Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Peran Media dalam Meningkatkan Kesadaran Tentang Kekerasan terhadap Perempuan
26 November 2024 11:11 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nabila Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kekerasan terhadap perempuan merupakan isu global yang tak kunjung hilang dari perbincangan masyarakat, termasuk di Indonesia. Surabaya, sebagai salah satu kota besar di Jawa Timur, tidak terlepas dari permasalahn ini. Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Jawa Timur, jumlah kaekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun 2020 mencapai 2.001 kasus, dengan Surabaya sebagai salah satu daerah dengan kasus tertinggi. Dari 267 kasus yang dilaporkan di Surabaya, tidak semua korban menerima penanganan yang cepat dan tepat.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, sejauh mana media memiliki peran penting dalam membantu menanggulangi permasalahan ini? Apakah media, yang kita kenal sebagai pilar keempat demokrasi, telah menjalankan fungsinya secara optimal dalam mengedukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya kekerasan terhadap perempuan? Atau justru media ikut berkontribusi dalam memperparah stigma negatif terhadap korban?
Peran media dalam kasus kekerasan terhadap perempuan seharusnya lebih dari sekedar menyampaikan informasi. Media massa memiliki kemampuan untuk membentuk opini publik dan memperngaruhi persepsi masyarakat, dan mengadvokasi kebijakan yang lebih berpihak pada korban. Namun, kenyataannya, banyak media yang masih belum berperspektif gender dalam menyampaikan berita tentang kekerasan terhadap perempuan.
Masalah terbesar yang sering muncul dalam pemberitaan kekerasan seksual adalah bias gender. Studi menunjukkan bahwa media kerap menampilkan narasi yang menyalahkan korban, baik secara tersurat maupun tersirat. Misalnya, dalam beberapa kasus korban kekerasan seksual digambarkan dengan penekanan pada pakaian atau penampilan fisik mereka. Media juga cenderung menggunakan angle berita yang sensational, sehingga mengabaikan aspek penting seperti trauma psikologis yang dialami oleh korban. Ketika korban kekerasan seksual digambarkan sebagai “provokator” atau “penyebab” tindak kekerasa, ini tidak hanya merusak citra korban, tetapi juga memperkuat stigma sosial yang menghambat perempuan untuk melaprkan kekerasan yang mereka alami.
ADVERTISEMENT
Media feminis seperti magdalane telah berupaya mematahkan paradigma bias gender ini dengan menyuarakan perspektif yang lebih berpihak pada korban dan menekankan pentingnya perlindungan hak asasi manusia. Mereka mengusung konsep jurnalisme gender, di mana pemberitaan fokus pada kebutuhan korban, memprioritaskan pemulihan psikologis, dan mendorong perubahan sosial untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan. Magdalane, misalnya, secara konsisten melaporkan kasus kekerasan seksual dengan sudut pandang yang mengedepankan suara korban, sesuatu yang jarang dilakukan oleh media mainstream.
Namun, upaya media feminis ini masih merupakan pengecualian di antara banyak media yang masih mengedepankan sisi komersial pemberitaan. Berita-berita yang sensasional lebih diminati karena dianggap mampu menarik lebih banyak perhatian pembaca, bahkan jika itu berarti mengorbankan kebenaran dan keadilan untuk korban. Di sinilah media harusnya berperan lebih aktif sebagai agen perubahan, bukan hanya sebagai penyampai berita. Media perlu menyadari bahwa cara mereka membingkai sebuah berita sangat mempengaruhi cara masyarakat memahami isu tersebut.
ADVERTISEMENT
Surabaya, sebagai kota besar dengan kasus kekerasan terhadap perempuan yang tinggi, membutuhkan dukungan media yang lebih besar untuk mengatasi permasalahan ini. Tanpa keterlibatan aktif dari media, akan sulit bagi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil untuk membangun kesadaran yang lebih luas tentang pentingnya pencegahan kekerasan dan pemberdayaan korban. Media harus lebih sering menyoroti kebijakan pemerintah yang masih lemah dalam melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan.
Media juga dapat berperan sebagai platform untuk mengadvokasi perubahan hukum yang lebih berpihak kepada korban. Misalnya, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangan (UU PKDRT) yang disahkan pada tahun 2004, meskipun menjadi langkah maju dalam perlindungan terhadap perempuan, masih menghadapi banyak tantangan dalam implementasinya. Media dapat menjadi suaru yang kritis terhadap lambatnya penegakan hukum, serta mendorong reformasi kebijakan yang lebih efektif.
ADVERTISEMENT
Selain pemberitaan yang adil, media juga perlu melibatkan diri alesan kampanye sosial untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya melawan kekerasan terhadap perempuan. Kampanye semacam ini akan lebih efektif jika media melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, LSM, dan masyarakat luas. Sosialisasi melalui media massa dapat membantu menghilangkan stigma yang masih melekat pada korban, serta mengedukasi masyarakat tentang bagaimana mengenali dan mencegah kekerasan.
Singkatnya, peran media dalam meningkatkan kesadaran tentang kekerasan terhadap perempuan di Surabaya sangatlah krusial. Sebagai agen perubahan sosial, media sehausnya tidak hanya fokus pada pemberitaan, tetapi juga pada penghapusan stigma, advokasi kebijakan, dan pendidikan publik. Dengan komitmen yang lebih besar terhadap keadilan dan kesetaraan, media dapat menjadi kekuatan positif dalam memerango kekerasan berbasis gender, bukan hanya di Surabaya, tetapi di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, perubahan ini tidak bisa terjadi dalam semalam. Dibutuhkan kemauan dari berbagai pihak, termasuk redaksi media itu sendiri, untuk mulai mengubah cara mereka melaporkan isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Jika media bisa memanfaatkan kekuatannya untuk mempromosikan kesetaraan gender dan menghentikan siklus kekerasan, maka kita dapat berharap masa depan yang lebih cerah bagi perempuan di Surabaya dan si seluruh Indonesia
Referensi:
Cintya, R. D., Hasfi, N., & Ayun, P. Q. (2023). Pemberitaan Ramah Gender Pada Artikel Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Di Media Feminis Magdalene. Interaksi Online, 11(2), 68-86.
Rahmatillah, A. N., Johary, N. M., & Minata, A. A. R. (2023, November). Bias Gender dalam Pemberitaan Kekerasan Seksual di Media Online. In Prosiding Seminar Nasional Ilmu Ilmu Sosial (SNIIS) (Vol. 2, pp. 82-94).
ADVERTISEMENT
Setijaningrum, E. (2021). Digitalisasi Tata Kelola Korban Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Stakeholders Di Provinsi Jawa Timur. Jurnal Layanan Masyarakat (Journal of Public Services), 5(2), 463-472.
Sunarto, S. Pengaruh Media Massa Pada Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Ilmu Sosial, 6(2), 72-82.