Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Eksotisme Akulturasi Budaya Tionghoa di Samarinda
3 Desember 2022 11:09 WIB
Tulisan dari Nabila Dhea tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia dan China
Indonesia dengan China memiliki hubungan yang erat sejak ribuan tahun lamanya. Sejak masa kolonial Hindia-Belanda, diaspora China di Indonesia telah menciptakan asimilasi dengan komunitas etnis lain di Indonesia sehingga menciptakan akulturasi kebudayaan yang unik. Indonesia adalah negara multi etnis dan multi budaya. Akibatnya, kedatangan penduduk etnis Tionghoa telah menciptakan berbagai budaya campuran yang berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Hasil percampuran budaya lokal dengan budaya Tionghoa di berbagai tempat di Indonesia telah melahirkan semacam budaya hybrid yang dikenal di Indonesia sebagai budaya Peranakan. Diiringi perkembangan jaman, warga keturunan Tionghoa di Indonesia semakin gencar dalam memperkuat identitas hibrida mereka. Maksud dari identitas hibrida adalah dengan mengakulturasikan budaya Indonesia dan budaya Tionghoa dengan tujuan agar warga etnis tersebut tetap dapat mempertahankan kewarganegaraan Indonesia sambil terus melestarikan budaya orisinil China sebagai etnis Tionghoa. Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia lebih dulu ada dibanding orang-orang Eropa yang ditandai dengan banyaknya perkampungan Tionghoa di pesisir Jawa seperti, Tuban, Demak, dan Jepara. Tak hanya di daerah Jawa, keberadaan etnis Tionghoa pun turut berkembang hingga kawasan Kalimantan Timur yang ditandai dengan adanya rombongan pedagang Tionghoa yang berlabuh di Samarinda.
ADVERTISEMENT
Tionghoa di Samarinda
Rombongan etnis Tionghoa berdatangan ke Samarinda tepatnya pada abad ke-19. Kedatangan tersebut bertujuan untuk melangsungkan perdagangan dengan membuat pertokoan yang dekat dengan pasar dan mendirikan bangunan tempat tinggal untuk bermukim. Pada abad ke-19, pasukan Belanda menguasai wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara dengan memberikan wilayah kepada etnis Tionghoa untuk mendirikan tempat tinggal di daerah Hilir Sungai Karang Mumus. Hingga saat ini, etnis Tionghoa membangun permukiman secara menyebar di kawasan pelabuhan, seperti Jl. Yos Sudarso, Jl. Mulawarman, hingga kawasan Citra Niaga. Daerah tersebut dikenal dengan pusat permukiman Tionghoa sekaligus pusat perputaran ekonomi karena banyak terdapat pertokoan. Selain berdagang, kedatangan etnis Tionghoa juga membawa kebudayaan mereka untuk diperkenalkan kepada masyarakat lokal mengenai tradisi dan moral Tionghoa. Jejak kebudayaan etnis Tionghoa di Samarinda bisa kita lihat melalui hadirnya tempat ibadah Klenteng Thien Ie Kong yang didesain khusus dengan unsur-unsur China melekat dalam setiap ornamen bangunan tersebut. Selain tempat ibadah, warisan kuliner juga turut menjadi daya tarik etnis Tionghoa di Samarinda, tepatnya sajian khas Capcay China ala rumah makan Lezat baru. Seperti yang dijelaskan oleh Shūshu (panggilan paman dalam bahasa China) Wibowo, terdapat perbedaan penyajian dalam capcay asli khas China dan capcay buatan Indonesia. Keunikan rasa khas dari makanan ala China tersebut menjadi daya tarik bagi rumah makan Lezat Baru untuk memikat pembeli yang bukan hanya berasal dari etnis Tionghoa sendiri, namun juga bagi warga lokal yang tertarik dengan cita rasa khas China. Tidak cukup sampai di kuliner, bentuk identitas hibrida etnis Tionghoa di Samarinda bisa dilihat dari salah satu kesenian China yang paling ditunggu ketika hari besar Imlek, yaitu barongsai. Di Samarinda, kesenian sekaligus olahraga barongsai menjadi forum besar di bawah naungan Forum Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI). Dengan adanya kumpulan etnis Tionghoa yang membentuk komunitas di Samarinda membuat warga lokal dapat merasakan China Town di Indonesia tanpa harus ke China.
ADVERTISEMENT
Interaksi Sosial Dalam Akulturasi China-Indonesia
Istilah akulturasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai penyerapan yang terjadi oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap ciri-ciri tertentu dari budaya kelompok lain sebagai akibat kontak atau interaksi manusia berupa percampuran berbagai jenis budaya. Akulturasi juga merupakan proses sosial yang timbul ketika suatu kelompok masyarakat dihadapkan pada unsur-unsur budaya asing sehingga unsur-unsur budaya asing itu lambat laun diterima, diolah, dan diterapkan pada budayanya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya budaya asli. Merujuk pada pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa akulturasi juga diartikan sebagai kontak budaya atau pertemuan antara dua budaya berbeda yang membentuk budaya baru tetapi tidak menghilangkan budaya lama. Akulturasi budaya terjadi dalam masyarakat karena interaksi sosial yang dimulai dari kontak dan komunikasi. Begitu juga dengan masyarakat Tionghoa yang terus mempertahankan budayanya di Indonesia melalui religi, kuliner, dan kesenian. Dalam hal religi, didirikannya Klenteng Thien Ie Kong dengan dasar tempat ibadah Etnis China beragama Konghucu di Samarinda sekarang mengalami kemajuan dengan menjadi cagar budaya bagi wisatawan. Proses akulturasi yang terjadi dapat membuka wawasan masyarakat lokal melalui sejarah terhadap klenteng tersebut di mana ada sedikit cerita kolonialisme tentang penyerangan klenteng pada zaman penjajahan Hindia-Belanda. Bentuk Klenteng Thien Ie Kong yang masih terawat dan cukup bersih menjadi bukti bahwa masyarakat bisa membantu merawat klenteng bersejarah ini agar bisa diwariskan untuk anak cucu Indonesia nanti. Setelah mempelajari semua informasi yang diperoleh melalui kunjungan kami ke Klenteng Thien Ie Kong, kami menyimpulkan bahwa Klenteng Thien Ie Kong merupakan lokasi yang sangat unik di Indonesia dimana keragaman antar masyarakatnya (Etnis Tionghoa-Indonesia) sangat terjaga.
ADVERTISEMENT
Dari segi masakan, akulturasi kuliner Indonesia dipengaruhi oleh kuliner khas China, salah satunya capcay. Hal ini seperti dijelaskan oleh narasumber kami bahwa Capcay merupakan makanan yang diadopsi dari China yang berasal dari kata Cap (10) yang artinya 10 macam sayuran. Di China, dalam memasak capcay dibutuhkan 10 macam sayur yang terdiri dari wortel, brokoli, kol putih, sawi hijau, baby corn, jamur, tomat, bawang bombay, dsb. Namun pada umumnya di Indonesia, 10 macam sayur tersebut tidak dapat terpenuhi dalam satu masakan karena disesuaikan dengan bahan-bahan yang ada ditempat/restoran yang menghidangkan dan ditambahkan bahan lain sebagai variasi lain dalam masakan capcay ini agar dapat menarik dan dapat diterima masyarakat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Interaksi sosial etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi di Samarinda terbentuk dari proses yang bersifat asosiatif. Dalam interaksi sosial ini, terdapat hubungan kerjasama yang sangat erat dilakukan antar kedua masyarakat tersebut, khususnya dalam hal aktivitas sosial maupun budaya. Seperti ketika perayaan Imlek yang dimeriahkan bukan hanya oleh masyarakat China di Samarinda saja, akan tetapi masyarakat lokal sekitar juga ikut berpartisipasi dan memeriahkan acara tersebut. Juga terciptanya suatu kerjasama dalam acara bakti sosial, seperti penggalangan dana bagi korban banjir dan bagi-bagi takjil ketika bulan ramadhan yang diselenggarakan di beberapa tempat. Ada juga ketika perayaan hari besar China, terdapat kesenian dan olahraga barongsai dengan masyarakat sekitar membantu memeriahkan acaranya. Selain pada proses interaksi yang bersifat asosiatif, adanya sifat keterbukaan antara masyarakat pribumi dengan masyarakat China di Samarinda menjadikan proses interaksi sosial tersebut berjalan dengan sangat baik hingga sekarang ini, mereka saling menerima suatu perbedaan yang ada, baik sosial, budaya maupun agama. Dalam hal tersebut, mempermudah proses dalam hubungan sosial serta tidak menimbulkan suatu konflik antar kedua masyarakat di Kota Samarinda sampai sekarang.
ADVERTISEMENT