Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Cinta Semesta
29 Desember 2021 16:24 WIB
Tulisan dari Nabila Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sore itu di sebuah taman, terdapat sepasang kekasih yang tengah menyelami mata satu sama lain, mencari letak kegundahan yang beberapa hari ini terus menghantui perasaan mereka. “Mari kita akhiri hubungan ini, Mahen”.
ADVERTISEMENT
Seorang pria menatap teduh wanita yang menjadi pusat buminya, menyinari hari-harinya, membuat setiap detik bersamanya terasa berharga. Namun pada akhirnya, wanita itu sudah mulai lelah. Mahendra Andromeda terus menyelami iris coklat gelap itu tanpa menyahuti apa yang gadis itu katakan. Mahen tahu jika hari ini akan datang, hari dimana ia harus menerima resiko dari apa yang ia jalani bersama Jannat Naya Aditi. Seorang perempuan yang sangat ia sayangi setelah ibunya tentu saja. Baik Mahen maupun Naya selama ini selalu menutup mata dan telinga, enggan menerima fakta jika mereka berdua tidak bisa bersama, tidak bisa berjalan berdampingan.
“Aku capek, Hen. Waktu terus berjalan, sementara hubungan kita? Enggak. Jangankan buat berjalan, buat bertahan aja sulit” Mahen menunduk, ia merasa buruk ketika iris mata itu menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca, bukan binar bahagia seperti biasanya. Naya sendiri kini tengah mendongakkan kepalanya, menahan air mata yang terus berdesakkan ingin keluar.
ADVERTISEMENT
“Maaf” akhirnya ada satu kata yang terucap dari bibir pria 25 tahun itu. Satu kata yang Naya sendiri benci untuk mendengarnya. “Maaf karena harus menaruh kamu diposisi serba salah ini. Maaf karena aku egois sejak awal. Maaf karena aku terus memaksa kamu buat lanjutin hubungan ini. Maaf—“.
“MAHEN!” taman yang sunyi membuat pekikan Naya terdengar sangat lantang. Sekarang bukan saatnya menyalahkan diri sendiri. Naya sadar, ini kesalahan mereka. Salah mereka yang memaksa menyatukan perbedaan yang melibatkan Tuhan. Tidak, cinta tidak pernah salah. Cinta itu anugerah yang Tuhan berikan. “Kita sama-sama tau, Mahen, hari ini pasti tiba. Hari dimana aku atau kamu nyerah. Sakit memang, tapi yang kita hadapi sekarang bukan lagi keluarga kita. Tapi Tuhan. Kita udah cukup egois, Hen”.
ADVERTISEMENT
Pandangan Mahen menerawang, menatap langit yang tampak kelabu. Otaknya menerka-nerka, bagaimana hari-hari berikutnya yang akan ia lalui tanpa Naya? Apa bisa ia menemukan cinta lagi setelah wanitanya itu pergi? Mungkin terdengar berlebihan, namun setelah 4 tahun bersama, bukanlah hal yang mudah untuk mereka melupakan kenangan yang tersimpan dalam hati masing-masing. Kadang Naya berfikir, mengapa takdir mudah sekali mempermainkan mereka? Mengapa ia harus jatuh cinta pada Mahendra? Seseorang yang selalu memejamkan mata serta menyatukan kedua tangannya ketika berdoa. Seseorang yang selalu izin tidak bisa meluangkan waktunya di hari minggu karena beribadah. Mahen, pria yang tidak bisa menjadi sosok imam bagi Naya.
“Maaf, aku nyerah. Aku enggak bisa melawan Tuhan ku sendiri. Mungkin aku bisa membujuk orangtuaku untuk memberikan restu, tapi restu Allah nggak bisa aku dapatkan ketika aku harus memilih bersama kamu”.
ADVERTISEMENT
“Makasih ya, Nay. Dari kamu aku belajar banyak hal, terutama tentang hal yang harus aku lepaskan padahal belum sepenuhnya aku genggam.”.
“Semoga kita bahagia di jalan kita masing-masing, Hen”.
“Semoga” Mahen membalas dengan senyum miris yang menyakitkan.
.....
BRAK
“UDAH GILA KAMU, HAH!!” Mahen mengusap sudut bibirnya lalu meringis ketika melihat darah yang ia usap tertempel diibu jarinya. Ia menatap wajah ayahnya yang terlihat memerah, matanya berkaca-kaca serta urat-urat lehernya yang tampak menonjol. “Percuma kamu rajin beribadah, rutin membaca alkitab, memuja nama Tuhan Yesus, kalau kamu sendiri berniat mengkhianati-Nya. Dimana otak mu, Mahendra!!”.
Mahen membenarkan perkataan ayahnya, ia memang sudah gila. Ia meminta izin untuk pindah agama kepada kedua orangtuanya. Permintaan yang tentu saja membuat orangtuanya murka, terlebih sang ayah. Ia selalu mengajarkan anaknya tentang mencintai Tuhan mereka, untuk selalu patuh pada perintah-Nya, jangan pernah sekalipun melanggar aturan-Nya. Bagai petir menyambar jiwa sang ayah, ia mendengar si bungsu berkata hal yang bahkan sebelumnya tidak terfikirkan akan terucap dari bibir anaknya.
ADVERTISEMENT
“Sebegitu cintanya kamu sama Naya, nak?” dapat Mahen lihat, mata sendu ibunya berkaca-kaca. Hal itu mengingatkan dirinya akan mata Naya minggu lalu. “Naya gadis yang baik, sangat sopan juga ramah. Ibu suka ketika Mahen bilang kalo Mahen sayang sama Naya. Tapi ibu selalu bilang kan. Jangan pernah berfikir untuk memilikinya, nak. Kamu mungkin bisa mengambil ia dari orangtuanya, tapi kamu nggak bisa mengambil ia dari Tuhan nya, begitu pula sebaliknya”.
Pecah sudah. Tangis yang seharusnya ia tumpahkan minggu lalu di hadapan Naya, kini ia tumpahkan di depan ayah dan ibunya. Tangis yang mampu membuat hati kedua orangtuanya ikut tergores hingga turut merasakan hal pedih yang anaknya rasakan. Orangtua Mahen tahu betul akan hubungan anaknya dengan Naya. Mereka tidak melarang. Mahen terlihat bahagia dengan Naya. Senyum tulus yang Mahen tunjukkan membuat mereka turut merasakan bahagianya sang anak. Tidak melarang bukan berarti mendukung. Mereka selalu mengingatkan Mahen untuk tahu batasan, selalu mengingatkan Mahen bahwa Naya memiliki keyakinan yang berbeda dengan mereka.
ADVERTISEMENT
“Mahen, jika kamu mudah meninggalkan agama kamu sekarang, maka kamu juga akan mudah meninggalkan Naya nantinya. Tidak selamanya yang kamu cintai, harus kamu miliki, nak”.
.....
Di sebuah café, Naya memandang ke luar. Langit sore menampilkan awan-awan yang menggumpal, seakan-akan siap menumpahkan buliran-buliran air hujan nantinya. Pikirannya berkecamuk, memikirkan cara untuk melepaskan bayang-bayang Mahen yang 4 tahun terakhir selalu mengisi buku diary nya dengan moment-moment indah mereka. Mahen yang mengajarkan kepadanya arti bahagia serta bersyukur yang sesungguhnya. Mahen yang selalu memperlakukan Naya layaknya ratu dalam cerita yang ia buat, selalu merasa dicintai dengan sangat tanpa adanya satu kurang pun. Mahen membuatnya melupakan kesedihan akibat masalah-masalah yang datang tanpa henti. Mahen, Mahen dan Mahen.
ADVERTISEMENT
“Udah lama, Nay?” sapaan seorang pria membuat Naya tersentak kaget. “Maaf, aku buat kamu kaget, ya?”.
“Enggak papa kok, mas. Kamu mau aku pesenin apa?”.
Setelah memanggil pelayan dan memesan, keduanya hanyut dalam kesunyian. Jendra Rauf Kalan, pria yang kini duduk bersebrangan dengan Naya adalah pria yang ayahnya pilihkan untuk dirinya. Singkatnya, Naya dijodohkan dengan Jendra. Sudah sejak lama ayah Naya merencanakan perjodohan ini, alasannya tentu saja ia tidak ingin putrinya mencintai Mahen terlalu dalam hingga menimbulkan kebimbangan dalam hati gadis itu. Naya rasa, menolak permintaan sang ayahnya sekarang pun sudah tidak ada gunanya lagi.
“Kamu masih bisa batalin perjodohan ini sekarang, Nay” lamunan Naya buyar, digantikan raut wajah bingung. “Jangan sampai raga kamu hidup dengan mas, tapi hati kamu masih menetap di Mahendra”.
ADVERTISEMENT
“Kata ayah, jika kita terbiasa hidup dengan seseorang, maka cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Naya sama Mahen nggak akan pernah bisa bersatu, mas. Naya mungkin cinta sama Mahen, tapi cinta Naya ke Mahen nggak bisa menandingi cinta Naya ke Allah. Jadi tolong—” gadis 23 tahun itu mendongakkan kepalanya, menatap iris hazel di depannya dengan sendu. “—tolong buat Naya jatuh cinta sama mas dan menyimpan nama Mahen sebagai kenangan masa lalu Naya”.
Jendra tahu betul, kedua insan itu dipisahkan oleh iman yang berbeda. 2 tahun ialah waktu Jendra mengenal Naya. Sejak awal Jendra tahu, jika Naya dan Mahen tidak mungkin bersatu. Egois memang bisa, namun apakah keluarga dari masing-masing pihak akan setuju? Jendra mengerti, berpisah meski masih saling mencintai adalah pilihan terburuk dalam hidup. Namun, dalam kisah Naya dan Mahen, tidak ada opsi lain selain menjalani kehidupan masing-masing.
ADVERTISEMENT
“Naya mohon, mas bisa bersabar menghadapi hati Naya yang mencoba menerima kehadiran Mas Jendra. Apa mas keberatan?” gelengan disertai senyuman Jendra jadikan sebagai balasan dari pertanyaan Naya.
“Mas siap nunggu kamu, Nay” jawaban itu membuat senyum tipis Naya terbentuk.
“Kalau gitu Naya pergi dulu ya, ibu minta tolong Naya buat beliin keperluan dapur”.
“Ayo, mas antar”.
“Nggak usah, mas. Ayah bilang, mas sore ini ada meeting sama klien kan? Naya bisa sendiri kok,” Jendra mengangguk. Setelah mengucapkan salam, ia terus menatap punggung gadis itu hingga keluar dari pintu café.
Iris hazel itu masih setia memperhatikan punggung Naya dari dalam jendela café hingga membuat sudut bibir tertarik. Sejak awal bertemu, Naya sudah berhasil membuat Jendra kagum akan kepribadian yang gadis itu miliki. Lembut namun tegas serta ramah juga periang. Tidak lupa keanggunan Naya dalam bertutur kata, membuat Jendra semakin jatuh kepadanya.
ADVERTISEMENT
Sedetik kemudian senyum Jendra memudar. Matanya melihat mobil melaju kencang, menabrak tubuh gadisnya. Jendra berlari. Menerobos kerumunan. Dirinya membeku, melihat tubuh gadis yang baru saja meminta dirinya menunggu untuk dicintai kini justru terbaring bermandikan darah. Jendra memangku kepala Naya, ia melihat mata indah itu sedikit terbuka.
“Mas—ma—af,” Jendra menggeleng kaku.
“Kamu kuat, Ra. Bertahan, ya, mas mohon”.
.....
Sendu. Mahen menatap Naya dari balik dinding kaca. Kacau. Setelah Jendra mengabarinya, sejak saat itu pula semestanya seakan runtuh seketika. Ia lebih memilih melihat Naya menikah dengan pria lain daripada melihat gadis itu terbaring lemah dengan alat-alat medis yang dipakai guna menopang tubuhnya. Mahen tahu mengenai perjodohan Naya dengan Jendra. Sedih? Tentu. Tapi, setelah melihat gadis itu terbaring di sana, membuatnya lebih sakit. Jauh lebih sakit.
ADVERTISEMENT
“Naya kritis, Hen” ucap Jendra sembari turut melihat gadisnya dibalik dinding kaca.
“Dia bakal bangun kan, Jen? Gua masih bisa ngeliat dia senyum kan?” Jendra menunduk, air matanya berdesakan keluar. Kedua pria yang mencintai gadis di dalam ruangan itu sama-sama kacau, hancur. “Gua sayang banget sama dia, Jen”.
“Gua juga, Hen. Sayang banget sama Naya”.
.....
Hai, Mahen. Lagi apa? Hehe, udah move on belum nih? Semoga udah ya, aku pengen liat kamu nikah tapi kayaknya nggak bisa ya, soalnya aku takut nangis nanti di acara kamu.
Mahen, terima kasih, ya. Sudah pernah menjadi alasan aku untuk bahagia. Sudah menjadi penopang semangat dalam hidup aku. Sudah menjadi keluarga, teman, kakak, pacar yang selalu menyediakan pundak kamu untuk aku melepaskan lelah. Kita memang tidak bisa bersama, tapi kamu harus tau, cinta dan sayang aku ke kamu nggak akan pernah usai. Terima kasih sudah hadir di dunia ini. Terima kasih sudah menjadi Mahen yang hebat dan tegar. Aku bangga pernah ada dalam kenangan di hidup kamu.
ADVERTISEMENT
Mahen, maaf ya. Maaf lagi-lagi aku yang harus pergi. Maaf karena ninggalin kamu lagi. Maaf biarin kamu nangis sendiri. Maaf, ya, Hen. Aku selalu sayang kamu, Mahendra Andromeda.
“Iya, kamu jahat, Nay. Ngebiarin aku nangis sendiri disini, sakit sendiri di sini. Tapi enggak papa, aku seneng karena kamu udah nggak ngerasain sakit lagi. Kamu nggak usah khawatir ya, aku sudah ikhlas”.
Ya, Mahendra Andromeda sudah merelakan kepergian Jannat Naya Aditi, si gadis penyuka langit yang kini tengah melihatnya dari langit. Semesta, tolong jaga gadisku.