Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Analisis Resepsi Terhadap Kasus Pelecehan Penari Bumbung
29 September 2024 14:13 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nabilah Izdihar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus pelecehan terhadap seorang penari bumbung di Bali baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di media sosial. Insiden ini tidak hanya menyoroti isu pelecehan seksual, tetapi juga memperlihatkan stigma terhadap penari tradisional yang kerap kali diidentikkan dengan hal-hal erotis. Sebagai salah satu contoh pelecehan di ruang publik, kasus ini menyulut berbagai reaksi dari masyarakat, terutama di platform media sosial.
ADVERTISEMENT
Kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana masyarakat memandang peristiwa ini dan bagaimana media mengkonstruksi pesan terkait pelecehan dan stigma terhadap penari tradisional. Dalam konteks ini, Teori Encoding-Decoding dari Stuart Hall dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana pesan pelecehan ini dikodekan oleh media dan dikodekan ulang oleh audiens, baik melalui dominasi, negosiasi, maupun oposisi.
Teori Encoding-Decoding Stuart Hall:
Pada tahun 1973, Stuart Hall, seorang teoris budaya dan aktivis politik, memperkenalkan model komunikasi yang dikenal dengan nama Teori Encoding-Decoding dalam esainya “Encoding and Decoding in the Television Discourse”. Model ini menjelaskan bagaimana makna suatu pesan dikodekan oleh produsen media dan kemudian didekodekan oleh audiens sesuai dengan pengalaman dan latar belakang pengetahuan mereka. Teori Encoding-Decoding menjelaskan bagaimana pesan media dikodekan (encoding) oleh produsen pesan dan kemudian dikodekan ulang (decoding) oleh audiens. Proses decoding ini dapat dilakukan dalam tiga cara berbeda:
ADVERTISEMENT
Makna pesan tergantung pada latar belakang budaya dan pengalaman hidup masing-masing khalayak. Masalahnya adalah bahwa penerimaan dan interpretasi makna ada dipihak khalayak dapat bervariasi dan dari khalayak untuk khalayak, mengingat perbedaan kepribadian dan latar belakang sosial budaya audiens yang mempengaruhi bagaiana sebuah teks komunikatif ditafsirkan bahwa bersifat cair. (Widya & Ika, 2020: 45-46)
Dalam konteks kasus penari bumbung, media dan platform media sosial memainkan peran penting dalam menyebarkan pesan terkait peristiwa tersebut. Proses encoding dilakukan melalui video viral dan pemberitaan yang menyajikan insiden pelecehan ini dengan berbagai sudut pandang. Audiens yang menerima pesan ini kemudian mendekodekannya dengan cara yang beragam, sesuai dengan latar belakang budaya, gender, dan pengalaman pribadi mereka.
ADVERTISEMENT
Proses Encoding dalam Kasus Penari Bumbung:
Pemberitaan tentang kasus pelecehan ini menunjukkan bagaimana media sosial mengemas peristiwa tersebut. Dalam video yang viral, tindakan pelecehan terlihat jelas, sementara emosi dari penari juga dapat dilihat dari ekspresi wajahnya yang berubah dari ceria menjadi marah dan kesal. Pemberitaan selanjutnya memuat tanggapan dari pejabat terkait yang berusaha meluruskan stigma terhadap penari tradisional yang sering kali diidentikkan dengan hal-hal erotis. Di sini, media mengkodekan pesan bahwa tindakan tersebut adalah bentuk pelecehan seksual yang harus dikecam, serta mengangkat stigma yang selama ini melekat pada penari tari bumbung.
Proses Decoding oleh Audiens:
Setelah video tersebut viral, berbagai respons muncul di media sosial salah satunya adalah Instagram, yang menunjukkan bagaimana audiens mendekodekan pesan tersebut. Berdasarkan teori Stuart Hall, kita dapat mengidentifikasi tiga kelompok respon audiens:
ADVERTISEMENT
1. Respon Dominan-Hegemonik
Audiens dalam kategori ini menerima pesan yang dikodekan oleh media secara langsung dan sepenuhnya. Mereka menganggap insiden tersebut sebagai bentuk pelecehan seksual yang harus dikecam. Tanpa mengkritisi atau menambahkan interpretasi lain, audiens ini berfokus pada masalah patriarki dan gender yang melatarbelakangi insiden tersebut.
Contoh komentar dari media sosial:
"Masyarakat patriarki akan selalu memandang rendah perempuan, mau bagaimana lagi."
Komentar ini mencerminkan bagaimana audiens melihat masalah ini sebagai pelecehan seksual yang jelas, dan mengaitkannya dengan struktur sosial patriarki yang memandang rendah perempuan. Dalam hal ini, pesan yang disampaikan oleh media diterima dan diinternalisasi secara penuh, sesuai dengan narasi pelecehan yang disampaikan.
2. Respon Negosiasi
Audiens dalam kategori ini setuju bahwa insiden tersebut merupakan pelecehan seksual, namun mereka menegosiasikan makna pesan dengan menambahkan konteks budaya atau tradisi. Mereka mengakui bahwa pelecehan memang terjadi, tetapi juga mempertimbangkan elemen adat yang terkait dengan seni tari bumbung.
ADVERTISEMENT
Contoh komentar dari media sosial:
"Kenapa dibilang pelecehan, kan itu bagian dari budaya."
Audiens di kategori ini tidak menolak sepenuhnya bahwa tindakan tersebut bisa dianggap pelecehan, namun mereka memberikan ruang untuk perdebatan dengan memperkenalkan elemen kebudayaan yang menurut mereka merupakan bagian integral dari seni pertunjukan tersebut. Ini menunjukkan bahwa mereka memahami pesan dari media tetapi menafsirkannya secara berbeda, dengan mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang lebih luas.
3. Respon Oposisi
Audiens dalam kategori ini sepenuhnya menolak makna pelecehan seksual yang disampaikan oleh media. Mereka justru menyalahkan penari atau menganggap insiden tersebut sebagai hal yang wajar dalam konteks hiburan tradisional. Pandangan ini menunjukkan bahwa audiens memahami pesan media, namun secara sadar menolak narasi tersebut dan menggantinya dengan pandangan yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Contoh komentar dari media sosial:
"Risiko dari pekerjaan, kalau nggak mau terjadi hal asusila, jangan kerja seperti itu. Tidak akan ada api kalau tidak ada sumbunya."
Dalam komentar ini, audiens tidak hanya menolak konsep pelecehan seksual, tetapi juga menyalahkan penari dan pekerjaannya sebagai faktor penyebab insiden tersebut. Ini merupakan contoh yang kuat dari proses decoding oposisi, di mana audiens secara aktif melawan narasi yang dikodekan oleh media dan menciptakan interpretasi yang bertentangan.
Kesimpulan
Melalui penerapan Teori Encoding-Decoding, kita dapat melihat bahwa pelecehan seksual terhadap penari bumbung di Bali dikodekan oleh media sebagai peristiwa yang negatif, namun proses decoding oleh audiens menunjukkan variasi interpretasi yang dipengaruhi oleh budaya dan persepsi individu. Studi kasus ini memperlihatkan pentingnya memahami bagaimana pesan tentang isu-isu sosial yang sensitif, seperti pelecehan seksual, diproduksi dan dikonsumsi dalam konteks komunikasi massa.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Widya, Ika. 2020. Aplikasi Metode Analisis Resepsi Untuk Penelitian Gender dan Media. Malang: Universitas Brawijaya Press.
Eko. 2022. Analysis of Student Receptions Against Sexual Violence Warta Ngapak Panturapost.com. ( http://jurnalprisanicendekia.com/index.php/jbc/article/view/55 )
Stuart Hall’s Reception Theory ( https://media-studies.com/reception-theory/ )