang memberi laporan atas konten tersebut serta memberi pemahaman bahwa kita tidak bisa menyalahkan etnis Tionghoa atas mewabahnya virus Corona, pasalnya banyak warga Tionghoa yang tidak mengetahui bagaimana virus ini tercipta dan berkembang. Untungnya, diskriminasi yang dilakukan di dunia maya tidak menjalar ke dunia nyata. Hingga saat ini belum ada laporan atau pemberitaan terkait diskriminasi yang bersifat langsung kepada etnis Tionghoa di Indonesia. Walaupun diskriminasi di dunia maya sudah dinetralisir dan di dunia nyata belum terjadi, pemerintah maupun masyarakat Indonesia tidak boleh lengah dan harus selalu waspada. Pasalnya, jika diskriminasi terjadi maka akan menambah persoalan di tengah pandemi dan juga merusak citra Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi keberagaman. Tentu kita tidak mau etnis Tiongkok mengalami penyimpangan, pengurangan, maupun penghapusan hak-hak dasarnya sebagai manusia yang dapat mengakibatkan hilangnya makna sebagai manusia dan rasa kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah maupun masyarakat untuk mencegah diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, yakni sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
Pemerintah
ADVERTISEMENT
Masyarakat
Melihat pemaparan diatas, kita tentu semakin menyadari apabila masyarakat Indonesia tidak waspada dan pada akhirnya terjadi diskriminasi maka sesungguhnya persoalan tersebut adalah hal yang sia-sia dan tidak manusiawi. Kita tidak perlu melakukan tindakan diskriminasi yang merugikan etnis tertentu dikarenakan yang kita hadapi adalah virus, bukan manusia. Kita harus bersatu untuk mencegah diskriminasi dan mendukung keadilan untuk semua golongan/kelompok. “Fight the virus! Not the people!”.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, kita menyadari bahwa rasa kemanusiaan mulai terkikis karena pandemi Covid-19. Layaknya sebuah domino, Covid-19 menggulirkan berbagai ketimpangan di sendi-sendi kehidupan manusia, salah satunya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Mereka dijadikan kambing hitam karena virus Corona berasal dari Wuhan, Tiongkok. Padahal banyak dari mereka yang lahir bahkan tumbuh di luar Tiongkok. Dalam hal ini, gelombang diskriminasi yang terjadi di beberapa negara cukup membahayakan, pasalnya diskriminasi dilakukan di dunia nyata maupun maya, bahkan dilakukan secara fisik maupun verbal, baik langsung maupun tidak langsung. Pendapat Simpson dan Yinger, Liliweri, maupun Doob mengajarkan kita bahwa perlakuan yang tidak seimbang terhadap suatu etnis dapat melahirkan pengurangan, penyimpangan, serta penghapusan hak-hak dasar seorang manusia.
ADVERTISEMENT
Belajar dari gelombang diskriminasi di beberapa negara, masyarakat maupun pemerintah Indonesia tidak boleh lengah dan perlu waspada. Pasalnya, etnis Tionghoa di Indonsia tidak hanya menghadapi gelombang diskriminasi, mereka juga dihadapkan pada sejarah buruk yang menimpanya saat Orba berkuasa. Bahkan hingga saat ini diskriminasi terhadap etnis Tionghoa masih sering terjadi di akar rumput walaupun dalam skala kecil.
Saat ini maupun untuk kedepannya, seluruh elemen masyarakat dan pemerintah wajib menghentikan segala bentuk prasangka, cap buruk, maupun diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Seluruh pihak perlu memelihara kerukunan, kebersamaan, dan menjaga persaudaraan universal antar manusia. Sejalan dengan pendapat Qurtuby (2017), kita perlu ingat bahwa Indonesia dibangun tidak hanya untuk beberapa etnis saja, melainkan untuk semua etnis yang ada di seluruh penjuru Nusantara, termasuk Tionghoa sebagai bagian integral bangsa ini karena mereka telah berkontribusi positif bagi perjuangan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, setiap warga negara, apapun etnisnya, memiliki hak yang sama dalam menjalani hidup. Dengan begitu, rasa waspada yang dijalankan beriringan dengan langkah preventif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat diharapkan dapat menghalau Indonesia dari gelombang diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Tanamkan pada jiwa dan pikiran kita bahwa saat ini yang perlu dihadapi adalah virus, bukan manusia.
ADVERTISEMENT
Referensi
Buku dan Jurnal
Dinariratri, Anna Svetla, 2016, Diskriminasi dan Dukungan Sosial (Studi Kasus pada Orang dengan HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Metamorfosis Community, Yogyakarta), Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
Fulthoni, dkk., 2009, Memahami Diskriminasi: Buku Saku untuk Kebebasan Beragama, Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center.
Liliweri, Alo, 2002, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: LKIS.
Simpson, George Eaton dan J. Milton Yinger, 2013, Racial and Cultural Minorities: An Analysis of Prejudice and Discrimination. New York: Spinger Science and Business Media.
Winarta, Frans H., 2011, Penghapusan Diskriminasi Etnis Tionghoa Melalui Undang Undang Kewarganegaraan dan Praktek Pemberlakuan SBKRI, Jurnal Law Review, Vol. X, No. 3, pp. 393-413.
ADVERTISEMENT
Media Online
Azanella, Luthfia Ayu, 2020, Muncul Rasisme terhadap Etnis Tionghoa setelah Wabah Virus Corona, Kompas.com 1 Februari 2020 diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2020/02/01/200000165/muncul-rasisme-terhadap-etnis-tionghoa-setelah-wabah-virus-corona?page=all#page3 tanggal 12 Mei 2020.
CNNIndonesia, 2020, Cerita Soal Diskriminasi Etnis China di Inggris Akibat Corona, Cnnindonesia.com 15 Maret 2020 diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200313135946-134-483149/cerita-soal-diskriminasi-etnis-china-di-inggris-akibat-corona tanggal 13 Mei 2020.
DitchTheLabel, 2017, So, What Is Xenophobia?, Ditchthelabel.org 28 Juni 2017 diakses dari https://www.ditchthelabel.org/what-is-xenophobia/ tanggal 12 Mei 2020.
Fauzan, Rahmad, 2020, Kemenkominfo Minta Medsos Hapus Hoaks Virus Corona, Kabar24.com 4 Maret 2020 diakses dari https://kabar24.bisnis.com/read/20200304/15/1208753/kemenkominfo-minta-medos-take-down-hoaks-terkait-virus-corona tanggal 15 Mei 2020.
Hastanto, Ikhwan, 2020, Panik Coronavirus Picu Tagar Berlebihan Menolak Masuk Semua Turis Cina ke Indonesia, Vice.com 27 Januari 2020 diakses dari https://www.vice.com/id_id/article/5dm3xx/panik-coronavirus-picu-tagar-menolak-masuk-semua-turis-cina-ke-indonesia tanggal 15 Mei 2020.
ADVERTISEMENT
Kuncahyono, Trias, 2020, Covid-19, 'Xenophobia' dan Rasisme, Wartakota.com 30 April 2020 diakses dari https://wartakota.tribunnews.com/2020/04/30/covid-19-xenophobia-dan-rasisme?page=all tanggal 13 Mei 2020.
Manan, Abdul, 2020, Badai Kebencian di Negeri Abang Sam, Tempo.co 18 April 2020 diakses dari https://majalah.tempo.co/read/internasional/160209/rasisme-terhadap-orang-asia-di-amerika-serikat-subur-di-masa-corona tanggal 13 Mei 2020.
Qurtuby, Sumanto Al, 2017, Sentimen Anti-Cina di Indonesia, Dw.com 2 Januari 2017 diakses dari https://www.dw.com/id/sentimen-anti-cina-di-indonesia/a-36974659 tanggal 15 Mei 2020.
Robson, David, 2020, Virus Corona dan Pengaruhnya terhadap Psikologi Kita: Mulai dari Rasisme hingga Afiliasi Politik, Bbc.com 8 April 2020 diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-52206206 tanggal 13 Mei 2020.
Simanjuntak, Tasya, 2020, Sinophobua, Diskriminasi yang Menumpang Ketenaran Korona, Lokadata.id 1 Maret 2020 diakses dari https://lokadata.id/artikel/sinophobia-diskriminasi-yang-menumpang-ketenaran-korona tanggal 12 Mei 2020.
Sinaga, Huminca, 2020, Etnis Tionghoa di Italia Alami Diskriminasi Parah, PHK dan Siksaan hingga Disebut 'Virus Tiongkok', Pikiranrakyat.com 26 Maret 2020 diakses dari https://www.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-01356736/etnis-tionghoa-di-italia-alami-diskriminasi-parah-phk-dan-siksaan-hingga-disebut-virus-tiongkok?page=2 tanggal 13 Mei 2020.
ADVERTISEMENT
Nabil Fiady
Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan UGM