news-card-video
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Sendi Demokrasi yang Mulai Pudar

Nabila Aulia Rahma
Magister Hukum Kenegaraan FH UGM, Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi dan HAM FH UGM
4 Februari 2024 12:56 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nabila Aulia Rahma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Simulasi Surat Suara Pemilu. Foto: Budi Candra Setya/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Simulasi Surat Suara Pemilu. Foto: Budi Candra Setya/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pemilu Serentak 2024 akan dilaksanakan kurang dari 2 (dua) minggu lagi. Sejak awal persyaratan calon, pendaftaran calon, proses kampanye, hingga debat calon presiden dan calon wakil presiden, publik disuguhi berbagai “akrobat” politik dan “akrobat” hukum dari masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden. Banyak kejadian penting menjelang Pemilu sepanjang tahun 2022 hingga saat ini. Terbaru adalah, statement Presiden yang menjelaskan dirinya berhak untuk berkampanye yang baru-baru ini beliau klarifikasi dengan menunjukkan Pasal dalam UU Pemilu. Tidak menutup kemungkinan, ke depannya dinamika Pemilu akan semakin berkembang, bahkan hingga tahap akhir perhitungan suara, di mana akan ada permohonan ke MK untuk menguji legitimasi dari hasil Pemilu.
ADVERTISEMENT
Jika ditarik mundur ke belakang, reformasi merupakan suatu kilas balik paling penting dalam sejarah Indonesia, dikarenakan terdapat perubahan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh Rakyat (yang sebelumnya melalui MPR), di mana hal ini merupakan sebuah kemajuan besar dalam sejarah demokrasi bangsa kita. Bentuk negara demokrasi begitu menarik, dikarenakan butuh 32 (tiga puluh dua) tahun dibelenggu cengkeraman kekuasaan Orde Baru bagi Indonesia untuk memperjuangkan bentuk demokrasi yang begitu didambakan. Bahkan untuk mencapainya, bangsa ini merelakan banyak penderitaan bahkan kematian dan pertumpahan darah untuk mencapai bentuk negara demokrasi. Mengapa? Karena hanya dalam sistem negara demokrasi, supremasi hukum, partisipasi dan kebebasan masyarakat serta Penegakan Hak Asasi Manusia bisa dijamin, ditegakkan dan dilindungi. Meskipun masih terdapat kekurangan di sana-sini terkait sistem demokrasi, namun sejauh ini belum ada sistem yang lebih baik daripada sistem demokrasi. Secara konseptual memang begitu, tetapi pada praktiknya, yang terjadi bisa lain. Seperti yang terjadi di era saat ini, di mana terlihat bahwa tantangan menjelang Pemilu ini adalah saling berkelindannya kekuasaan politik dan oligarki yang perlahan-lahan menggerogoti sendi-sendi fundamental dalam kehidupan berdemokrasi kita.
ADVERTISEMENT
Jamak kita ketahui, politik sangat membutuhkan dukungan ekonomi, sedangkan ekonomi juga sangat memerlukan dukungan politik. Ketika ada supply-demand, maka hukum ekonomi berlaku. Ada kebutuhan dari politisi untuk “sponsor” dana pemilu yang tidak gratis, dan ada kebutuhan dari pelaku ekonomi berupa policy making yang menguntungkan pihak “sponsor”. Lalu, yang semakin melanggengkan keadaan tersebut adalah : (1) Kekuatan Politik; (2) Kekuatan Bisnis dan (3) Budaya Dinasti Keluarga (Jimly Asshiddiqie, 2023). Jika demokrasi terkonsentrasi dalam kekuatan-kekuatan tertentu, maka supremasi hukum akan sulit diwujudkan. Apa hubungannya? Maka dalam uraian ini akan dijelaskan mengenai benang merah tersebut.

Menjernihkan kaitan Negara Hukum dan Demokrasi

Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi bernegara telah mengamanatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai Undang-Undang Dasar. Artinya, rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi, dan pasal ini merupakan esensi dari demokrasi itu sendiri. Dalam konsep modern, demokrasi merupakan upaya untuk menciptakan kesetaraan dalam ketimpangan.
ADVERTISEMENT
Demokrasi memiliki legitimasi yang luas karena ia didasarkan pada prinsip bahwa kekuasaan dan suara setiap warga negara harus setara, dan tiap warga negara bebas untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan publik. Selanjutnya, dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945 juga dijelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Artinya, no one above the law.
Tidak ada satu pun entitas yang bisa berada di atas hukum. Oleh karenanya, sejak ribuan tahun yang lalu, penggambaran Dewi Keadilan atau Yustisia dalam Mitologi Romawi adalah mengenakan kain untuk menutup matanya. Mata tertutup Dewi Keadilan melambangkan bentuk objektivitas dalam hukum, bahwa siapa pun yang dihadapkan dengan hukum, akan diperlakukan setara.
Poinnya, dalam konsep negara hukum, maka hukum dan lembaga penegak hukum harus lebih kuat dari semua orang yang mengatur dan diatur, serta hukum dan lembaga hukum tersebut harus lebih kuat dari aktor paling kuat dalam masyarakat (Jeffrey A. Winters, dkk, 2021). Maka, ruh dari hukum adalah “Keadilan”, sehingga hukum yang tidak adil sebenarnya bukan hukum.
ADVERTISEMENT
Maka kaitannya adalah, demokrasi tanpa hukum akan menghasilkan demokrasi yang kebablasan, dan negara hukum tanpa demokrasi akan menghasilkan rezim yang totalitarian. Sehingga konsep negara hukum dan demokrasi perlu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dan saling mengimbangi.

Praktik Demokrasi yang Semakin Pudar

Sudah 25 tahun sejak reformasi, kita telah mengalami pasang surut dalam berdemokrasi. Tidak mengherankan, dikarenakan dalam negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokratis, sangat dimungkinkan demokrasinya mengalami degradasi atau regresi (Thomas Power, 2020).
Perjuangan dalam mempertahankan negara hukum dan demokrasi sejatinya bukan terletak pada implementasinya di warga negara biasa, melainkan implementasinya pada tingkat oligarki atau elite tertentu, yang merupakan aktor paling kuat dalam sistem. Membuat mereka tunduk pada hukum adalah perjuangan sulit yang harus dihadapi bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan, aturan hukum yang sama, secara tidak langsung akan mengancam kekuasaan mereka yang di atas, sehingga mereka berpotensi kehilangan kekuasaan secara mutlak (Jeffrey Winters, 2021). Oligarki sendiri bukan merupakan bentuk pemerintahan, tetapi sebagai politik untuk mempertahankan kekayaan (Winters 2011, 2014). Bisa kita lihat, saat ini hampir di tiap pasangan calon presiden dan wakil presiden, terdapat oligarki yang melompati partai atau kandidat, dengan partainya sendiri maupun dengan pasangan calon yang diajukan.
Hal ini dikarenakan, dalam kampanye dan pemilu, membutuhkan logistik yang besar sehingga penggunaan kekuatan kekayaan menjadi tidak bisa dihindari. Oligarki dapat memberikan dana kepada politisi untuk mendapatkan policy yang menguntungkan, terutama dalam kebijakan pajak, tenaga kerja, peraturan investasi maupun untuk memenangkan tender dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dan keadaan ini sama sekali tidak terjamah oleh warga negara biasa. Pelemahan KPK yang terjadi sejak 2019 bisa jadi merupakan upaya untuk menjinakkan KPK agar tidak lagi mengganggu politisi dan oligarki yang saling bekerja sama demi keuntungannya dan kroninya, bukan demi kesejahteraan masyarakat luas. Demokrasi menjadi jauh panggang daripada api. Apalagi, kekayaan alam Indonesia berupa hasil tambang, mineral kritis dan strategis, minyak dan gas bumi, sawit, kayu dan batu bara sangat dimungkinkan untuk dikeruk demi menghasilkan kekayaan skala tinggi dikarenakan nilainya yang bisa mencapai miliaran dolar.
Publik tentu masih ingat betul dengan Putusan MK Nomor 90/PUU/XXI/2023 yang menyatakan usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden diturunkan asalkan memiliki pengalaman sebagai kepala daerah, sehingga Putusan MK tersebut menjadi acuan utama bagi putra presiden untuk maju dalam gelanggang Pemilihan Presiden 2024.
ADVERTISEMENT
Apalagi, basis pijakan Putusan MK tersebut diwarnai pelanggaran etik berat oleh Ketua MK saat itu yang merupakan Ipar dari Presiden. Kemudian pada September 2023, Putra Ketiga Presiden, tiba-tiba ditunjuk selaku ketua umum Partai Solidaritas Indonesia padahal baru memiliki Kartu Tanda Anggota selama 3 (tiga) hari.
Belum lagi soal pelemahan KPK yang digunakan sebagai alat “sandera” politik, problem intervensi Aparatur Negara, intervensi terhadap netralitas kepala daerah melalui upaya revisi UU Pemilu yang dimaksudkan agar gubernur, bupati/wali kota di sejumlah daerah bisa diturunkan dan diganti dengan PJ kepala daerah, pemberian jabatan sipil pada perwira TNI, politisasi bantuan sosial menjelang pemilu, “cawe-cawe” kekuasaan dengan menggunakan alat negara, revisi UU ITE, serta problem dari integritas penyelenggara dan pengawas pemilu yang kian tergerus.
ADVERTISEMENT
Terbaru, Mahfud MD selaku Menko Polhukam telah menerima laporan dugaan mengenai kecurangan pemilu di sejumlah daerah (Kompas, 15/11/2023). Hal ini tentu saja mengakibatkan kualitas demokrasi menjadi tak terjaga atau mengalami flawed democracy (The Economist, 2024). Jika ditarik lebih mundur lagi, sejak 2019 telah terjadi regresi demokrasi dengan pembentukan undang-undang yang tidak berdasarkan pada partisipasi masyarakat hingga memunculkan gejala autocratic legalism hingga tingkat seburuk orde baru (R. William Liddle, 2024).
Maka, perbedaan mendasarnya adalah, selaku Presiden sebelumnya, SBY dan Megawati tidak pernah mengguncangkan konstitusi maupun lembaga peradilan, lembaga elektoral maupun lembaga negara lainnya demi kepentingan anggota keluarganya maupun oligarki di belakangnya.

Refleksi

Pemilu merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam rangka membentuk Pemerintahan yang berdasarkan dukungan suara terbanyak, sehingga memiliki legitimasi yang kuat karena Pemerintahan tersebut memang dikehendaki oleh rakyat. Konsep negara hukum dan demokrasi yang termaktub dalam Konstitusi ternyata dalam praktiknya justru bisa bertolak belakang dengan ide awal pembentukannya, dikarenakan aturan turunannya yang tidak mencerminkan esensi dalam konsep negara hukum dan demokrasi sesuai UUD NRI 1945.
ADVERTISEMENT
Praktiknya, demokrasi kita masih bersifat minimalis dengan diwarnai politik transaksional, prosedural serta hukum yang hanya bersifat formalitas tanpa ruh keadilan di dalamnya. Demokrasi kita seolah dibiarkan “bunuh diri” dengan adanya abusive constitunialism, yakni penyalahgunaan prinsip negara hukum dan demokrasi dalam konstitusi yang digunakan untuk hal-hal yang tidak demokratis.
Sejatinya, konsep negara demokrasi lebih dari sekadar demokrasi prosedural melalui pemilu. Demokrasi adalah satu-satunya sistem pemerintahan di mana para pemimpin yang kuat menyerahkan posisi mereka secara sukarela (Jeffrey Winters, 2021). Hal itulah yang mungkin sulit dilakukan pemimpin mana pun, dan jika tidak ada yang mengontrol, maka akan membuat ambisi kekuasaan menjadi besar dan sangat kentara, yang saat ini terlihat dengan Presiden yang memasukkan salah satu anggota keluarganya sebagai calon wakil presiden d itengah derasnya kritik dari masyarakat dan melalui Putusan MK yang kontroversial.
ADVERTISEMENT
Bahkan dengan terang-terangan mengungkapkan bahwa presiden boleh berkampanye, di sebelah pasangan calon tertentu, di depan para prajurit TNI dan dengan kondisi putranya menjadi calon wakil presiden. Presiden yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk menjaga stabilitas politik, justru menjadi aktor utama terjadinya polarisasi dikarenakan ambisi politiknya yang besar menjelang akhir jabatan.
Barangkali, kontribusi terbesar dari Presiden ke-6 RI bagi demokrasi Indonesia adalah mundur secara damai ketika 2 (dua) masa jabatannya habis, dan mempersilakan yang menang untuk menduduki kekuasaan. Hal ini sangat kontras dengan kondisi sekarang, di mana politik dinasti yang berkelindan dengan oligarki membuat keropos sendi-sendi negara hukum dan demokrasi kita.
Dapat dilihat bahwa yang terjadi dalam pemilu seperti ini sejatinya bukanlah kehendak rakyat yang sesungguhnya, melainkan dikooptasi dengan kehendak elite tertentu. Peran civil society menjadi sangat penting, dikarenakan mekanisme kontrol dan pengawasan publik dapat melengkapi loophole dalam pelaksanaan pemilu yang Luberjurdil sesuai Konstitusi. Demokrasi kita yang telah diperjuangkan dengan keringat, darah dan air mata harus dikembalikan pada rel negara hukum. Semoga.
ADVERTISEMENT