Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Tiongkok dan Manuvernya di Asia Selatan Pascapenyerangan Pahalgam
8 Mei 2025 13:33 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Nabila Aulia Hasrie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pascaserangan teroris terhadap warga sipil di Pahalgam, Kashmir, pada 22 April 2025 lalu, juru bicara Kemenlu Tiongkok, Guo Jiankun, menyampaikan bahwa Beijing dengan tegas menentang segala bentuk terorisme. Namun demikian, sikap China terhadap situasi hubungan India-Pakistan sebagian besar tetap terikat pada tiga pernyataan inti yang secara implisit mencerminkan dukungan terhadap posisi Pakistan.
ADVERTISEMENT
Pernyataan pertama menyiratkan bahwa menurut Tiongkok, insiden tersebut merupakan tindakan dari pelaku tidak dikenal yang diyakini sebagai penembak lokal. Narasi ini tercermin dalam pemberitaan dua media paling besar dan berpengaruh di China; Xinhua dan CCTV, yang keduanya merupakan media yang disponsori oleh Partai Komunis Tiongkok. Satu-satunya perbedaan utama antara pernyataan Tiongkok dan Pakistan dalam kasus ini terletak pada penggunaan istilah untuk wilayah kejadian: media-media Tiongkok menggambarkannya sebagai Kashmir yang “dikuasai India” atau “dikelola India” (India-ruled atau India-controlled Kashmir) sedangkan pemerintah Pakistan menyebutnya “Kashmir yang diduduki secara ilegal oleh India” (India-occupied Kashmir).
Kebijakan “Anti-Teror” Hanya Retorika Belaka
Pendekatan ini melemahkan anggapan bahwa insiden tersebut merupakan aksi terorisme, sekaligus mengabaikan kekhawatiran India terhadap infiltrasi kelompok teroris yang disponsori negara Pakistan ke wilayah Kashmir. Bahkan, liputan dari media Tiongkok dengan pengaruh besar seperti Global Times menjadi bahan yang digunakan untuk membenarkan pernyataan penarikan klaim dari The Resistance Front (TRF), yang secara tergesa-gesa menyebut bahwa klaim tanggung jawab mereka atas serangan itu berasal dari pelanggaran keamanan siber. Dalam liputan tersebut, media Tiongkok menyerukan agar India bersikap “rasional” dan “tidak terburu-buru menyimpulkan”. Bagi kalangan audiens yang memahami dinamika kawasan Asia Selatan, pendekatan ini menunjukkan pengabaian yang nyata terhadap sejarah panjang dan konteks terorisme yang didukung oleh Pakistan di wilayah India.
ADVERTISEMENT
Pernyataan kedua yang ditekankan Tiongkok adalah bahwa mereka secara resmi berharap agar India dan Pakistan bergerak menuju penyelesaian damai atas sengketa yang ada, dengan menerima negosiasi bilateral sebagai langkah ke depan. Sikap ini secara khusus disampaikan oleh Menlu Tiongkok, Wang Yi, dalam percakapan telepon dengan Menlu Pakistan, Mohammad Ishaq Dar, pada 27 April. Sentimen serupa kemudian ditegaskan kembali oleh juru bicara Guo Jiankun dalam konferensi pers reguler pada 28 April. Dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa “sebagai tetangga bersama India dan Pakistan, China berharap kedua belah pihak dapat menahan diri, saling mendekat, dan menangani perbedaan melalui dialog dan konsultasi.”
Intervensi Berkedok Mediasi?
Pendekatan ini mendapat dukungan dari beberapa kalangan akademisi. Misalnya, Wang Shida, Direktur Eksekutif di China Institutes of Contemporary International Relations; sebuah lembaga di bawah naungan Kementerian Keamanan Tiongkok, berpendapat dalam artikel opini di Global Times bahwa karena India dan Pakistan masih tertinggal dalam hal pembangunan ekonomi, sehingga kedua negara sebaiknya segera menyelesaikan sengketa agar dapat melanjutkan agenda pembangunan nasional mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, yang juga menarik adalah bahwa ajakan untuk meredakan ketegangan ini tampaknya tidak semata-mata didorong oleh niat murni untuk mencapai perdamaian. Hal ini dapat dilihat dari komentar-komentar yang beredar di media Tiongkok yang menunjukkan pandangan para analis bahwa India tidak memiliki kapasitas untuk terlibat, apalagi memenangkan, perang terbuka melawan Pakistan di Kashmir. Konflik semacam itu justru dinilai akan menggagalkan ambisi strategis India. Pandangan ini juga diungkapkan oleh para akademisi seperti Wang dalam artikelnya, yang menyatakan bahwa “jika situasi di Kashmir memburuk, hal itu jelas tidak akan melayani kepentingan mendasar India.”
Komentator lainnya, seperti Gu Huoping (nama pena dari seorang penulis yang sering membahas isu-isu militer Tiongkok), menilai bahwa dalam menghadapi sikap agresif India, Pakistan memiliki alasan yang kuat untuk tidak mundur. Dalam artikel terbarunya di platform media China NetEase, Gu bahkan menyebut bahwa konflik bersenjata mungkin akan menjadi ujian langsung terhadap produk-produk pertahanan buatan Tiongkok yang banyak digunakan oleh militer Pakistan. Ia menggunakan contoh dari mundurnya India dalam Perang 1962 melawan China, dan secara menyesatkan berargumen bahwa India tidak pernah memiliki keunggulan nyata dalam konflik-konflik militernya dengan Pakistan. Dalam narasinya, Gu berusaha menanamkan gagasan bahwa pilihan terbaik bagi India adalah menghindari konfrontasi dan mundur dari ketegangan.
Bagaimana Tiongkok Membantai India
ADVERTISEMENT
Salah satu dimensi tambahan dari skenario ala Tiongkok terkait resolusi damai adalah kesediaan Beijing untuk memainkan peran sebagai mediator. Dalam pernyataannya pada 28 April, Guo Jiankun menyampaikan bahwa “Tiongkok menyambut semua langkah yang mendukung de-eskalasi situasi saat ini dan mendukung peluncuran penyelidikan yang adil sesegera mungkin.” Menariknya, pernyataan ini disampaikan sebagai tanggapan atas pertanyaan dari jurnalis RIA Novosti, lembaga media milik negara Rusia, yang merujuk pada wawancara terbaru mereka dengan Menhan Pakistan, Khawaja Asif. Dalam wawancara tersebut, Asif menyatakan bahwa ia sangat menyambut intervensi internasional— baik dari Rusia, Tiongkok, maupun negara-negara Barat lainnya — untuk mengungkap siapa dalang di balik insiden serangan di Pahalgam. Ia juga menambahkan bahwa PM Pakistan Shehbaz Sharif mendukung penuh usulan tersebut.
ADVERTISEMENT
Tiongkok tampaknya secara alami meyakini bahwa dirinya adalah aktor yang paling tepat untuk mendorong de-eskalasi ketegangan antara India dan Pakistan, termasuk melalui dukungan terhadap peluncuran penyelidikan yang diklaim “adil dan cepat”. Namun pada kenyataannya, liputan mengenai pernyataan juru bicara Guo Jiankun jarang sekali mengakui bahwa Menhan Pakistan, Khawaja Asif, juga secara terbuka menyerukan agar negara-negara lain; termasuk dari blok Barat, terlibat dalam mendukung penyelidikan internasional.
Jika seseorang menelaah lebih dalam transkrip percakapan telepon antara Menlu Tiongkok, Wang Yi, dan Menlu Pakistan, Mohammad Ishaq Dar, maka akan ditemukan bahwa Wang tidak hanya menyatakan dukungan terhadap kedaulatan Pakistan, tetapi juga mengakui “kekhawatiran keamanan yang sah” dari pihak Islamabad. Dalam percakapan tersebut, ia sekali lagi menyerukan diadakannya “penyelidikan yang tidak memihak”. Dengan terus menonjolkan dirinya sebagai pihak yang dapat membawa perdamaian, Tiongkok secara tidak langsung turut memperkuat upaya Pakistan untuk menginternasionalisasi isu yang sebenarnya merupakan persoalan bilateral, sekaligus melemahkan sikap konsisten India yang menolak campur tangan atau mediasi internasional dalam sengketa tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebuah Deja vu Diplomatik
Perlu dicatat bahwa retorika resmi Tiongkok mengenai pentingnya negosiasi dan mediasi untuk menyelesaikan ketegangan antara India dan Pakistan bukanlah fenomena baru. Sikap serupa pernah disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri Tiongkok dalam menanggapi serangan teroris oleh kelompok Jaish-e-Mohammed di Pulwama pada Februari 2019. Saat itu, juru bicara kementerian, Geng Shuang, menolak untuk secara eksplisit mengakui keterlibatan Pakistan, dan menyatakan bahwa hanya dengan menyebutkan nama kelompok teroris oleh India tidak serta merta menunjukkan bahwa tuduhan tersebut telah dikonfirmasi secara sah. Sikap berhati-hati dan menghindari penilaian langsung ini kemungkinan besar akan terus menjadi bagian dari pola retorika Tiongkok dalam menanggapi ketegangan India-Pakistan, bahkan ketika bukti-bukti kuat telah muncul.
Antara Moralitas dan Kepentingan Strategis
ADVERTISEMENT
Pernyataan ketiga sekaligus terakhir yang tampak dalam sikap Tiongkok adalah penekanan pada ketidakbermoralannya serta ketidakberdayaannya langkah-langkah hukuman yang diambil India terhadap Pakistan. Sikap ini tampak dalam tulisan-tulisan komentator seperti Gu Huoping, yang menyoroti bagaimana militer Pakistan tetap mampu bertahan menghadapi tekanan India berkat dukungan dari Tiongkok. Dalam level yang lebih halus, retorika Beijing juga tampak menolak berbagai kebijakan pembalasan India, mulai dari keputusan untuk menutup wilayah udara bagi penerbangan Pakistan, hingga langkah India untuk menangguhkan implementasi Perjanjian Air Indus.
Sebagai contoh, sebuah komentar terbaru yang diterbitkan di Sohu; salah satu media daring dan platform pencarian terbesar di Tiongkok, memuji langkah balasan Pakistan dalam menutup wilayah udaranya terhadap penerbangan dari India, serta menghentikan perdagangan bilateral sebagai respons terhadap kebijakan hukuman India. Komentar ini ditulis oleh seorang analis populer dengan nama pena Global Defense Focus, dan telah dibaca lebih dari 720 juta kali.
ADVERTISEMENT
Demikian pula, terkait dengan “ancaman” India untuk menghentikan pasokan air ke Pakistan, sebuah artikel di Guancha mengangkat narasi dari Islamabad yang menuduh India sengaja menyebabkan banjir sedang di wilayah Kashmir yang berada di bawah kendali Pakistan. Artikel ini menyuarakan dukungan terhadap klaim tersebut, meskipun mengabaikan fakta-fakta meteorologis. Bahkan jika dalam beberapa hari terakhir memang tercatat peningkatan aliran air di Sungai Jhelum, sangat besar kemungkinan bahwa hal itu disebabkan oleh pencairan es musiman; sesuatu yang telah diperingatkan sebelumnya oleh Divisi Prakiraan Banjir Lahore kepada warga pada 18 April yang lalu.
CPEC dan Kepentingan Strategis
Salah satu sudut pandang lain yang dapat menjelaskan mengapa narasi Tiongkok secara aktif mendiskreditkan langkah-langkah pembalasan India adalah kekhawatiran terhadap dampak langsung pada kepentingan strategis mereka di Pakistan — terutama China-Pakistan Economic Corridor (CPEC). Pandangan ini disampaikan oleh Liu Zongyi, seorang analis terkemuka yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Penelitian Asia Selatan di Shanghai Institutes for International Studies, sebuah lembaga yang berafiliasi dengan pemerintah Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Dalam komentarnya mengenai insiden terkini, Liu menunjukkan bahwa Beijing mungkin mencemaskan potensi ancaman terhadap CPEC sebagai konsekuensi dari meningkatnya ketegangan antara India dan Pakistan. Bahkan, untuk lebih mendorong stabilitas demi “kepentingan keamanan” Pakistan, Liu mengangkat tuduhan dari Islamabad bahwa India mendukung kelompok separatis dan ekstrimis yang beroperasi di dalam wilayah Pakistan maupun di Afghanistan. Kelompok-kelompok ini dinilai membahayakan keamanan domestik Pakistan dan secara langsung mengganggu keberlanjutan proyek-proyek CPEC.
Kesimpulan
Dalam konteks ini oleh karena itu, walaupun pernyataan resmi Tiongkok terkesan diplomatis, dukungan sosial dan analitis terhadap kedekatan strategis antara Tiongkok dan Pakistan tampak semakin jelas. Pada saat hubungan antara India dan Pakistan mengalami ketegangan tajam, Tiongkok diprediksi akan mempertahankan posisinya, termasuk melalui usulan untuk bertindak sebagai mediator demi menjaga stabilitas regional. Dari sudut pandang India, sangat penting untuk secara kritis menilai dan menyusun strategi dalam menghadapi narasi seperti ini, yang bukan hanya mencerminkan sikap resmi Tiongkok, tetapi juga potensi pergeseran geopolitik yang dapat merugikan posisi India di kawasan Asia Selatan.
ADVERTISEMENT